Tuesday, June 29, 2010

The Story Part 54

Ruroya Rai

Kejadian tadi di tempat kos, memang sangat aneh menurutku. Aku sendiri juga bingung, tiba-tiba Shoko bertingkah aneh dan langsung saja ia mengurung diri di kamarnya. Oke, sudah cukup hari ini aku dibuat bingung. Saat ini aku sedang berjalan di Shibuya sambil membawa 2 plastik yang berisi banyak bahan masakan. Karena tiba-tiba aku merasa lelah, akhirnya aku berhenti ke sebuah kafe dan duduk di dalamnya sambil menikmati kopi hangat yang sudah disediakan.

Aku menatap ke arah jalanan di luar sambil sesekali menyesap kopi hangat tersebut. Aku menghembuskan napas ketika aku sudah menelan kopi hangat tersebut sampai habis. Lalu aku bangkit dari kursi dan akhirnya melanjutkan perjalanan kembali menuju ke tempat kos.

Sesampainya di kos, aku melihat Akita masih ada di sana. Dengan cepat aku meletakkan barang-barang hasil belanja ku di meja dan menghampiri Akita.
"Akita-san, sedang apa di sini?" Tanyaku sambil tersenyum. Akita menoleh dan membalas senyumanku.
"Aku hanya sedang menunggu Shoko." Aku memiringkan kepala karena bingung.
"Menunggu Shoko? Memangnya kalian mau ke mana?" Akita mengangkat kedua bahunya dan tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari ke atas dan mencari Shoko.

"SHOKO!" Aku berteriak di depan pintu kamar Shoko dan Shoko langsung membukanya.
"Ada apa, Rai?" Wajah Shoko terlihat begitu jengkel. Namun, aku tidak peduli dan akhirnya aku menerobos masuk ke kamar Shoko. Ketika memasuki kamar Shoko, aku sangat terkejut.
"Astaga! Apa artinya semua ini, Shoko?"
"Diam, Rai! Argh! Sudahlah, kau tidak perlu tau!" Shoko pun mendorong-dorong diriku agar sampai ke pintu. Aku pun memberontak dan akhirnya aku memegang kedua bahu Shoko.
"Shoko, aku yakin semua yang kulihat ini bukan rekayasa. Kenapa kau menghindar darinya, Shoko?" Wajah Shoko merah padam dan ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

Aku memutar kepala Shoko agar ia melihat sekeliling kamarnya.
"Shoko, lihat. Ini artinya ia mencintaimu Shoko. Apa kau tega kau akan menggantunginya seumur hidup?"
"Aku tau, Rai. Aku tidak mau menggantunginya seumur hidup. Tapi, semua ini terlalu cepat Rai! Aku sendiri bingung, setiap hari ia mengirimiku bunga ini dan semua surat cinta hanya untuk meyakinkanku sehingga aku mau menikah dengannya! Aku memang mencintainya, Rai. Tapi, apa menurutmu ini semua terlalu cepat?" Aku tersenyum dan memegang bahu Shoko.
"Tidak ada kata terlalu cepat menurutku. Aku yakin dalam benakmu, kau pasti menginginkan untuk hidup bersama dengannya, apa aku benar?" Shoko memalingkan wajahnya lagi. Sepertinya wajah Shoko sudah merah padam seperti kepiting rebus.

Shoko mendongak dan menatapku. Lalu ia memelukku sambil terisak.
"Iya. Terima kasih, Rai. Kau dapat memberikan keyakinan padaku."
"Jadi, apa kau akan menerima lamarannya?" Tanyaku sambil tersenyum. Lalu Shoko mengangguk dengan pasti sambil menyeka air matanya yang mulai keluar dari kelopak matanya.
"Cepat katakan padanya..."

Shoko pun keluar dari kamarnya dan segera mencari Akita...

Nanase Sakigawa

Sesampainya di rumah, aku tampak bahagia melihat hasil rekaman yang baru saja ambil tadi dengan Nonoru. Entah mengapa saat ini aku merasa begitu kejam, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahan dengan tingkah laku ayahku.

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sambil sesekali mengulang-ulang video rekaman ayahku. Nonoru yang saat itu sedang ada di kamarku, terlihat bingung karena aku sedari tadi hanya mengulang dan mengulang videonya.
"Nanase, kenapa kau mengulang video tersebut?" Aku menekan tombol pause lalu berbalik menatap Nonoru.
"Entahlah. Aku hanya senang melihatnya." Nonoru mengangkat bahu lalu melempar komik Nanase ke atas tempat tidur Nanase.

Tiba-tiba aku sadar bahwa sedari tadi aku tidak menyentuh ponselku sama sekali. Aku bingung dan aku langsung terduduk di tempat tidur. Awalnya aku berniat mencarinya, tetapi selagi ada Nonoru lebih baik aku bertanya padanya.
"Nonoru, apa kau lihat ponselku?" Nonoru menatapku dengan bingung.
"Mungkin ada di meja sana. Dasar, kamar sendiri kau tidak ingat meletakkan ponselmu sendiri." Nonoru menunjuk meja yang ada di ujung ruangan.

Aku beranjak dari tempat tidur dan langsung mengambil ponselku. Saat aku melihat ke arah layar, ternyata ada 1 pesan masuk. Aku membukanya dan pesan tersebut ternyata dari Rai.
Aku berjalan ke sudut ruangan dan bersandar di tembok. Ya, aku sering sekali meninggalkan gadis ini. Rai kadang sangat kesepian karena Riku sudah tidak ada dan aku kadang tidak pernah ada untuknya. Aku ingin sekali mendampinginya tapi, apa mungkin aku masih bisa memasuki hatinya seperti dulu? Aku tidak yakin. Lalu, aku sedang ada masalah dengan keluargaku. Ayahku ternyata selingkuh. Aku tidak akan pernah tau bagaimana reaksi ibu ketika ia melihat ayah seperti ini.

"Nanase, hei! Kapan kita akan menjalankan rencana yang kau maksud itu?" Tiba-tiba Nonoru menyadarkanku kembali. Aku menatap Nonoru lalu tersenyum.
"Tenang saja. Aku sudah punya ide bagus. Aku akan membuat ayah terpancing dengan omonganku."
"Ya, bagaimana caranya, Nanase?"
"Sudahlah, nanti kau akan mengerti. Tenang saja dulu."

Setelah itu Nonoru meninggalkan kamarku dan ya... aku berada di kamar sendirian lagi...


bersambung...