Friday, April 23, 2010

The Story Part 53

Ruroya Rai

Nanase sudah pergi. Aku duduk di tempat tidurku sambil memeluk kakiku. Lalu aku memandang keluar jendela. Sekali lagi aku mendesah pelan. Aku mengingat kejadian tadi pagi, ketika Nanase menggendongku layaknya aku ini seorang putri raja, aku akan selalu mengingat kejadian itu. Tapi, kenapa aku seperti berpaling dari seseorang? Tentu saja aku tidak melupakan Riku. Ia adalah cinta pertamaku. Namun, aku belum bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Riku... kau ke mana ya? Aku ingin sekali bertemu dengannya.

Aku mengambil ponselku yang aku letakkan di meja sebelah tempat tidurku. Lalu aku memain-mainkan ponselku sebentar. Tiba-tiba aku berpikir untuk meng-sms Nanase. Tapi, apakah Nanase sedang sibuk? Ya, aku tidak akan tau jika aku tidak mencobanya bukan?

To: Sakigawa, Nanase
Hai, Nanase. Apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin berbicara denganmu. Maaf ya (:

Setelah aku menekan tombol kirim. Aku meletakkan kembali ponselku. Aku menunggu hinggal 30 menit lamanya dan Nanase belum membalas juga. Apa yang sedang ia lakukan ya? Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Mungkin saja ia sedang sibuk.

Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju keluar kamar. Di luar aku bertemu dengan Shoko.
"Shoko!" Sapa ku sambil tersenyum. Shoko balas tersenyum.
"Rai! Hehe... sedang apa di kamar terus? Kau tidak sedang mengurung diri lagi kan?" Tanya Shoko.
"Tentu saja tidak. Hanya saja, hari ini Nanase kembali ke rumahnya. Aku merasa bosan. Ingin pergi jalan-jalan. Kau sedang ada acara?" Shoko mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk jarinya.
"Hmm..." Shoko terus berpikir. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Shoko, bukankah kau mau pergi dengan Akita-san?"
"Akita? Tidak..."

TING TONG! Tiba-tiba terdengar bel pintu yang berbunyi. Sepertinya ada yang datang. Ketika aku hendak turun ke bawah, tiba-tiba Saki berteriak.
"Tenang saja, biar aku yang buka!" Aku dan Shoko hanya melihat dari atas siapa yang datang ke tempat ini. Ternyata yang datang adalah... Akita?

"Shoko... itu Akita-san kan?" Tanyaku sambil menunjuk Akita. Shoko hanya menutup mulut dan memasang tampang tidak percaya.
"Kenapa?"

Nanase Sakigawa

Seperti rencana yang sudah kami rencanakan tadi. Aku dan Nonoru pergi ke Shibuya untuk mengintai lagi. Ya, awalnya kami berdua pergi-pergi ke suatu tempat untuk membeli buku manga untuk dibaca nanti. Lalu kami pergi ke kedai kopi yang waktu itu aku kunjungi dan aku duduk di sana bersama dengan Nonoru.

"Apa kau yakin ayah akan kembali ke tempat ini lagi? Aku cukup ragu-ragu dengan hal ini." Tanya Nonoru sambil menyeruput kopi hangatnya. Aku menyentuh bibir gelas dan menatap Nonoru.
"Seharusnya ayah sebentar lagi akan jalan-jalan ke tempat ini. Mudah-mudahan ia tidak berganti-ganti perempuan."  Nonoru memukulku pelan.
"Haha... jadi kau mau bilang bahwa ayah kita berhubungan dengan perempuan yang berbeda-beda?" Aku mengangkat bahu lalu meminum kopi hangatku dengan pelan.
"Mungkin saja..."

Beberapa menit kemudian, ketika aku sedang membenarkan kameraku-yang sebentar lagi akan rusak-tiba-tiba Nonoru berteriak ke arahku.
"Nanase! Di sana! Itu ayah kan?" Aku mengelus-elus dada dan memukul Nonoru pelan.
"Santailah sedikit, Nonoru!" Aku mengambil kameraku dan mulai merekam semua kejadian. Nonoru terus melihatku dengan tatapan aneh.
"Ada apa lagi, Nonoru? Apa ada yang aneh?" Nonoru mengangkat bahu.
"Sepertinya jika hanya merekam seperti ini kurang seru. Seharusnya kita coba menelepon ayah supaya bukti bisa bertambah lagi. Jika perlu kau me-loudspeaker ponselmu."

Sepertinya ide bagus, pikirku. Dengan cepat aku mengambil ponselku yang aku letakkan di meja dan mulai mencari nama ayah di ponselku. Setelah itu aku menekan tombol telepon. Terdengar nada sambung beberapa kali dan tidak diangkat. Aku menatap layar ponselku lalu menelepon sekali lagi. Namun, mataku tetap tertuju pada kamera dan akhirnya aku melihat ayah sedang merogoh-rogoh sakunya, mungkin saja sedang mencari ponselnya dan... ya! Benar! Ayah menjawab panggilan tersebut.
"Nanase? Ada apa?" Aku tersenyum. Ternyata, ayah sedikit bodoh.
"Ayah, sedang ada di mana?" Aku bersikap seperti biasa. Bertanya hal-hal bodoh yang sebenarnya aku sudah tau.
"Ayah? U-umm... bekerja tentu saja! Sudahlah... diam saja kau. Memangnya kau pikir ayah sedang apa? Dasar anak bodoh..." Dan yap! Sambungan diputuskan dan dari arah kamera aku melihat ayah mengajak wanita itu pergi meninggalkan Shibuya. Aku menghela napas dan tersenyum penuh kemenangan.

"Berhasilkah kita?" Tanya Nonoru ketika kami sedang berjalan pulang. Aku menoleh ke arah Nonoru dan mengangguk sambil tersenyum.
"Tentu saja dan sepertinya aku punya rencana yang lain lagi. Maaf saja, tapi aku dengan jujur membenci ayahku. Aku tidak suka bagaimana cara ia memperlakukan kita, Nonoru. Apa kau tidak merasakannya?" Kataku sambil menunduk dan menendang kerikil yang ada di jalanan.
"Ya, aku memang tidak suka dengan sikap ayah yang seperti itu. Namun, aku ingin ayah mengetahui kesalahannya sendiri. Ia mempermainkan keluarganya begitu saja. Umm... Nanase, memangnya kau mau membuat rencana seperti apa?" Aku menghentikan langkahku dan aku langsung mendongakkan kepala.
"Aku akan membuat ibu melihat semua ini bukan hanya dari rekaman ini, tapi aku akan membuat ibu melihat dengan mata kepala ibu sendiri!"



bersambung...

Wednesday, April 21, 2010

The Story Part 52

Ruroya Rai

Aku terbangun dari tidurku dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku berjalan ke arah pintu dan bersender sebentar di pintu. Bagaimana dengan Nanase ya? Bukankah ia mau kembali ke rumahnya hari ini? Aku menguap... OH IYA! Nanase akan kembali hari ini! Oh tidak, oh tidak! Bagaimana ini? Apa jangan-jangan ia sudah pergi ya? Dengan cepat aku membuka pintu kamarku dengan kasar dan mengambil mantelku yang aku gantung di belakang pintu lalu menutup pintunya dengan kasar juga.

Aku menuruni anak tangga dengan tergesah-gesah dan berharap semoga saja Nanase masih ada di bawah atau pun di dapur atau di ruang tamu atau... argh! Di mana sajalah yang penting aku bisa bertemu dengannya terlebih dahulu sebelum ia meninggalkan tempat kos sekali lagi. Sesampainya di ruang tamu, aku tidak melihat sosok Nanase sama sekali. Sial! Jangan-jangan sudah pergi. Karena aku kalap, tanpa kusadari, aku terus berjalan keluar rumah dan berakhir lah aku berjalan tanpa arah.

Ada apa denganku? Kenapa aku berjalan tanpa arah seperti ini? Benar-benar aneh. Dengan mendengus kesal, aku berbalik dan berjalan ke arah taman yang biasa aku datangi. Aku duduk di ayunan dan menggoyang-goyangkannya sendiri sehingga aku dapat merasakan angin pagi yang mulai menusuk-nusuk tubuhku. Aku menatap ke arah jalanan yang saat itu masih kosong dengan tatapan kosong. Aku menghela napas. Ke mana Nanase? Apa dia sudah pergi? Kenapa ia tidak pernah mengucapkan apa-apa padaku?

Aku menunduk menatap kakiku dan baru kusadari, aku tidak menggunakan alas kaki apapun. Ya, karena tadi aku begitu kalap sehingga lupa mengambil alas kaki dan langsung pergi keluar dengan seenaknya saja. Brrr... dingin sekali ternyata. Aku beranjak dari ayunan dan mengganti posisi duduk dengan membelakangi jalanan yang tadi. Dengan memeluk diri sendiri, aku menggigil kedinginan.

"Hei, gadis bodoh!" Aku mendengar suara seseorang, aku mencari-cari sumber suara itu tapi aku tidak tau dari mana dan tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang yang melingkarkan tangannya di tubuhku sambil mengenakanku sebuah mantel tebal yang hangat. Aku menoleh dan mendapati Nanase sedang berdiri di belakangku. Tunggu... siapa tadi? Apa... NANASE?! Karena tidak percaya, aku menoleh dan melihat ternyata memang Nanase yang berdiri di belakangku.
"Nanase? Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau akan kembali ke rumahmu?" Tanyaku. Nanase tersenyum dan mengacak-acak rambutku tiba-tiba.
"Haha... dasar gadis bodoh. Aku baru saja bangun dan baru saja selesai bersiap-siap." Wajahku tiba-tiba memanas, ternyata Nanase belum pergi.
"Aku kira... aku kira... kau sudah pergi. Makadari itu aku mencari mu dari tadi." Kataku sambil menyembunyikan wajahku yang sudah mulai memerah. Nanase terkekeh pelan dan mengacak-acak rambutku lagi.

"Kau tau, Rai... awalnya aku terbangun karena mendengar suara gaduh di luar kamar. Hehe... saat aku keluar, aku hanya melihatmu berlari ke bawah dan pergi keluar tanpa menggunakan alas kaki apapun." Aku menatap Nanase dan segera memukulnya pelan.
"He-hei, apa salahku?" Tanya Nanase dengan tampang tak berdosanya.
"Kenapa kau tidak memanggilku? Huh!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan memanyunkan bibirku.
"Maaf. Aku kira kau memang ingin pergi keluar untuk mencari tukang pos atau tukang koran... haha!" Aku memukul Nanase sekali lagi.

"Karena kau sudah bertindak aneh, sekarang kau harus mengantarku pulang!" Kataku sambil memalingkan wajah dari Nanase.
"Haha... tenang saja, tuan putri. Aku akan membawamu pulang."

Tiba-tiba, aku merasa Nanase mengangkat tubuhku dan... aku digendong oleh Nanase seperti putri kerajaan. Astaga, aku berpikiran apa ini?
"Nanase, turunkan aku!" Aku memukul-mukul Nanase lagi.
"Sudah, diam saja Rai. Nanti jika kakimu terluka, siapa yang akan mengurusnya? Tentu kau tidak mau diurus oleh Shoko maupun Takato kan?" Nanase tersenyum jahil ke arahku dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melainkan aku tertawa terbahak-bahak. Akhirnya aku pun menyerah dan aku membiarkan diriku untuk digendong Nanase sampai ke kos.
"Baiklah... lakukan saja sesukamu. Hehe..."

Nanase Sakigawa

Gadis itu. Ya, memang gadis yang menarik. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menggendongnya. Haha... memang terdengar aneh, tapi aku merasa bahagia sekarang. Saat ini aku sedang berada di dalam taksi untuk menuju ke rumahku. Lagi-lagi aku meninggalkan kos karena keluargaku terlibat masalah lagi. Aku sendiri sampai lelah harus mengurus semuanya berkali-kali.

Setibanya aku di rumah, ya... aku harus melihat gerbang yang begitu besar dan taman yang begitu luas. Kenapa rumah ini begitu besar? Ya, maklum... lagi pula rumahku juga terletak di kawasan perumahan elit. Jadi, tidak ada salahnya jika rumah-rumah di kawasan ini memiliki gerbang yang besar dan tinggi. Aku masuk ke dalam rumah dan Chou serta Nonoru menyambutku. Mungkin ibu masih ada di kamarnya, karena ibu tidak tau bahwa aku kembali ke rumah hari ini.

Aku diajak Nonoru dan Chou ke dalam dapur. Dengan segera kami mendiskusikan semuanya di dalam dapur.
"Jadi?" Aku bertanya pada Nonoru dan Chou. Mereka berdua saling bertatapan lalu mengangkat bahu bersamaan. Aku hanya menghela napas dan berpikir lagi.
"Nanase, aku sendiri tidak tau harus bagaimana. Apa kau tau kapan ayah akan pulang?" Tanya Nonoru. Aku hanya dapat menggeleng pelan, sewaktu ayah pergi, ayah tidak mengatakan apapun ia pulang kapan.
"Hmm... apa mungkin hanya nyonya yang tau?" Tiba-tiba Chou menyahut. Aku dan Nonoru langsung menatap Chou. Mungkin saja benar. Bisa saja ibu tau kapan ayah akan kembali.

"Lalu? Sekarang bagaimana? Apa kita akan memberitahukan semuanya kepada ibu?" Tanya Nonoru lagi.
"Tidak. Lebih baik jangan dulu..."
"Sepertinya aku dapat ide!" Chou tiba-tiba mengacungkan jarinya dan aku mempersilahkan Chou untuk menjelaskan rencananya. Aku dan Nonoru pun mendengarkan rencana Chou dengan seksama. Ternyata Chou menyuruh aku dan Nonoru untuk pergi ke Shibuya bersama dan menunggu di tempat yang sama untuk mengintai. Lalu kami juga harus merekam semua kejadian yang terjadi. Sepertinya ide yang brilian.

Akhirnya aku merencanakan akan pergi ke Shibuya pada siang hari nanti bersama dengan Nonoru dan Nonoru pun menyetujuinya. Mudah-mudahan masalah ini dapat diselesaikan dengan baik.


bersambung....

The Story Part 51

Ruroya Rai

Bodohnya aku. Kenapa di pagi yang cerah ini, aku harus menangis hanya karena aku diberi tatapan dingin dan kata-kata yang menancap dari Nanase? Argh! Dasar bodoh! Dan sekarang, Nanase sudah berada di kamarku sambil menyentuh kepalaku dengan lembut. Aku serasa terbawa dengan semua ini. Tangan Nanase yang besar, aku dapat merasakan kehangatannya menjalar dari kepalaku sampai ke seluruh tubuhku. Aku menghentikan isak tangisku ketika mendengar Nanase berkata "maaf" padaku.

Aku mencoba bangun dari tempat tidurku untuk segera duduk. Tapi aku tidak bisa, aku mencoba untuk mengangkat tubuhku, tapi tetap saja... tidak ada kekuatan. Aku mendengus kesal, kenapa disaat seperti ini aku selalu tidak punya kekuatan? Tanpa kusadari, tiba-tiba Nanase menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. Aku terkejut dan jantungku mulai berdebar-debar dengan begitu kencang. Wajahku pun mulai memanas.

"Na-Nanase..."
"Rai, maafkan aku..." Nanase melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Cepat-cepat aku menyingkarkan tatapanku dari tatapan Nanase. Aku tidak ingin ia melihatku dengan wajah seperti ini walaupun ia sering melihatku dengan wajah seperti ini. Namun, seperti sedang membaca pikiranku, Nanase dengan cepat menarik daguku agar mata kami bertemu.
"Rai, sudahlah. Aku mengerti maksudmu yang tidak mau menatapku itu. Tidak apa." Kata Nanase lembut. Aku mulai menyeka air mataku dan kembali menatap Nanase.

Kami berdua terdiam lagi. Ruangan terasa sangat sunyi. Aku ingin bertanya tentang kejadian tadi tapi aku tidak berani bertanya pada Nanase sama sekali.
"Nanase... seharusnya aku yang meminta maaf. Bukan kau..." Kataku akhirnya berani berbicara.
"Sudahlah... lupakan saja." Kata Nanase sambil tersenyum ke arahku. Aku menunduk.
"Nanase... memangnya tadi ada apa?" Tanyaku hati-hati. Nanase menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Bukan hal yang penting. Jika ada waktu yang tepat, aku berjanji akan memberitahumu. Tapi, Rai... apa kau tidak apa-apa jika aku tidak ada di sini besok?" Tanya Nanase yang tiba-tiba menyesakkan napasku.

Apa? Nanase akan pergi besok? Besok? Kenapa begitu mendadak?
"Besok...?" Aku menatap lantai kamarku dengan tatapan kosong. Tidak berani menatap Nanase lagi.
"Iya. Aku harus kembali ke rumahku untuk sementara. Aku harus menyelesaikan suatu masalah."
"Masalah?"
"Iya dan aku berjanji akan memberitahumu masalah apa. Tenang saja."

Aku menoleh ke arah Nanase dan menatapnya dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku digerakkan seseorang. Akhirnya aku memeluk Nanase.
"Jangan pergi..." Entah. Aku sendiri bingung kenapa aku berbicara seperti itu pada Nanase...

Nanase Sakigawa

Meskipun bingung, aku sendiri terkejut mendengar kata-kata yang dilontarkan Rai tadi. "Jangan pergi..." itu lah yang ia katakan. Awalnya aku sempat sangat terkejut. Namun, aku berpikir tidak jadi kembali ke rumah merupakan tindakan yang bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan masalah keluargaku tanpa aku kembali ke rumah? Tanpa berpikir panjang, aku pun akhirnya menjelaskan semuanya ke Rai. Namun, aku tidak menceritakan kejadian itu dan untungnya, Rai mengerti.

Saat ini aku sedang membereskan pakaianku dan tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera mengambil ponselku dan melihat nama Nonoru tertera di sana. Dengan cepat aku menempelkan ponselku ke telinga.
"Ya, ada apa Nonoru?"
"Nanase, sungguh. Ini lebih dari yang kubayangkan!" Kata Nonoru terdengar tergesah-gesah di sana.
"Memangnya ada apa, Nonoru? Santailah sedikit." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama sekali karena memikirkan tingkah laku kakak laki-lakiku yang aneh itu.
"Ayah..."

Aku membelalakan mata dan napasku pun mulai tercekal. Rasanya seperti tidak sanggup bernapas lagi setelah mendengar Nonoru menyebutkan 'ayah' di telepon.
"Nanase?" Aku tersentak dan mulai menyeka keringat yang bercucuran di keningku.
"Ya... maaf, ada apa?" Nonoru mendengus di seberang sana.
"Kau tidak mendengarkanku? Dasar bodoh kau, Nanase. Baiklah, akan aku ulang sekali lagi. Tadi, ketika aku pergi ke Shibuya dan menunggu di kedai kopi yang kau beritahu itu, apa yang kau katakan tadi pagi, semuanya memang benar. Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Astaga, aku tidak menyangka ayah akan melakukan hal seperti itu!" Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, aku sendiri pun demikian, Nonoru.
"Dan Nanase, sepertinya aku mengenal wanita itu..." Aku membelalakan mata dan dengan cepat berdeham.
"Kau mengenal wanita itu? Bagaimana bisa?"

Nonoru menghela napas dari seberang sana dan aku hanya mengelus-elus keningku lagi. Kepalaku pun mulai terasa pusing karena harus mengingat semua itu.
"Karena, wanita itu adalah rekan kerja paruh waktuku." Aku mengangkat sebelah alis dan tersenyum.
"Haha... sejak kapan kau kerja paruh waktu, Nonoru?"
"Diam kau!"

Setelah itu aku dan Nonoru terus membahas tentang ayah hingga malam hari.

Tuesday, April 20, 2010

The Story Part 50

Ruroya Rai

Sungguh. Aku tidak tau apa yang ada di pikiran Nanase saat ini. Ia begitu aneh. Sangat aneh bisa dibilang. Dari tadi, ia berbicara yang aneh-aneh dan ya begitulah, bertindak aneh juga. Aku tidak mengerti dengan jelas apa masalahnya. Tiap kali aku bertanya padanya, ia pasti menghindar dan tidak mau mengatakan apapun. Huh! Dasar menyebalkan. Sebenarnya, apa yang sedang dialami Nanase? Aku harus mencari tahu.

Esok harinya, pada pagi hari, aku berjalan ke arah kamar Nanase. Ketika aku hendak mengetuk pintu kamarnya, aku mendengar Nanase sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Sepertinya melalui ponsel, karena aku mendengar Nanase menyebut nama 'Nonoru' dan yaa, di kos ini tidak ada yang bernama Nonoru. Hehe. Aku bersender pada dinding pintu dan mencoba untuk mendengar apa yang sedang dibicarakan Nanase dengan laki-laki yang bernama Nonoru itu.

"Aku tidak mengerti, Nonoru! Aku sendiri juga bingung kenapa ayah bisa melakukan hal seperti itu! Oh ya... aku mohon, jangan beritahukan masalah ini ke ibu terlebih dahulu, aku tidak enak pada ibu..." Kata Nanase. Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk jariku. Kira-kira, ada masalah apa ya? Kenapa ada hubungan dengan ayah dan ibu Nanase? Apa jangan-jangan Nonoru adalah kakak atau adik Nanase? Oke, aku semakin penasaran sekarang.

Ketika aku hendak mendengar percakapannya lebih lanjut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah dari dalam kamar Nanase. Oh tidak! Nanase akan keluar, bagaimana ini? Tidak, tidak! Aku harus lari ke mana? Oh, sial! Sudah telat. Nanase sudah membuka pintu dan ia menatapku dengan menyipitkan matanya. Aku hanya tersenyum gugup di hadapannya.
"Ha-hai, Nanase. Ohayo. Hehe..." Nanase mendengus pelan. Sepertinya ia tau aku menguping.
"Rai, kenapa kau di sini?"
"Ma-maaf, Nanase. Aku tidak bermaksud..."
"Sudah-sudah, cukup..." Nanase menyela pembicaraanku lalu ia turun ke bawah. Aku menatap Nanase dengan perasaan tidak enak. Apa jangan-jangan ia marah ya? Argh! Dasar bodoh kau, Rai! Kenapa harus menguping?! Aargh!

BRAK! Aku tersentak ketika mendengar suara pintu dibanting. Ternyata Shoko. Aku menatap Shoko dengan lemas lalu tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko." Sapaku kepada Shoko. Shoko menoleh dan membalas sapaanku.
"Rai! Hehe... hm? Ada apa, Rai? Kau sepertinya tidak kelihatan baik-baik saja." Seperti biasa, Shoko selalu mengetahui keadaan hatiku setiap harinya.
"Shoko... aku... aku tidak ingin... menangis pagi-pagi... tapi..." Tangisanku tiba-tiba pecah dengan sendirinya. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya, aku langsung menerima dekapan Shoko dan menangis dalam dekapan Shoko.

Nanase Sakigawa

Sial! Rai sudah mendengar berapa banyak ya? Argh! Tidak! Jika ia mendengar semuanya, mungkin ia akan mengecap aku sebagai laki-laki yang tidak benar! Aduh, bagaimana ini? Dan lebih bodohnya lagi, aku bersikap dingin di hadapannya, padahal ia tersenyum begitu manis di hadapanku, tapi... aku membalas kata-katanya dengan tatapan tajam dan kata-kata yang cukup dingin. Aduh! Aku sudah punya kesalahan yang besar.

Aku mengusap-usap wajahku untuk menenangkan pikiran dan hati. Aku bingung bagaimana nanti aku akan berhadapan dengan Rai. Semoga saja ia tidak menangis, jika Rai sampai menangis, aku tidak tau harus berbuat apa.
"Nanase!" Aku menoleh dan mendapati Shoko yang sedang menuruni anak tangga memanggilku. Aku tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko. Ada apa?" Shoko menarik bangku yang ada di depanku lalu duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.
"Nanase, apa yang kau lakukan pada Rai?"

Apa yang baru saja aku pikirkan tadi, sekarang pun terjadi. Aku yakin sekarang Rai pasti kenapa-napa. Aku tau itu. Argh! Aku ini memang laki-laki bodoh!
"Aku tidak melakukan apa-apa, Shoko."
"Tidak mungkin, Nanase! Apa kau tau? Sekarang Rai menangis, ini pertama kalinya aku melihat seseorang menyambut pagi harinya dengan air mata, apa kau tau hal tersebut tidak lucu dan tidak menarik sama sekali!" Shoko terus memarahiku dan aku hanya bisa menunduk dan merenungi kata-kata Shoko. Hmm... mungkin aku harus bertemu dengan Rai.

Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Shoko yang masih berceloteh menuju ke kamar Rai. Aku juga tidak peduli dengan teriakan Shoko yang terus memanggil-manggilku. Aku berjalan ke kamar Rai dan mengetuknya pelan. Tidak dibuka. Sepertinya Rai memang mengurung diri lagi.
"Rai, ini aku... tolong buka pintunya. Aku bisa jelaskan semuanya." Tetap tidak dibuka. Lama-lama aku merasa sedikit jengkel. Aku menyentuh gagang pintu dan mencoba untuk membukanya dan... ya, kamarnya tidak dikunci. Aku masuk perlahan ke kamar Rai dan mendapati Rai sedang membenamkan wajahnya di bantalnya. Aku menutup pintu kamar Rai dan mendekatinya perlahan.

"Rai..." Aku menyentuh kepala Rai dengan lembut. Tetap tidak ada reaksi juga dari Rai. Lalu aku duduk di pinggir tempat tidur Rai dan mendengar suara isak tangis Rai yang tidak berhenti-henti.
"Rai, maafkan aku..." Kataku pada akhirnya. Aku mendengar suara isak tangis Rai tiba-tiba berhenti.
"Aku mohon, Rai. Bicaralah padaku..."




bersambung...