Tuesday, June 29, 2010

The Story Part 54

Ruroya Rai

Kejadian tadi di tempat kos, memang sangat aneh menurutku. Aku sendiri juga bingung, tiba-tiba Shoko bertingkah aneh dan langsung saja ia mengurung diri di kamarnya. Oke, sudah cukup hari ini aku dibuat bingung. Saat ini aku sedang berjalan di Shibuya sambil membawa 2 plastik yang berisi banyak bahan masakan. Karena tiba-tiba aku merasa lelah, akhirnya aku berhenti ke sebuah kafe dan duduk di dalamnya sambil menikmati kopi hangat yang sudah disediakan.

Aku menatap ke arah jalanan di luar sambil sesekali menyesap kopi hangat tersebut. Aku menghembuskan napas ketika aku sudah menelan kopi hangat tersebut sampai habis. Lalu aku bangkit dari kursi dan akhirnya melanjutkan perjalanan kembali menuju ke tempat kos.

Sesampainya di kos, aku melihat Akita masih ada di sana. Dengan cepat aku meletakkan barang-barang hasil belanja ku di meja dan menghampiri Akita.
"Akita-san, sedang apa di sini?" Tanyaku sambil tersenyum. Akita menoleh dan membalas senyumanku.
"Aku hanya sedang menunggu Shoko." Aku memiringkan kepala karena bingung.
"Menunggu Shoko? Memangnya kalian mau ke mana?" Akita mengangkat kedua bahunya dan tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari ke atas dan mencari Shoko.

"SHOKO!" Aku berteriak di depan pintu kamar Shoko dan Shoko langsung membukanya.
"Ada apa, Rai?" Wajah Shoko terlihat begitu jengkel. Namun, aku tidak peduli dan akhirnya aku menerobos masuk ke kamar Shoko. Ketika memasuki kamar Shoko, aku sangat terkejut.
"Astaga! Apa artinya semua ini, Shoko?"
"Diam, Rai! Argh! Sudahlah, kau tidak perlu tau!" Shoko pun mendorong-dorong diriku agar sampai ke pintu. Aku pun memberontak dan akhirnya aku memegang kedua bahu Shoko.
"Shoko, aku yakin semua yang kulihat ini bukan rekayasa. Kenapa kau menghindar darinya, Shoko?" Wajah Shoko merah padam dan ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

Aku memutar kepala Shoko agar ia melihat sekeliling kamarnya.
"Shoko, lihat. Ini artinya ia mencintaimu Shoko. Apa kau tega kau akan menggantunginya seumur hidup?"
"Aku tau, Rai. Aku tidak mau menggantunginya seumur hidup. Tapi, semua ini terlalu cepat Rai! Aku sendiri bingung, setiap hari ia mengirimiku bunga ini dan semua surat cinta hanya untuk meyakinkanku sehingga aku mau menikah dengannya! Aku memang mencintainya, Rai. Tapi, apa menurutmu ini semua terlalu cepat?" Aku tersenyum dan memegang bahu Shoko.
"Tidak ada kata terlalu cepat menurutku. Aku yakin dalam benakmu, kau pasti menginginkan untuk hidup bersama dengannya, apa aku benar?" Shoko memalingkan wajahnya lagi. Sepertinya wajah Shoko sudah merah padam seperti kepiting rebus.

Shoko mendongak dan menatapku. Lalu ia memelukku sambil terisak.
"Iya. Terima kasih, Rai. Kau dapat memberikan keyakinan padaku."
"Jadi, apa kau akan menerima lamarannya?" Tanyaku sambil tersenyum. Lalu Shoko mengangguk dengan pasti sambil menyeka air matanya yang mulai keluar dari kelopak matanya.
"Cepat katakan padanya..."

Shoko pun keluar dari kamarnya dan segera mencari Akita...

Nanase Sakigawa

Sesampainya di rumah, aku tampak bahagia melihat hasil rekaman yang baru saja ambil tadi dengan Nonoru. Entah mengapa saat ini aku merasa begitu kejam, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahan dengan tingkah laku ayahku.

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sambil sesekali mengulang-ulang video rekaman ayahku. Nonoru yang saat itu sedang ada di kamarku, terlihat bingung karena aku sedari tadi hanya mengulang dan mengulang videonya.
"Nanase, kenapa kau mengulang video tersebut?" Aku menekan tombol pause lalu berbalik menatap Nonoru.
"Entahlah. Aku hanya senang melihatnya." Nonoru mengangkat bahu lalu melempar komik Nanase ke atas tempat tidur Nanase.

Tiba-tiba aku sadar bahwa sedari tadi aku tidak menyentuh ponselku sama sekali. Aku bingung dan aku langsung terduduk di tempat tidur. Awalnya aku berniat mencarinya, tetapi selagi ada Nonoru lebih baik aku bertanya padanya.
"Nonoru, apa kau lihat ponselku?" Nonoru menatapku dengan bingung.
"Mungkin ada di meja sana. Dasar, kamar sendiri kau tidak ingat meletakkan ponselmu sendiri." Nonoru menunjuk meja yang ada di ujung ruangan.

Aku beranjak dari tempat tidur dan langsung mengambil ponselku. Saat aku melihat ke arah layar, ternyata ada 1 pesan masuk. Aku membukanya dan pesan tersebut ternyata dari Rai.
Aku berjalan ke sudut ruangan dan bersandar di tembok. Ya, aku sering sekali meninggalkan gadis ini. Rai kadang sangat kesepian karena Riku sudah tidak ada dan aku kadang tidak pernah ada untuknya. Aku ingin sekali mendampinginya tapi, apa mungkin aku masih bisa memasuki hatinya seperti dulu? Aku tidak yakin. Lalu, aku sedang ada masalah dengan keluargaku. Ayahku ternyata selingkuh. Aku tidak akan pernah tau bagaimana reaksi ibu ketika ia melihat ayah seperti ini.

"Nanase, hei! Kapan kita akan menjalankan rencana yang kau maksud itu?" Tiba-tiba Nonoru menyadarkanku kembali. Aku menatap Nonoru lalu tersenyum.
"Tenang saja. Aku sudah punya ide bagus. Aku akan membuat ayah terpancing dengan omonganku."
"Ya, bagaimana caranya, Nanase?"
"Sudahlah, nanti kau akan mengerti. Tenang saja dulu."

Setelah itu Nonoru meninggalkan kamarku dan ya... aku berada di kamar sendirian lagi...


bersambung...

Friday, April 23, 2010

The Story Part 53

Ruroya Rai

Nanase sudah pergi. Aku duduk di tempat tidurku sambil memeluk kakiku. Lalu aku memandang keluar jendela. Sekali lagi aku mendesah pelan. Aku mengingat kejadian tadi pagi, ketika Nanase menggendongku layaknya aku ini seorang putri raja, aku akan selalu mengingat kejadian itu. Tapi, kenapa aku seperti berpaling dari seseorang? Tentu saja aku tidak melupakan Riku. Ia adalah cinta pertamaku. Namun, aku belum bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Riku... kau ke mana ya? Aku ingin sekali bertemu dengannya.

Aku mengambil ponselku yang aku letakkan di meja sebelah tempat tidurku. Lalu aku memain-mainkan ponselku sebentar. Tiba-tiba aku berpikir untuk meng-sms Nanase. Tapi, apakah Nanase sedang sibuk? Ya, aku tidak akan tau jika aku tidak mencobanya bukan?

To: Sakigawa, Nanase
Hai, Nanase. Apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin berbicara denganmu. Maaf ya (:

Setelah aku menekan tombol kirim. Aku meletakkan kembali ponselku. Aku menunggu hinggal 30 menit lamanya dan Nanase belum membalas juga. Apa yang sedang ia lakukan ya? Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Mungkin saja ia sedang sibuk.

Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju keluar kamar. Di luar aku bertemu dengan Shoko.
"Shoko!" Sapa ku sambil tersenyum. Shoko balas tersenyum.
"Rai! Hehe... sedang apa di kamar terus? Kau tidak sedang mengurung diri lagi kan?" Tanya Shoko.
"Tentu saja tidak. Hanya saja, hari ini Nanase kembali ke rumahnya. Aku merasa bosan. Ingin pergi jalan-jalan. Kau sedang ada acara?" Shoko mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk jarinya.
"Hmm..." Shoko terus berpikir. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Shoko, bukankah kau mau pergi dengan Akita-san?"
"Akita? Tidak..."

TING TONG! Tiba-tiba terdengar bel pintu yang berbunyi. Sepertinya ada yang datang. Ketika aku hendak turun ke bawah, tiba-tiba Saki berteriak.
"Tenang saja, biar aku yang buka!" Aku dan Shoko hanya melihat dari atas siapa yang datang ke tempat ini. Ternyata yang datang adalah... Akita?

"Shoko... itu Akita-san kan?" Tanyaku sambil menunjuk Akita. Shoko hanya menutup mulut dan memasang tampang tidak percaya.
"Kenapa?"

Nanase Sakigawa

Seperti rencana yang sudah kami rencanakan tadi. Aku dan Nonoru pergi ke Shibuya untuk mengintai lagi. Ya, awalnya kami berdua pergi-pergi ke suatu tempat untuk membeli buku manga untuk dibaca nanti. Lalu kami pergi ke kedai kopi yang waktu itu aku kunjungi dan aku duduk di sana bersama dengan Nonoru.

"Apa kau yakin ayah akan kembali ke tempat ini lagi? Aku cukup ragu-ragu dengan hal ini." Tanya Nonoru sambil menyeruput kopi hangatnya. Aku menyentuh bibir gelas dan menatap Nonoru.
"Seharusnya ayah sebentar lagi akan jalan-jalan ke tempat ini. Mudah-mudahan ia tidak berganti-ganti perempuan."  Nonoru memukulku pelan.
"Haha... jadi kau mau bilang bahwa ayah kita berhubungan dengan perempuan yang berbeda-beda?" Aku mengangkat bahu lalu meminum kopi hangatku dengan pelan.
"Mungkin saja..."

Beberapa menit kemudian, ketika aku sedang membenarkan kameraku-yang sebentar lagi akan rusak-tiba-tiba Nonoru berteriak ke arahku.
"Nanase! Di sana! Itu ayah kan?" Aku mengelus-elus dada dan memukul Nonoru pelan.
"Santailah sedikit, Nonoru!" Aku mengambil kameraku dan mulai merekam semua kejadian. Nonoru terus melihatku dengan tatapan aneh.
"Ada apa lagi, Nonoru? Apa ada yang aneh?" Nonoru mengangkat bahu.
"Sepertinya jika hanya merekam seperti ini kurang seru. Seharusnya kita coba menelepon ayah supaya bukti bisa bertambah lagi. Jika perlu kau me-loudspeaker ponselmu."

Sepertinya ide bagus, pikirku. Dengan cepat aku mengambil ponselku yang aku letakkan di meja dan mulai mencari nama ayah di ponselku. Setelah itu aku menekan tombol telepon. Terdengar nada sambung beberapa kali dan tidak diangkat. Aku menatap layar ponselku lalu menelepon sekali lagi. Namun, mataku tetap tertuju pada kamera dan akhirnya aku melihat ayah sedang merogoh-rogoh sakunya, mungkin saja sedang mencari ponselnya dan... ya! Benar! Ayah menjawab panggilan tersebut.
"Nanase? Ada apa?" Aku tersenyum. Ternyata, ayah sedikit bodoh.
"Ayah, sedang ada di mana?" Aku bersikap seperti biasa. Bertanya hal-hal bodoh yang sebenarnya aku sudah tau.
"Ayah? U-umm... bekerja tentu saja! Sudahlah... diam saja kau. Memangnya kau pikir ayah sedang apa? Dasar anak bodoh..." Dan yap! Sambungan diputuskan dan dari arah kamera aku melihat ayah mengajak wanita itu pergi meninggalkan Shibuya. Aku menghela napas dan tersenyum penuh kemenangan.

"Berhasilkah kita?" Tanya Nonoru ketika kami sedang berjalan pulang. Aku menoleh ke arah Nonoru dan mengangguk sambil tersenyum.
"Tentu saja dan sepertinya aku punya rencana yang lain lagi. Maaf saja, tapi aku dengan jujur membenci ayahku. Aku tidak suka bagaimana cara ia memperlakukan kita, Nonoru. Apa kau tidak merasakannya?" Kataku sambil menunduk dan menendang kerikil yang ada di jalanan.
"Ya, aku memang tidak suka dengan sikap ayah yang seperti itu. Namun, aku ingin ayah mengetahui kesalahannya sendiri. Ia mempermainkan keluarganya begitu saja. Umm... Nanase, memangnya kau mau membuat rencana seperti apa?" Aku menghentikan langkahku dan aku langsung mendongakkan kepala.
"Aku akan membuat ibu melihat semua ini bukan hanya dari rekaman ini, tapi aku akan membuat ibu melihat dengan mata kepala ibu sendiri!"



bersambung...

Wednesday, April 21, 2010

The Story Part 52

Ruroya Rai

Aku terbangun dari tidurku dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku berjalan ke arah pintu dan bersender sebentar di pintu. Bagaimana dengan Nanase ya? Bukankah ia mau kembali ke rumahnya hari ini? Aku menguap... OH IYA! Nanase akan kembali hari ini! Oh tidak, oh tidak! Bagaimana ini? Apa jangan-jangan ia sudah pergi ya? Dengan cepat aku membuka pintu kamarku dengan kasar dan mengambil mantelku yang aku gantung di belakang pintu lalu menutup pintunya dengan kasar juga.

Aku menuruni anak tangga dengan tergesah-gesah dan berharap semoga saja Nanase masih ada di bawah atau pun di dapur atau di ruang tamu atau... argh! Di mana sajalah yang penting aku bisa bertemu dengannya terlebih dahulu sebelum ia meninggalkan tempat kos sekali lagi. Sesampainya di ruang tamu, aku tidak melihat sosok Nanase sama sekali. Sial! Jangan-jangan sudah pergi. Karena aku kalap, tanpa kusadari, aku terus berjalan keluar rumah dan berakhir lah aku berjalan tanpa arah.

Ada apa denganku? Kenapa aku berjalan tanpa arah seperti ini? Benar-benar aneh. Dengan mendengus kesal, aku berbalik dan berjalan ke arah taman yang biasa aku datangi. Aku duduk di ayunan dan menggoyang-goyangkannya sendiri sehingga aku dapat merasakan angin pagi yang mulai menusuk-nusuk tubuhku. Aku menatap ke arah jalanan yang saat itu masih kosong dengan tatapan kosong. Aku menghela napas. Ke mana Nanase? Apa dia sudah pergi? Kenapa ia tidak pernah mengucapkan apa-apa padaku?

Aku menunduk menatap kakiku dan baru kusadari, aku tidak menggunakan alas kaki apapun. Ya, karena tadi aku begitu kalap sehingga lupa mengambil alas kaki dan langsung pergi keluar dengan seenaknya saja. Brrr... dingin sekali ternyata. Aku beranjak dari ayunan dan mengganti posisi duduk dengan membelakangi jalanan yang tadi. Dengan memeluk diri sendiri, aku menggigil kedinginan.

"Hei, gadis bodoh!" Aku mendengar suara seseorang, aku mencari-cari sumber suara itu tapi aku tidak tau dari mana dan tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang yang melingkarkan tangannya di tubuhku sambil mengenakanku sebuah mantel tebal yang hangat. Aku menoleh dan mendapati Nanase sedang berdiri di belakangku. Tunggu... siapa tadi? Apa... NANASE?! Karena tidak percaya, aku menoleh dan melihat ternyata memang Nanase yang berdiri di belakangku.
"Nanase? Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau akan kembali ke rumahmu?" Tanyaku. Nanase tersenyum dan mengacak-acak rambutku tiba-tiba.
"Haha... dasar gadis bodoh. Aku baru saja bangun dan baru saja selesai bersiap-siap." Wajahku tiba-tiba memanas, ternyata Nanase belum pergi.
"Aku kira... aku kira... kau sudah pergi. Makadari itu aku mencari mu dari tadi." Kataku sambil menyembunyikan wajahku yang sudah mulai memerah. Nanase terkekeh pelan dan mengacak-acak rambutku lagi.

"Kau tau, Rai... awalnya aku terbangun karena mendengar suara gaduh di luar kamar. Hehe... saat aku keluar, aku hanya melihatmu berlari ke bawah dan pergi keluar tanpa menggunakan alas kaki apapun." Aku menatap Nanase dan segera memukulnya pelan.
"He-hei, apa salahku?" Tanya Nanase dengan tampang tak berdosanya.
"Kenapa kau tidak memanggilku? Huh!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan memanyunkan bibirku.
"Maaf. Aku kira kau memang ingin pergi keluar untuk mencari tukang pos atau tukang koran... haha!" Aku memukul Nanase sekali lagi.

"Karena kau sudah bertindak aneh, sekarang kau harus mengantarku pulang!" Kataku sambil memalingkan wajah dari Nanase.
"Haha... tenang saja, tuan putri. Aku akan membawamu pulang."

Tiba-tiba, aku merasa Nanase mengangkat tubuhku dan... aku digendong oleh Nanase seperti putri kerajaan. Astaga, aku berpikiran apa ini?
"Nanase, turunkan aku!" Aku memukul-mukul Nanase lagi.
"Sudah, diam saja Rai. Nanti jika kakimu terluka, siapa yang akan mengurusnya? Tentu kau tidak mau diurus oleh Shoko maupun Takato kan?" Nanase tersenyum jahil ke arahku dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melainkan aku tertawa terbahak-bahak. Akhirnya aku pun menyerah dan aku membiarkan diriku untuk digendong Nanase sampai ke kos.
"Baiklah... lakukan saja sesukamu. Hehe..."

Nanase Sakigawa

Gadis itu. Ya, memang gadis yang menarik. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menggendongnya. Haha... memang terdengar aneh, tapi aku merasa bahagia sekarang. Saat ini aku sedang berada di dalam taksi untuk menuju ke rumahku. Lagi-lagi aku meninggalkan kos karena keluargaku terlibat masalah lagi. Aku sendiri sampai lelah harus mengurus semuanya berkali-kali.

Setibanya aku di rumah, ya... aku harus melihat gerbang yang begitu besar dan taman yang begitu luas. Kenapa rumah ini begitu besar? Ya, maklum... lagi pula rumahku juga terletak di kawasan perumahan elit. Jadi, tidak ada salahnya jika rumah-rumah di kawasan ini memiliki gerbang yang besar dan tinggi. Aku masuk ke dalam rumah dan Chou serta Nonoru menyambutku. Mungkin ibu masih ada di kamarnya, karena ibu tidak tau bahwa aku kembali ke rumah hari ini.

Aku diajak Nonoru dan Chou ke dalam dapur. Dengan segera kami mendiskusikan semuanya di dalam dapur.
"Jadi?" Aku bertanya pada Nonoru dan Chou. Mereka berdua saling bertatapan lalu mengangkat bahu bersamaan. Aku hanya menghela napas dan berpikir lagi.
"Nanase, aku sendiri tidak tau harus bagaimana. Apa kau tau kapan ayah akan pulang?" Tanya Nonoru. Aku hanya dapat menggeleng pelan, sewaktu ayah pergi, ayah tidak mengatakan apapun ia pulang kapan.
"Hmm... apa mungkin hanya nyonya yang tau?" Tiba-tiba Chou menyahut. Aku dan Nonoru langsung menatap Chou. Mungkin saja benar. Bisa saja ibu tau kapan ayah akan kembali.

"Lalu? Sekarang bagaimana? Apa kita akan memberitahukan semuanya kepada ibu?" Tanya Nonoru lagi.
"Tidak. Lebih baik jangan dulu..."
"Sepertinya aku dapat ide!" Chou tiba-tiba mengacungkan jarinya dan aku mempersilahkan Chou untuk menjelaskan rencananya. Aku dan Nonoru pun mendengarkan rencana Chou dengan seksama. Ternyata Chou menyuruh aku dan Nonoru untuk pergi ke Shibuya bersama dan menunggu di tempat yang sama untuk mengintai. Lalu kami juga harus merekam semua kejadian yang terjadi. Sepertinya ide yang brilian.

Akhirnya aku merencanakan akan pergi ke Shibuya pada siang hari nanti bersama dengan Nonoru dan Nonoru pun menyetujuinya. Mudah-mudahan masalah ini dapat diselesaikan dengan baik.


bersambung....

The Story Part 51

Ruroya Rai

Bodohnya aku. Kenapa di pagi yang cerah ini, aku harus menangis hanya karena aku diberi tatapan dingin dan kata-kata yang menancap dari Nanase? Argh! Dasar bodoh! Dan sekarang, Nanase sudah berada di kamarku sambil menyentuh kepalaku dengan lembut. Aku serasa terbawa dengan semua ini. Tangan Nanase yang besar, aku dapat merasakan kehangatannya menjalar dari kepalaku sampai ke seluruh tubuhku. Aku menghentikan isak tangisku ketika mendengar Nanase berkata "maaf" padaku.

Aku mencoba bangun dari tempat tidurku untuk segera duduk. Tapi aku tidak bisa, aku mencoba untuk mengangkat tubuhku, tapi tetap saja... tidak ada kekuatan. Aku mendengus kesal, kenapa disaat seperti ini aku selalu tidak punya kekuatan? Tanpa kusadari, tiba-tiba Nanase menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. Aku terkejut dan jantungku mulai berdebar-debar dengan begitu kencang. Wajahku pun mulai memanas.

"Na-Nanase..."
"Rai, maafkan aku..." Nanase melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Cepat-cepat aku menyingkarkan tatapanku dari tatapan Nanase. Aku tidak ingin ia melihatku dengan wajah seperti ini walaupun ia sering melihatku dengan wajah seperti ini. Namun, seperti sedang membaca pikiranku, Nanase dengan cepat menarik daguku agar mata kami bertemu.
"Rai, sudahlah. Aku mengerti maksudmu yang tidak mau menatapku itu. Tidak apa." Kata Nanase lembut. Aku mulai menyeka air mataku dan kembali menatap Nanase.

Kami berdua terdiam lagi. Ruangan terasa sangat sunyi. Aku ingin bertanya tentang kejadian tadi tapi aku tidak berani bertanya pada Nanase sama sekali.
"Nanase... seharusnya aku yang meminta maaf. Bukan kau..." Kataku akhirnya berani berbicara.
"Sudahlah... lupakan saja." Kata Nanase sambil tersenyum ke arahku. Aku menunduk.
"Nanase... memangnya tadi ada apa?" Tanyaku hati-hati. Nanase menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Bukan hal yang penting. Jika ada waktu yang tepat, aku berjanji akan memberitahumu. Tapi, Rai... apa kau tidak apa-apa jika aku tidak ada di sini besok?" Tanya Nanase yang tiba-tiba menyesakkan napasku.

Apa? Nanase akan pergi besok? Besok? Kenapa begitu mendadak?
"Besok...?" Aku menatap lantai kamarku dengan tatapan kosong. Tidak berani menatap Nanase lagi.
"Iya. Aku harus kembali ke rumahku untuk sementara. Aku harus menyelesaikan suatu masalah."
"Masalah?"
"Iya dan aku berjanji akan memberitahumu masalah apa. Tenang saja."

Aku menoleh ke arah Nanase dan menatapnya dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku digerakkan seseorang. Akhirnya aku memeluk Nanase.
"Jangan pergi..." Entah. Aku sendiri bingung kenapa aku berbicara seperti itu pada Nanase...

Nanase Sakigawa

Meskipun bingung, aku sendiri terkejut mendengar kata-kata yang dilontarkan Rai tadi. "Jangan pergi..." itu lah yang ia katakan. Awalnya aku sempat sangat terkejut. Namun, aku berpikir tidak jadi kembali ke rumah merupakan tindakan yang bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan masalah keluargaku tanpa aku kembali ke rumah? Tanpa berpikir panjang, aku pun akhirnya menjelaskan semuanya ke Rai. Namun, aku tidak menceritakan kejadian itu dan untungnya, Rai mengerti.

Saat ini aku sedang membereskan pakaianku dan tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera mengambil ponselku dan melihat nama Nonoru tertera di sana. Dengan cepat aku menempelkan ponselku ke telinga.
"Ya, ada apa Nonoru?"
"Nanase, sungguh. Ini lebih dari yang kubayangkan!" Kata Nonoru terdengar tergesah-gesah di sana.
"Memangnya ada apa, Nonoru? Santailah sedikit." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama sekali karena memikirkan tingkah laku kakak laki-lakiku yang aneh itu.
"Ayah..."

Aku membelalakan mata dan napasku pun mulai tercekal. Rasanya seperti tidak sanggup bernapas lagi setelah mendengar Nonoru menyebutkan 'ayah' di telepon.
"Nanase?" Aku tersentak dan mulai menyeka keringat yang bercucuran di keningku.
"Ya... maaf, ada apa?" Nonoru mendengus di seberang sana.
"Kau tidak mendengarkanku? Dasar bodoh kau, Nanase. Baiklah, akan aku ulang sekali lagi. Tadi, ketika aku pergi ke Shibuya dan menunggu di kedai kopi yang kau beritahu itu, apa yang kau katakan tadi pagi, semuanya memang benar. Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Astaga, aku tidak menyangka ayah akan melakukan hal seperti itu!" Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, aku sendiri pun demikian, Nonoru.
"Dan Nanase, sepertinya aku mengenal wanita itu..." Aku membelalakan mata dan dengan cepat berdeham.
"Kau mengenal wanita itu? Bagaimana bisa?"

Nonoru menghela napas dari seberang sana dan aku hanya mengelus-elus keningku lagi. Kepalaku pun mulai terasa pusing karena harus mengingat semua itu.
"Karena, wanita itu adalah rekan kerja paruh waktuku." Aku mengangkat sebelah alis dan tersenyum.
"Haha... sejak kapan kau kerja paruh waktu, Nonoru?"
"Diam kau!"

Setelah itu aku dan Nonoru terus membahas tentang ayah hingga malam hari.

Tuesday, April 20, 2010

The Story Part 50

Ruroya Rai

Sungguh. Aku tidak tau apa yang ada di pikiran Nanase saat ini. Ia begitu aneh. Sangat aneh bisa dibilang. Dari tadi, ia berbicara yang aneh-aneh dan ya begitulah, bertindak aneh juga. Aku tidak mengerti dengan jelas apa masalahnya. Tiap kali aku bertanya padanya, ia pasti menghindar dan tidak mau mengatakan apapun. Huh! Dasar menyebalkan. Sebenarnya, apa yang sedang dialami Nanase? Aku harus mencari tahu.

Esok harinya, pada pagi hari, aku berjalan ke arah kamar Nanase. Ketika aku hendak mengetuk pintu kamarnya, aku mendengar Nanase sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Sepertinya melalui ponsel, karena aku mendengar Nanase menyebut nama 'Nonoru' dan yaa, di kos ini tidak ada yang bernama Nonoru. Hehe. Aku bersender pada dinding pintu dan mencoba untuk mendengar apa yang sedang dibicarakan Nanase dengan laki-laki yang bernama Nonoru itu.

"Aku tidak mengerti, Nonoru! Aku sendiri juga bingung kenapa ayah bisa melakukan hal seperti itu! Oh ya... aku mohon, jangan beritahukan masalah ini ke ibu terlebih dahulu, aku tidak enak pada ibu..." Kata Nanase. Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk jariku. Kira-kira, ada masalah apa ya? Kenapa ada hubungan dengan ayah dan ibu Nanase? Apa jangan-jangan Nonoru adalah kakak atau adik Nanase? Oke, aku semakin penasaran sekarang.

Ketika aku hendak mendengar percakapannya lebih lanjut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah dari dalam kamar Nanase. Oh tidak! Nanase akan keluar, bagaimana ini? Tidak, tidak! Aku harus lari ke mana? Oh, sial! Sudah telat. Nanase sudah membuka pintu dan ia menatapku dengan menyipitkan matanya. Aku hanya tersenyum gugup di hadapannya.
"Ha-hai, Nanase. Ohayo. Hehe..." Nanase mendengus pelan. Sepertinya ia tau aku menguping.
"Rai, kenapa kau di sini?"
"Ma-maaf, Nanase. Aku tidak bermaksud..."
"Sudah-sudah, cukup..." Nanase menyela pembicaraanku lalu ia turun ke bawah. Aku menatap Nanase dengan perasaan tidak enak. Apa jangan-jangan ia marah ya? Argh! Dasar bodoh kau, Rai! Kenapa harus menguping?! Aargh!

BRAK! Aku tersentak ketika mendengar suara pintu dibanting. Ternyata Shoko. Aku menatap Shoko dengan lemas lalu tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko." Sapaku kepada Shoko. Shoko menoleh dan membalas sapaanku.
"Rai! Hehe... hm? Ada apa, Rai? Kau sepertinya tidak kelihatan baik-baik saja." Seperti biasa, Shoko selalu mengetahui keadaan hatiku setiap harinya.
"Shoko... aku... aku tidak ingin... menangis pagi-pagi... tapi..." Tangisanku tiba-tiba pecah dengan sendirinya. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya, aku langsung menerima dekapan Shoko dan menangis dalam dekapan Shoko.

Nanase Sakigawa

Sial! Rai sudah mendengar berapa banyak ya? Argh! Tidak! Jika ia mendengar semuanya, mungkin ia akan mengecap aku sebagai laki-laki yang tidak benar! Aduh, bagaimana ini? Dan lebih bodohnya lagi, aku bersikap dingin di hadapannya, padahal ia tersenyum begitu manis di hadapanku, tapi... aku membalas kata-katanya dengan tatapan tajam dan kata-kata yang cukup dingin. Aduh! Aku sudah punya kesalahan yang besar.

Aku mengusap-usap wajahku untuk menenangkan pikiran dan hati. Aku bingung bagaimana nanti aku akan berhadapan dengan Rai. Semoga saja ia tidak menangis, jika Rai sampai menangis, aku tidak tau harus berbuat apa.
"Nanase!" Aku menoleh dan mendapati Shoko yang sedang menuruni anak tangga memanggilku. Aku tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko. Ada apa?" Shoko menarik bangku yang ada di depanku lalu duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.
"Nanase, apa yang kau lakukan pada Rai?"

Apa yang baru saja aku pikirkan tadi, sekarang pun terjadi. Aku yakin sekarang Rai pasti kenapa-napa. Aku tau itu. Argh! Aku ini memang laki-laki bodoh!
"Aku tidak melakukan apa-apa, Shoko."
"Tidak mungkin, Nanase! Apa kau tau? Sekarang Rai menangis, ini pertama kalinya aku melihat seseorang menyambut pagi harinya dengan air mata, apa kau tau hal tersebut tidak lucu dan tidak menarik sama sekali!" Shoko terus memarahiku dan aku hanya bisa menunduk dan merenungi kata-kata Shoko. Hmm... mungkin aku harus bertemu dengan Rai.

Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Shoko yang masih berceloteh menuju ke kamar Rai. Aku juga tidak peduli dengan teriakan Shoko yang terus memanggil-manggilku. Aku berjalan ke kamar Rai dan mengetuknya pelan. Tidak dibuka. Sepertinya Rai memang mengurung diri lagi.
"Rai, ini aku... tolong buka pintunya. Aku bisa jelaskan semuanya." Tetap tidak dibuka. Lama-lama aku merasa sedikit jengkel. Aku menyentuh gagang pintu dan mencoba untuk membukanya dan... ya, kamarnya tidak dikunci. Aku masuk perlahan ke kamar Rai dan mendapati Rai sedang membenamkan wajahnya di bantalnya. Aku menutup pintu kamar Rai dan mendekatinya perlahan.

"Rai..." Aku menyentuh kepala Rai dengan lembut. Tetap tidak ada reaksi juga dari Rai. Lalu aku duduk di pinggir tempat tidur Rai dan mendengar suara isak tangis Rai yang tidak berhenti-henti.
"Rai, maafkan aku..." Kataku pada akhirnya. Aku mendengar suara isak tangis Rai tiba-tiba berhenti.
"Aku mohon, Rai. Bicaralah padaku..."




bersambung...

Monday, March 22, 2010

The Story Part 49

Ruroya Rai


"Shoko!!! Kembalikan barangku!! Heeeiii!!!"

Saat ini, aku sedang mengejar Shoko karena Shoko mengambil barang berhargaku. Ya, Shoko memang selalu mengerjaiku. Barang yang diambil Shoko adalah surat Riku waktu itu. Karena Shoko begitu penasaran, ia langsung mengambilnya di kamarku. Dan sekarang aku ingin mengambil surat itu kembali dan harus melalui proses pengejaran di dalam kos.

Aku berhenti sebentar dan mengatur napasku yang tersengal-sengal. Aku melihat ke depan dan mendapati Shoko menjulurkan lidah ke arahku. Aku pun jengkel dan mengejar Shoko lagi.
"Shoko!! Apa maumu??! Kembalikan!!" Teriakku sambil mengejar Shoko. Shoko pun hanya tertawa-tawa geli.
"Haha... ada apa, Rai? Kenapa aku tidak boleh membacanya?"
"Kau tau Shoko apa artinya rahasia dan pribadi? Itu artinya kau tidak boleh ikut campur sama sekali!! Aaaargh!! Shoko!! Berhenti!!" Aku mulai berteriak-teriak tidak jelas dan akhirnya aku melompat ke arah Shoko dan menimpa Shoko.

"Raii!! Apa kau gila?! Berat badanmu lebih berat dibanding dengan berat badanku! Cepat pergi dari sini!" Aku menghiraukan semua kata-kata Shoko dan terus menindihnya.
"Aku tidak akan bangun sebelum kau mengembalikan barangku! Dan jangan berpikir bahwa aku lebih berat darimu! Apa kau tidak lihat? Tubuhku sekecil ini?"

Tiba-tiba Saki keluar dari dapur dan terkejut melihat kami berdua. Dan dengan wajah tak berdosa, kami berdua hanya tersenyum-senyum sendiri.
"Shoko, Rai! Ada apa ini? Kenapa ruangan ini berantakan?" Tanya Saki. Aku beranjak dari Shoko dan berdiri sambil menundukkan kepala.
"Maafkan kami, Saki-san." Saki tersenyum.

Setelah meminta maaf pada Saki, aku dan Shoko menghentikan permainan tidak jelas kami dan kami berdua langsung membantu Saki membereskan ruangan. Sesudah itu aku duduk bersama Shoko di ruang tamu.
"Rai, memangnya apa isi surat itu? Aku penasaran. Itu surat dari Riku kan?" Tanya Shoko sambil terus memandangi surat tersebut meskipun surat tersebut sudah berada di tanganku. Aku menatap surat tersebut dan memperlihatkan surat tersebut -bukan isinya- kepada Shoko.
"Ini rahasiaku dengan Riku dan Nanase. Maaf, Shoko..." Kataku sambil tersenyum.

Shoko menghela napas. Tampaknya Shoko kecewa karena aku tidak memberitahunya. Lalu Shoko menatapku.
"Pasti senang sekali ya punya seorang kekasih yang begitu perhatian." Aku mengernyitkan dahiku, apa maksudnya?
"Shoko, Riku sudah tiada. Kekasihku sudah tiada, Shoko. Siapa yang akan menjagaku lagi?" Shoko tersenyum lalu merangkulku.
"Aku yakin pasti ada laki-laki yang perhatian dan mau menjagamu."
"Memangnya siapa? Kenapa tiba-tiba kau bisa berbicara seperti itu?"
"Karena aku sudah tau orangnya... yaitu..."

BRAK! Tiba-tiba aku terkejut ketika mendengar suara pintu yang dibanting dengan begitu keras. Aku menoleh dan mendapati Nanase sudah kembali dengan... kenapa wajahnya terlihat gahar? Aku dan Shoko saling bertatapan dan langsung mengangkat bahu. Shoko memberiku tanda agar aku mendekati Nanase dan bertanya apa yang sedang terjadi padanya.

Akhirnya aku menuruti kemauan Shoko dan segera mendekati Nanase yang sedang duduk sendirian di meja makan sambil meremas-remas tangannya. Aku menyentuh kepala Nanase lalu duduk di sebelahnya perlahan-lahan.
"Nanase, apa kau baik-baik saja?" Tanyaku pelan, Nanase menoleh ke arahku.
"Apa ini terlihat baik-baik saja? Aku hancur, Rai!" Aku hanya diam tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika Nanase berbicara seperti itu.
"Maaf, Rai. Aku sedang tidak mau bicara saat ini... aku mau sendiri dulu." Nanase bangkit dari tempat duduknya dan segera pergi ke kamarnya. Aku terdiam di tempat dudukku. Sampai segitu kesalkah Nanase?

Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi ke taman untuk mencari udara segar. Aku duduk di salah satu ayunan dan mengayun-ayunkan ayunan dengan pelan. Taman ini terlihat begitu sepi. Aku menengadah ke atas langit, hmm... sebentar lagi musim panas akan segera berakhir dan musim gugur akan segera tiba. Pada musim gugur nanti, aku akan kembali ke Gakurai.

"Hei, nyonya yang di ayunan!" Aku terkejut ketika mendengar seseorang berteriak. Aku mendongak dan melihat orang tersebut. Ternyata seorang laki-laki yang umurnya kurang lebih sama seperti Shoko dan Takato.
"Ada apa... umm..." Aku bingung harus menyebutnya apa.
"Hiruho Akita. Panggil aku Akita saja." Kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya. Akita? Tunggu... sepertinya aku pernah mendengar nama ini.
"Akita-san, ada apa?" Akita mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, setelah itu memperlihatkannya kepadaku. Ternyata Akita memperlihatkan foto seseorang.

Shoko?! Kenapa foto yang diperlihatkan Akita adalah foto Shoko? Jangan-jangan...
"Shoko?" Akita mengernyitkan dahinya ketika aku menyebut nama Shoko.
"Kau kenal Shoko? Syukurlah!" Kata Akita sambil tersenyum. Aku hanya bertambah bingung ketika Akita tau aku mengenal Shoko, ia hanya tersenyum-senyum. Padahal saat ini aku sedang tegang-tegangnya.
"Hmm... apa kau tau tempat ia tinggal? Katanya ada di sekitar sini." Aku menghela napas. Dasar orang aneh.
"Aku satu kos dengannya. Ayo ikut denganku!"

Walaupun laki-laki yang bernama Akita itu lebih tua dariku, kenapa sikapnya tidak seperti laki-laki dewasa yang aku bayangkan ya? Aneh...

Nanase Sakigawa


Saat ini aku sedang berada di balkon sendirian. Memikirkan segala hal yang sudah terjadi saat ini. Sial, hari ini memang banyak kejadian-kejadian aneh yang tak terduga. Aku melihat ayahku... asal kalian tau... AYAHKU! Ia bukan pergi bekerja, malah dengan seenaknya pergi bersama dengan wanita lain. Ternyata apa yang dikatakan Chou semuanya benar.

Ngomong-ngomong tentang Chou, aku harus segera menghubunginya. Aku segera mengambil ponselku yang ada di atas tempat tidurku dan pergi ke balkon lagi. Setelah menemukan nomor Chou, aku langsung meneleponnya.

"Moshimoshi, Nanase-kun! Ada apa menelepon?" Sapa Chou ramah.
"Chou! Ada sesuatu yang mau aku bahas denganmu."
"Apa yang mau kau bahas, Nanase-kun?"
"Chou, hilangkan -kun-nya. Aku tidak nyaman mendengarnya." Entah mengapa, aku lebih suka namaku dipanggil biasa dan tidak ditambah embel-embel lain.
"Baiklah. Maafkan aku, Nanase." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar Chou bicara seperti itu.

Aku menghela napas bersiap-siap untuk menceritakan semuanya.
"Chou, apa yang waktu itu kau ceritakan padaku, semuanya benar dan aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Terasa jeda sesaat.
"Cerita yang mana ya? Maaf, Nanase... aku lupa." Serasa ingin terjun saat ini, kenapa Chou melupakan ceritanya sendiri? Menyedihkan...
"Aduh, Chou! Padahal kau yang menceritakannya semua kepadaku!"
"Aku tau, Nanase. Tapi aku bingung yang mana, aku kan banyak bercerita padamu." Aku menghela napas panjang.
"Baiklah, cerita tentang ayah."
"Hmmm... apa?! Kau sudah melihatnya?! Ceritakan semuanya kepadaku!" Setelah itu aku menceritakan semuanya kepada Chou tentang apa yang aku lihat di Shibuya.

Memang cerita tentang ayahku selalu mengejutkan orang-orang. Termasuk anaknya sendiri. Aku menghela napas. Setelah berdiskusi cukup lama dengan Chou, aku masih melanjutkan dengan bertanya-tanya.
"Chou, apa ibu dan Nonoru tau?"
"Hmm... Nonoru-kun ya? Lebih baik kau beritahu Nonoru-kun. Kalau nyonya sepertinya tidak tau. Aku kasihan pada nyonya." Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, yang paling menderita nanti adalah ibu. Aku memang harus mencari ayah lagi. Sesudah itu aku mengakhiri pembicaraanku dengan Chou.

Aku meletakkan ponselku di atas tempat tidurku lalu pergi keluar kamar. Setibanya di luar, aku mendengar suara ribut-ribut. Karena aku penasaran, aku langsung turun ke lantai bawah. Aku melihat di sana ada Rai, Shoko, dan seorang laki-laki. Hmm... siapa laki-laki itu?
"Sudah cukup, Akit!" Akita? Maksud teriakan Shoko itu... apa mungkin laki-laki itu adalah Hiruho Akita?

Dengan segera aku mendekati mereka semua.
"Shoko, aku mohon. Maafkan aku! Aku sungguh menyesal!" Aku melihat Akita meraih tangan Shoko dan dengan cepat aku langsung berdiri di hadapan Akita dan membelakangi Shoko.
"Apa maumu? Jika Shoko memang tidak mau kenapa kau harus memaksanya?" Kataku sambil menatap laki-laki dengan tatapan dingin.
"Siapa kau? Apa urusanmu dengan Shoko?"
"Nanase Sakigawa. Perkenalkan." Kataku sambil tersenyum sinis.

Shoko tiba-tiba memanggilku dan dengan cepat aku menoleh ke arahnya.
"Nanase, sudah tidak apa-apa. Aku bisa mengurus semuanya sendiri." Kata Shoko.
"Kenapa? Laki-laki ini sedang menyiksamu, Shoko!"
"Nanase, cukup. Jangan membuatku juga marah padamu. Rai, tolong bawa Nanase ke suatu tempat. Aku akan menyelsaikan masalahku dengan laki-laki ini." Kata Shoko sambil menatap Akita yang saat ini sudah tersenyum-senyum sendiri. Aku pun semakin jengkel melihat tingkah laku laki-laki itu.

Namun, Rai dengan cepat menarikku ke lantai atas. Sesampainya di atas, Rai langsung membantingku ke tembok.
"Ada apa denganmu, Nanase?"
"Apa maksudmu, Rai?" Tanyaku bingung sambil tetap diam pada tempatnya.
"Sejak kau kembali ke kos dengan membanting pintu, kau sudah mulai bersikap tidak jelas! Ada apa, Nanase? Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?"

Aku menunduk dan mulai berpikir. Ya, memang benar aku belum bercerita pada Rai. Aku tidak ingin ia khawatir lagi. Dengan cepat aku mendoro Rai pelan.
"Aku mau istirahat dulu. Maaf, Rai..."

Kali ini benar-benar maaf, Rai...



bersambung...

Thursday, March 11, 2010

The Story Part 48

Ruroya Rai

Aku duduk diam di dalam kamarku sendiri. Aku bingung dengan tingkah laku Nanase semalam. Kenapa ia tiba-tiba menangkap tanganku dan berkata seperti... umm... ah, sudahlah. Aku hanya bingung dengan Nanase. Itulah intinya.

"Rai!!" Aku mendengar suara Shoko dari luar. Dengan segera aku membuka pintu kamarku dan Shoko langsung menerobos masuk ke dalam kamarku begitu saja.
"Hei, Shoko. Ada apa?" Aku langsung menutup pintuku. Shoko dengan cepat langsung melompat ke atas tempat tidurku.
"Aku ingin bicara denganmu, Rai. Hehe..." Aku bingung... kenapa Shoko dari tadi terus tersenyum?
"Apa yang ingin kau bicarakan, Shoko?" Tanyaku sambil duduk di atas tempat tidurku.
"Ada apa denganmu dan Nanase?" Aku langsung menatap Shoko ketika Shoko bertanya seperti itu.
"Aku dan Nanase?" Shoko mengangguk.
"Aku tidak ada apa-apa dengan Nanase. Umm... kenapa kau bertanya seperti itu, Shoko?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

Shoko tersenyum lalu merenggangkan otot-otot tubuhnya.
"Tidak apa. Aku hanya sedang tertarik dengan kalian berdua. Menurutku, kalian berdua itu cocok. Kenapa tidak kalian mencoba untuk menjalani hubungan bersama? Mungkin Nanase dapat membahagiakanmu..." Aku menatap Shoko.
"Haha... aku belum bisa melupakan Riku. Mungkin, jika Nanase memang jatuh cinta padaku mungkin cintanya akan bertepuk sebelah tangan karena aku masih belum menginginkan siapa pun untuk masuk ke dalam hidupku kecuali Riku." Kataku sambil memain-mainkan ujung pakaianku.

Aku sendiri tidak habis pikir, kenapa aku bisa berbicara seperti itu? Ya, aku memang belum bisa melupakan Riku. Tapi suatu saat, mungkin saja aku akan melupakannya dan sekarang aku tidak ingin melupakannya. Aku tidak ingin seseorang menggantikan posisi Riku saat ini. Walaupun Riku sudah tiada, aku tetap mencintainya.

"Astaga, Rai. Kenapa kau tega melakukan hal itu pada Nanase?" Aku memukul Shoko pelan.
"Memangnya kau tau apa, Shoko? Haha... sudahlah. Aku mau berganti baju dulu."
"Dasar kau, Rai."
Setelah itu Shoko keluar dari kamarku. Aku kembali duduk di atas tempat tidurku dan memikirkan semua kata-kata Shoko. Kenapa sekarang kata-kata Shoko yang mengganggu pikiranku? Kenapa ia harus berbicara seperti itu tadi? Dasar aneh.

Nanase Sakigawa

Saat ini aku sedang berjalan-jalan seperti biasa. Di daerah Shibuya. Aku pergi ke beberapa toko buku dan membeli beberapa manga. Setelah membeli manga, aku pergi ke sebuah kafe terdekat dan duduk di dalamnya menikmati kopi yang dingin. Sebentar lagi musim gugur dan aku akan segera kembali ke Gakurai. Haha... aku merindukan Gakurai entah mengapa.

Aku menyesap kopi tersebut dengan perlahan-lahan. Merasakan setiap tetes kopi yang melintasi mulutku. Kopi yang dingin ini kini menyegarkan tenggorokanku yang tadinya kering. Sambil membaca manga, aku sudah merasakan suasana di sekitarku mulai menyenangkan.

Setelah selesai membaca manga. Aku meletakkan manga tersebut ke dalam kantung plastik. Aku meminum kopi dinginku sampai habis dan melihat ke depan untuk melihat-lihat suasana yang ada di Shibuya. Shibuya memang terkenal dengan keunikan daerahnya. Setiap pagi ataupun malam, tempat ini tidak pernah tidur. Selalu saja dipadati oleh penduduk.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengobsevasi, aku melihat sosok yang mirip dengan seseorang. Aku menyipitkan mataku berharap mendapatkan gambaran yang jelas. Aku langsung mundur dan terkejut ketika melihat wajah orang tersebut. Kenapa ia ada di sini? Bukankah ia seharusnya berada di luar negeri dan bekerja? Kenapa ia ada di sini dan pergi bersama dengan... wanita lain?



bersambung...

The Story Part 47

Ruroya Rai


Aku bangun dari tidurku di tengah malam. Untuk memastikan bahwa itu tengah malam, aku mengambil jam yang ada di meja sebelah tempat tidurku. Ya, memang tengah malam. Sudah pukul 12 malam. Aku beranjak dari tempat tidurku dan keluar dari kamarku. Saat ini kos terasa begitu gelap, ya... semuanya sudah tertidur pulas. Tapi, saat aku hendak menuju ke lantai bawah, aku melihat ada cahaya-cahaya yang berasal dari ruang tamu. Aku menuruni anak tangga perlahan dan melihat ada apa di bawah karena aku penasaran.

Ketika aku sampai di bawah, ternyata yang ada di ruang tamu adalah Nanase. Aku berjalan melewati Nanase karena Nanase membelakangiku. Aku hanya berharap agar Nanase tidak tau bahwa aku sedang melewatinya. Tetapi, dugaanku pun salah. Nanase dengan cepat menoleh lalu ia tersenyum ke arahku.

"Sudah bangun?" Tanya Nanase sambil tersenyum. Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arah Nanase.
"Iya, sedang apa kau di sini? Tidak tidur seperti yang lainnya?" Nanase menggeleng.
"Aku menunggumu sampai bangun. Aku sendiri juga tidak bisa tidur." Kata Nanase dan aku sedikit terkejut ketika Nanase berbicara seperti itu. Ternyata Nanase dari tadi menungguku bangun. Kenapa ia begitu perhatian kepadaku?

Aku menghiraukan kata-kata Nanase dan segera pergi ke dapur untuk mengambil air putih. Sejak tertidur di kamar, aku tidak sempat minum sama sekali. Karena itu sekarang aku merasa tenggorokanku sudah berteriak minta diberikan air. Aku mengambil air putih di dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas. Selesai minum aku berjalan ke arah ruang tamu dan mendapati Nanase sudah tertidur. Aku hanya tersenyum melihat Nanase. Ketika melihat wajahnya saja, seakan-akan aku bisa lupa dengan semua masalah yang sudah terjadi.

Aku mendekati Nanase yang sudah tertidur pulas. Wajah Nanase ketika tidur begitu lucu. Aku hanya terkekeh-kekeh sendirian. Tiba-tiba aku tergerak untuk membelai rambut Nanase. Ketika aku menggerakkan tanganku, tiba-tiba Nanase langsung menangkap tanganku. Aku terkejut. Nanase ternyata hanya pura-pura tidur, sial aku tertipu olehnya. Tapi, kenapa ia tidak mendongakkan kepalanya sama sekali? Dasar Nanase aneh.

"Rai... temani aku." Aku mendengar Nanase bergumam pelan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Dengan tangan yang masih dipegang oleh Nanase, aku duduk di sebelah Nanase.
"Kenapa kau minta ditemani, Nanase?" Aku bertanya sambil tertawa kecil. Lalu aku meletakkan kepalaku di bahu Nanase dan akhirnya kami berdua pun tertidur sambil berpegangan tangan.

Nanase Sakigawa

Cahaya matahari menembus kelopak mataku dan membuatku membuka mata perlahan. Yang pertama kali aku lihat adalah kenapa televisi yang semalaman aku nyalakan sudah mati? Dan kenapa sekarang aku menggunakan selimut? Aku menoleh dan aku berpikir pada diriku sendiri, ketika aku mengetahui Rai tidur di bahuku, aku memang tidak terkejut. Karena aku yang meminta Rai untuk menemaniku dan saat ini ketika aku pikir-pikir, permintaan itu terdengar bodoh. Dasar aneh kau, Nanase!

Aku merasakan tanganku mulai berkeringat. Ya, selama tidur aku memang menggenggam tangan Rai terus. Aku menghela napas panjang dan tiba-tiba Rai bergerak. Rai terbangun dan aku langsung tersenyum.
"Ohayo gozaimasu..." Kataku sambil tersenyum. Rai menoleh dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Ia hanya mengangguk lalu menggaruk-garuk kepalanya. Ia bingung ketika melihat ada selimut di atasnya.
"Selimut?" Rai hanya bergumam pelan. Aku hanya mengangkat bahu dan menggeleng pelan.
"Aku sendiri tidak tau siapa yang meletakkan ini." Rai mengangguk-angguk lalu ia beranjak dari sofa dan segera pergi ke atas.

Aku menghela napas panjang lalu mengusap-usap wajahku. Astaga, aku tidak percaya. Sudah beberapa hari ini aku sering tertidur bersama Rai dan aku tidak pernah melakukan apa-apa INGAT ITU! Setelah melamun sebentar, aku beranjak dari sofa. Ketika hendak berjalan menuju tangga, aku bertemu dengan Shoko. Shoko langsung menarikku tiba-tiba.

"He-hei, Shoko. Ada apa ini?" Tanyaku yang sedang kesusahan berjalan karena ditarik-tarik oleh Shoko. Ketika berhenti, Shoko langsung berbalik ke arahku.
"Aku melihat kau dengan Rai semalam. Hehe... ada apa sekarang di antara kalian berdua?" Tanya Shoko sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Rai. Memangnya kenapa?"
"Nanase, apa jangan-jangan kau mau merebut kekasih orang lain?" Ketika aku mendengar Shoko berkata seperti itu, hatiku seperti ditusuk-tusuk duri yang tajam. Aku diam dan berpikir. Menurutku, kata-kata Shoko ada benarnya juga. Kenapa aku berusaha untuk mengambil kekasih orang lain? Rai adalah kekasih Riku, seharusnya aku tidak mencoba membuat Rai melupakan Riku.

Aku menghela napas dan menunduk.
"Menurutku, kata-katamu ada benarnya juga." Kataku dan Shoko langsung merasa tidak enak padaku.
"Hei-hei, Nanase! Aku tidak bilang bahwa kau harus menjauhi Rai. Kau boleh saja memiliki Rai. Maaf, Nanase. Mungkin aku sedang lancang hari ini. Entah mengapa, jika kau bersama dengan Rai suatu saat nanti, aku akan mendukungnya." Kata Shoko sambil tersenyum dan aku mendongakkan kepalaku.
"Benarkah?" Shoko mengangguk dengan pasti dan aku pun langsung meloncat kegirangan.
"Baiklah! Aku akan berusaha Shoko!"

Dan Shoko hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah lakuku yang mulai aneh karena aku dari tadi terus melompat-lompat kegirangan. Bagaimana Riku? Apa kau sudah memberikan aku kesempatan untuk membuat Rai bahagia?



bersambung...

 

Wednesday, March 10, 2010

The Story Part 46

Ruroya Rai


Setibanya aku di kos. Aku langsung pergi ke kamarku dan duduk di atas tempat tidurku. Aku terus melamun sambil memikirkan semua kata-kata Rukia tadi. Rukia adalah tunangan Riku. Kenapa aku baru tau sekarang?

Aku menengadah ke atas langit-langit. Riku, kenapa kau tidak memberitahuku? Aku pergi ke arah meja riasku dan mengambil kotak pemberian Riku. Aku membaca suratnya lagi dan melihat cincin yang diberikan Riku. Semuanya ia berikan kepadaku. Cincin ini juga.

Aku kembali melompat ke tempat tidurku dan membenamkan wajahku di bantal dan akhirnya aku pun jatuh tertidur karena tadi aku sudah menangis histeris sampai aku lelah...

Cerita bersambung di sini...

Nanase Sakigawa


Ketika tiba di kos, aku membiarkan Rai melakukan apapun yang ia sukai. Tapi ternyata Rai pergi ke kamarnya dan langsung mengurung diri seperti biasa. Shoko dan yang lainnya hanya berkata padaku bahwa dulu Rai lebih parah sampai beberapa hari tidak mau keluar dari kamarnya. Aku hanya menghela napas ketika mendengar semua itu. Memang terdengar menyedihkan, tapi apa Rai dapat merubah sikapnya itu?

Aku beranjak dari sofa yang ada di ruang tamu menuju kamarku sendiri. Ketika tiba di dalam kamar, aku melihat ke arah meja belajarku. Aku mengernyitkan dahi ketika aku menemukan sebuah amplop putih. Aku membuka amplop tersebut dan ternyata surat tersebut berasal dari Riku. Astaga, setelah lama tidak mengirim surat akhirnya Riku mengirimiku surat lagi. Aku membaca surat dari Riku dengan seksama.

Untuk sahabatku, Nanase...
Nanase! Apa kabar? Maaf ya, lama tidak menghubungimu. Entah mengapa tiba-tiba orang yang akan mengirim surat ini absen terus. Tapi akhirnya surat ini tiba juga ke tempatmu. Oh ya, aku sudah terima balasanmu yang waktu itu. Rukia yang menabrakku? Astaga. Umm... dan kau juga sudah tau semua kebenarannya kan? Maaf ya aku tidak memberitahukanmu dari awal. Bagaimana dengan Rai? Kau masih menjaganya kan'? Aku titip permohonan maafku untuknya. Arigato Nanase! Dan Nanase, tolong katakan pada Rukia bahwa aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Sebenarnya Rukia memang membenciku sampai ingin membunuhku waktu itu. Tapi, yang ia katakan mengenai kecelakaan waktu itu, hal itu bukan karena ia sengaja. Ia sendiri tidak sadar ketika menabrakku. Haha... mungkin saja takdir. Tapi tidak apa. Semoga kau bahagia dengan yang lainnya ya... Sampai nanti Nanase!
Rikugan Sakurai

Selesai membaca surat tersebut, aku meletakkan surat itu di atas meja dan mengambil ponselku. Tiba-tiba surat itu menghilang seperti biasa. Aku hanya tersenyum melihat surat itu yang perlahan-lahan menghilang. Aku mencari-cari nomor ponsel Rukia setelah itu aku menghubunginya.

"Moshimoshi, ada apa Nanase?" Jawab Rukia dari seberang sana.
"Rukia... ada suatu hal yang ingin aku beritahukan kepadamu."
"Ya, apa itu?" Aku berjalan ke arah balkon dan menghirup udara segar yang ada di luar.
"Riku sudah memaafkan mu atas kejadian waktu itu." Kataku sambil tersenyum. Terasa jeda sesaat.
"Benarkah?" 
"Iya... aku tidak berbohong, Rukia. Riku mengirimiku surat." Kataku sambil tersenyum lagi.
"Surat? Bagaimana bisa?" Aku menahan tawaku. 
"Ceritanya panjang, Rukia..." 
"Ayo, kau harus menceritakan semuanya kepadaku!"

Aku pun tidak bisa menghindar dari permohonan Rukia dan akhirnya aku menceritakan semua tentang Riku. Dari awal aku bertemu dengannya sampai akhirnya aku bisa surat menyurat dengannya.



bersambung...

The Story Part 45

Ruroya Rai

Aku menyeka air mataku ketika aku melihat gadis itu ada di depanku. Aku berdiri dan mendekati gadis itu. Tanpa berpikir panjang aku menarik kerah baju gadis itu, Rukia.
"Jelaskan semuanya kepadaku!" Aku berbicara sedikit keras di depan Rukia.
"Rai, tenang dulu. Aku... aku akan menjelaskannya." Ketika Rukia berbicara seperti itu, aku melihat sebuah cincin yang menggantung di jari manis Rukia. Kenapa cincin itu mirip dengan cincin yang dibawa-bawa Riku dulu? Aku menarik tangan Rukia.

"Ini cincin Riku kan'? Kenapa ada di jarimu?!" Rukia hanya menghela napas.
"Rukia adalah mantan tnangan Riku... cincin itu merupakan cincin tunangan mereka..." Nanase tiba-tiba berteriak dari kejauhan dan ia mendekati kami berdua. Aku membelalakan mata ketika mendengar Nanase berbicara seperti itu.

Aku melepaskan tangan Rukia dan menatap ke arah lain dengan tatapan kosong.
"Tunangan?" Aku bergumam pelan dan Rukia mengangguk pelan. Aku merasa seluruh tubuhku bergetar dan akhirnya aku jatuh teruduk di tanah.
"Ke-kenapa?" Nanase segara mengangkatku berdiri. Aku maish menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Aku tidak percaya dengan semua ini! Bagaimana mungkin? Kenapa Riku tidak menceritakan semuanya padaku?
"Mana mungkin? Tidak mungkin... haha! Semua ini tidak mungkin... TIDAK MUNGKIN!! Tidak mungkin, Rukia!! Semua ini bohong!!" Aku mulai berteriak-teriak tidak jelas sambil menyerang Rukia lagi. Nanase menarikku dan menarikku dalam pelukannya. Aku menangis dalam dekapan Rukia.

"Rai!! Tenang dulu!" Nanase mulai menenangkanku sementara aku menangis histeris.

Semua itu bohong kan' Riku? Aku tidak percaya dengan semua itu. Katakan bahwa semua ini bohong! Tidak mungkin kan' kau bertunangan dengan gadis yang tidak punya teman di Gakurai itu? Riku...

Nanase Sakigawa

Aku terkejut ketika melihat Rai hilang kendali. Ia menyerang Rukia begitu saja. Namun, dengan cepat aku langsung menarik Rai ke dalam pelukanku. Ia menangis histeris dalam dekapanku. Aku hanya dapat menenangkannya dan Rukia hanya melihat ke arahku dengan perasaan bersalah. Aku hanya memberi tanda agar Rukia cepat-cepat menjelaskan semuanya lalu pergi dari tempat ini. Rukia pun maju selangkah ke arahku.

"Rai, aku... aku akan menjelaskan semuanya kepadamu..." Rukia menghentikan kalimatnya dan aku langsung menatap ke arah Rukia. Menurutku, Rukia bingung mau memulai dari mana karena Rukia sendiri juga tidak enak dengan Rai.
"Umm... aku dan Riku sebelum kami bertemu denganmu, aku dan Riku sudah bertunangan selama 2 tahun. Tapi, suatu saat Riku tiba-tiba membatalkan pertunangan kami. Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa. Namun, sejak saat itu aku mulai membenci Riku dan bukan karena aku benci Riku aku melakukan tindakan yang bodoh dengan mencelakakan Riku. Sudah itu saja, aku pergi dulu." Dengan cepat aku menyuruh Rukia untuk pergi dari tempat ini sebelum Rai meledakkan amarahnya lagi.

Suasana pun langsung menjadi sepi seketika. Tinggalah aku berdua dengan Rai. Rai masih menangis dalam dekapanku. Aku hanya membelai rambut Rai.
"Nanase... katakan... katakan semuanya... semuanya itu bohong!" Akhirnya Rai bersuara juga. Aku merasa kasihan pada Rai. Aku tau saat ini ia pasti merasa begitu sakit karena ia baru mengetahui semua kebenarannya sekarang.
"Semua itu nyata, Rai. Maaf karena sudah berkata seperti itu. Tapi, apa yang dikatakan Rukia tadi, semuanya itu nyata. Rukia memang pernah bertunangan dengan Riku. Maaf..." Bajuku pun mulai terasa basah karena air mata Rai. Rai mendongakkan kepalanya dan menatapku. Matanya sembab dan agak kemerahan. Benar-benar menangis sangat parah.

"Kenapa Nanase? Kenapa Riku tidak memberitahukanku?" Aku menggeleng pelan. Aku sendiri pun juga tidak tau, Rai. Aku hanya berharap pada saat ini juga, Riku muncul di tempat ini dan menjelaskan semuanya di depanku dan Rai.
"Sudahlah, lebih baik sekarang kita kembali ke tempat kos. Pasti Shoko dan yang lainnya sudah mencari kita. Ayo..." Rai pun mengusap-usap wajahnya dan mengangguk pelan.

Setelah itu aku menggandeng Rai untuk kembali ke tempat kos...




bersambung...

Tuesday, March 9, 2010

The Story Part 44

Ruroya Rai


Saat ini aku sedang bersama Nanase di taman dekat kos. Aku bercerita banyak tentang Riku tapi tiba-tiba saja Nanase mendapatkan telepon dari seseorang. Awalnya, ketika Nanase mengambil ponselnya dan hendak menjawab, wajahnya terlihat gelisah dan sedikit jengkel. Hmm... kira-kira siapa ya yang menelepon Nanase? Aku sendiri juga penasaran.

Sekarang, Nanase sedang menjawab panggilan tersebut sehingga ia menjauh dariku. Aku hanya duduk di bangku taman sendirian sambil sesekali menyeruput ocha dingin yang aku bawa tadi. Aku menoleh ke arah Nanase dan melihat Nanase seperti sedang marah-marah. Ada apa ya? Aah, sial kau Nanase. Aku mulai penasaran. Tanpa berpikir panjang lagi, aku berjalan ke arah Nanase dan mendengar pembicaraannya sedikit.

"Sudahlah, Rukia! Kau harus segera memberitahukannya!" Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar Nanase menyebutkan nama Rukia. Ada apa Nanase dengan Rukia? Terasa jeda sesaat.
"Kenapa Rukia? Dia adalah kekasihnya! Kau harus segera memberitahukannya, Rukia. Supaya ia dapat melupakan semuanya, aku risih jika ia terus-terusan depresi!" Apa... Nanase sedang membicarakanku? Aku tetap diam.
"Rukia... apa susahnya jika harus jujur bahwa kau tidak sengaja menabrak Riku?" DEG! Astaga, jantungku seperti baru ditusuk-tusuk oleh duri-duri tajam. Jadi, selama ini... Nanase menyembunyikan sesuatu dariku dan ternyata... Rukia-lah, orang yang membuat Riku celaka.

Tanpa berpikir panjang, aku berjalan mendekati Nanase. Nanase terkejut ketika melihatku, wajah Nanase langsung terlihat pucat begitu melihatku. Aku hanya diam sambil meminta ponsel Nanase. Nanase tetap diam dan segera memberikan ponselnya. Aku mengambil ponsel itu dengan tangan bergetar, untungnya air mataku belum keluar. Aku mendekatkan ponsel Nanase ke telingaku.

"Hei, Nanase! Jawab lah!" Teriak Rukia dari seberang sana. Aku berdeham dan mengambil napas panjang.
"Aku sudah mengambil ponsel Nanase." Kataku datar. Terasa jeda sesaat.
"Siapa kau? Aku sedang ada urusan dengan Nanase!" Aku jengkel mendengar cara bicara Rukia yang tidak tau aturan itu. Aku kira Rukia adalah gadis yang baik hati.
"Kau mau tau siapa aku?"
"Iya tentu saja. Kau dengan seenaknya mengganggu pembicaraanku dengan Nanase." Aku mengepalkan tanganku dan Nanase mulai merasa tidak enak kepadaku.
"Aku tidak peduli dengan urusanmu dengan Nanase. Tapi aku tau siapa kau, kau memang tidak tau aku tapi kau akan tau ketika aku memberikan ponsel ini ke Nanase lagi." Aku pun memberikan ponselnya ke Nanase.

Aku mulai merasakan air mataku mulai keluar. Aku menyeka air mataku cepat-cepat dan melihat ke arah Nanase. Nanase sudah menyebutkan namaku ke Rukia. Dengan cepat Nanase memberikan ponselnya kepadaku lagi.
"Bagaimana? Kau sudah tau identitasku kan?" Tanyaku sedikit menantang. Rukia hanya diam seribu bahasa.
"Rukia, sekarang kau harus menemuiku."
"Ta-tapi, aku masih ada urusan..." Aku pun mulai jengkel.
"Aku tidak peduli dengan urusanmu! Cepat temui aku!!! Aku butuh penjelasan!!" Akhirnya aku berteriak dan air mataku mulai keluar seperti biasa. Setelah itu aku langsung memutuskan sambungan telepon dan menangis sekencang-kencangnya sampai membuat orang-orang melihat ke arahku.

Maafkan aku, Riku. Maafkan aku!

Nanase Sakigawa


"Rukia... apa susahnya jika harus jujur bahwa kau tidak sengaja menabrak Riku?"

Itulah kata-kata yang pertama kali aku ucapkan ke Rukia dan membuat Rai mendekat ke arahku. Ternyata Rai mendengar semuanya. Sial! Kenapa Rukia harus meneleponku tadi? Sekarang aku kerepotan menenangkan Rai. Rai menganggapku bahwa aku menyembunyikan semuanya dari Rai. Aku hanya terus meminta maaf pada Rai. Ya, memang bodohnya di aku. Tapi, bagaimana cara untuk memberitahukan hal tersebut kepada orang yang terdekatnya? Hal tersebut tidaklah mudah.

Rai masih terus menangis. Di dalam benakku, aku hanya terus merasa bersalah. Aku menyesal tidak mengatakan semuanya pada Rai. Aku selalu saja membuatnya bersedih. Seperti waktu dulu.
"Rai, maafkan aku..." Aku berlutut agar dapat menyamakan tinggi dengan Rai yang sedang duduk di bangku taman sambil terus menutup wajahnya. Rai memukulku.
"Kenapa, Nanase? Kenapa... kenapa kau tega padaku?" Aku hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa. Aku menyesali perbuatanku.

Tiba-tiba aku merasakan bahuku disentuh seseorang. Aku menoleh dan melihat Rukia sudah berdiri di dekatku dan Rai. Aku terkejut.
"Rukia?" Dengan cepat Rai juga mengangkat wajahnya. Aku tidak ingin membayangkan, apa yang akan terjadi di tempat ini.
"Aku datang... sesuai dengan perintahmu itu, Rai." Kata Rukia datar. Rai beranjak dari tempat duduknya dan berdiri sambil menatap Rukia.

Karena aku tidak mau mencari masalah. Aku segera menjauh dari mereka berdua dan duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong. Aku duduk di bangku tersebut sambil melamun dengan pikiran kosong. Tidak tau harus memikirkan apa. Semuanya terasa begitu kacau. Rai sudah mengetahui semuanya dan aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa lagi darinya.

Aku menengadah ke atas. Riku, aku mohon agar sekarang kau muncul di depanku dan memberikan solusi yang tepat. Aku sendiri sewaktu mendengar kau pernah bertunangan dengan Rukia, aku sangat terkejut. Kenapa kau tidak memberitahukannya kepadaku dari awal? Apalagi setelah aku tau bahwa kau masih membawa cincin tunangan tersebut ke mana-mana. Berarti kau masih mencintai Rukia kan'?



bersambung...

The Story Part 43


Ruroya Rai

Aku mengerjap-ngerjapkan mata ketika aku bangun pagi itu. Aku bingung, kenapa aku tidur sambil duduk seperti ini? Aku membuka mata dan melihat ke depan. Tiba-tiba saja aku melihat tubuh seseorang. Aku berdiri dan melihat wajah orang itu dengan tidak sadarkan diri. Saat aku mendekatkan wajahku ke orang itu, tiba-tiba aku terkejut.

“Nanase?!” Nanase pun langsung terbangun karena terkejut dengan teriakanku.
“Hei, apa yang sedang kau lakukan di kamarku?” Nanase menoleh dan mengernyitkan dahi.
“Rai, ini kamarku…” Aku menggeleng pelan.
“Ini kamarku, Nanase!” Nanase dengan cepat beranjak dari tempat tidur dan memutar kepalaku.
“Rai, lihat ke sekelilingmu. Apa di sini ada barang milikmu?” Aku pun diam seribu bahasa dan wajahku pun mulai memerah.

“Tadi malam kau ketiduran di kamarku. Karena aku tidak tega membangunkanmu, yaa… aku tidak membangunkanmu.” Kata Nanase sambil tersenyum. Astaga! Aku baru ingat, kemarin malam ketika aku menunggu Nanase selesai menelepon aku sempat ketiduran di kamar Nanase. Aduh!! Bagaimana ini? Wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus.
“Ma-maaf, Nanase! Argh!!” Dengan cepat aku lari keluar dari kamar Nanase tapi tiba-tiba saja aku menabrak seseorang. Ternyata Takato yang aku tabrak.

“Aduh…” Takato merintih pelan.
“Takato, maafkan aku!!” Aku langsung meminta maaf pada Takato.
“Rai? Bukankah kamarmu di sana? Kenapa kau keluar dari kamar Nanase?” Tanya Takato sambil menunjuk kamarku lalu berganti menunjuk kamar Nanase. Setelah itu Takato mengernyitkan dahinya. Wajahku pun mulai memerah.
“Astaga, Rai! Apa yang kau lakukan dengan Nanase?” Tanya Takato sambil membantuku berdiri. Aku menahan rasa kesalku, kenapa semua orang berpikir seperti itu? Aargh!

“Aku… argh!! Aku tidak melakukan apa-apa!” Dengan kesal aku langsung masuk ke dalam kamarku. Kenapa aku begitu bodoh sampai ketiduran di tempatnya? Dasar bodoh!

Aku bersender pada pintu sambil mengatur napasku. Aku menyentuh dadaku, ya… memang berdetak dengan cepat. Aku menyeka keringat yang keluar dari dahiku. Kenapa aku sampai berkeringat juga? Dasar aneh. Aku berjalan ke arah lemari dan mengambil beberapa helai pakaian setelah itu pergi keluar untuk mandi.

Di luar aku bertemu dengan Nanase lagi. Kali ini aku memalingkan wajahku agar wajah yang merah ini tidak terlihat oleh Nanase. Aku terus berjalan ke arah kamar mandi, tapi Nanase terus menghadangku.

“Nanase, aku mau pergi mandi! Jangan halangi aku terus!” Kataku sambil memalingkan muka dari Nanase. Aku tau Nanase pasti bingung melihat tingkah lakuku yang aneh ini.
“Kenapa kau, Rai? Memalingkan wajahmu seperti itu?” Tanya Nanase. Aku menghentakkan kaki pelan, sial! Nanase seperti membaca pikiranku saja.
“Tidak apa, ayolah Nanase! Aku mau mandi!”
“Haha… tidak akan aku beri jalan jika kau belum menjawab ini…” Nanase menggantungkan kalimatnya. Aku bingung dan akhirnya aku memberanikan diri untuk mellihat ke arah  Nanase.
“Wuoo… wajahmu merah sekali? Haha…” Nanase tertawa ketika melihat wajahku, dengan cepat aku memukul Nanase pelan.
“Diam saja kau, ayo cepat apa yang mau kau katakan?”
“Haha… baiklah. Bagaimana sehabis kau mandi dan aku selesai sarapan, kita jalan-jalan di Shibuya?”

Ternyata Nanase mengajakku jalan. Aku pun mengangguk setuju dan setelah itu Nanase tidak menghalangiku lagi. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan bersiap-siap untuk bertemu dengan air dingin yang menyegarkan. Ya, karena masih musim panas, udara di Tokyo ini begitu panas. Huaa… segarnya.

Nanase Sakigawa

Saat ini aku sedang terkekeh-kekeh sendirian di meja makan. Kenapa aku terkekeh-kekeh? Ya, karena aku tadi sempat melihat wajah Rai yang merah padam seperti kepiting rebus. Aku sendiri tidak mengerti kenapa wajahnya bisa sampai segitu merahnya. Aku terus tertawa-tawa sendiri sampai Saki dan Shoko bingung melihatku.

“Hei, Nanase, apa kau sedang gila?” Tanya Shoko sambil melempar Koran ke wajahku. Tapi tetap saja aku terus terkekeh-kekeh.
“Wah, jangan-jangan Nanase sedang jatuh cinta?” Tiba-tiba Saki berkata seperti itu dan menghentikan tawaku.
“Maksudmu apa, Saki-san?” Aku bertanya pada Saki dan disambut dengan tawa Shoko yang sudah terbahak-bahak. Aku menoleh ke arah Shoko dan menatapnya dengan jengkel.

“Apa yang kau tertawakan, Shoko?” Shoko dengan tidak berdosanya tetap saja tertawa.
“Hahaha… aku sendiri tidak tau. Haha! Mungkin saja… hahah… wajahmu itu, Nanase! Haha… aku tidak tahan lagi… hahaha…!!” Shoko terus tertawa sampai-sampai Saki menyediakan Shoko segelas air putih.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melihat Shoko meneguk air putih itu sampai habis. Aku melihat ke atas, kenapa Rai lama sekali? Aku terus melihat ke jam tanganku. Memang sih masih pagi, tapi aku takut Shibuya akan cepat ramai.

“Ada apa, Nanase? Kenapa kau dari tadi melihat ke arah jam? Memangnya kau ada janji dengan seseorang?” Tanya Shoko. Aku menoleh ke arah Shoko dan segera mengangguk sambil tersenyum. Aku juga tidak menjawab pertanyaan Shoko sehingga Shoko terus memanggilku sementara aku berjalan ke arah tangga dan mendapati Rai sedang turun dari tangga.

“Mau jalan sekarang?” Tanyaku sambil tersenyum. Shoko dari arah meja makan langsung berteriak.
“Ternyata dengan Rai ya, Nanase? Waaah!! Haha!” Hari ini Shoko memang sedang agak aneh. Aku menoleh ke arah Shoko dan tersenyum tipis. Setelah itu aku mengajak Rai untuk pergi.

Sesampainya di Shibuya. Untungnya belum begitu banyak orang yang melewati tempat ini. Aku mengajak Rai untuk pergi ke toko buku yang ada di daerah tersebut. Di toko buku aku membeli beberapa manga favoritku. Rai mengernyitkan dahinya ketika melihatku masih membeli barang seperti itu.

“Kau senang dengan manga ya?” Tanya Rai ketika aku hendak membayar manga tersebut. Aku mengangguk ke arah Rai sambil tersenyum.
“Haha… kau sama seperti Riku ya. Riku dia adalah otaku.” Kata Rai sambil tersenyum.
“Ya, hahaha… karena kami sahabat, tentu saja memiliki banyak kesamaan. Hehe…”

Rai dan aku terus berjalan-jalan di Shibuya. Kami juga pergi menonton di bioskop lalu pergi berbelanja bahan-bahan masakan untuk di kos nanti serta membeli beberapa buku mengenai keramik. Ya, walaupun sudah lama tidak masuk ke Gakurai Academy, sekarang aku merindukan keramikku yang belum selesai yang ada di Gakurai. Tapi, aku rasa Gakurai akan terasa sangat sepi tanpa kehadiran Riku.

Akhirnya kami berdua pun lelah karena kami sudah berjalan-jalan selama kurang lebih 5 jam. Saat ini aku sedang duduk di taman yang ada di dekat kos. Ya, sebelum kembali ke kos, aku dan Rai menyempatkan diri untuk bersantai di taman ini. Banyak anak-anak yang sedang bermain di taman ini.

“Nanase…” Panggil Rai. Aku menoleh dan menjawab Rai.
“Kau tau, Nanase. Di tempat ini aku sempat berbaikan dengan Riku karena waktu itu kami bertengkar.” Kata Rai sambil memegang botol yang berisikan ocha dingin. Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar Rai berbicara seperti itu.
“Memangnya kau ada masalah apa dengan Riku waktu itu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Rai. Terasa jeda sesaat. Lalu Rai menghela napas.
“Waktu aku di kelas. Riku tiba-tiba menciumku. Tentu saja aku terkejut. Dengan cepat aku mengatakan hal yang seharusnya tidak perlu aku katakan. Dan kata-kata itu lah yang membuat Riku marah. Akhirnya aku hanya menyesali perbuatanku, lalu aku pergi ke taman ini, aku juga tidak pergi ke Gakurai pada waktu itu…” Rai menggantungkan kalimatnya.
“Lalu, kau bertemu dengannya di sini?” Tanyaku dan disambut dengan anggukan Rai.

Ketika Rai hendak melanjutkan ceritanya, ponselku tiba-tiba berdering. Aku terkejut dan langsung mengambil ponselku. Aku melihat ke arah layar dan nama Rukia tertera di layar tersebut. Aduh, ada apa lagi kali ini?


bersambung...

Sunday, March 7, 2010

The Story Part 42

Ruroya Rai


Aku menunggu Nanase berjam-jam tapi tetap saja ia tidak muncul. Ke mana ya Nanase itu? Aku mencoba menghubungi ponselnya tapi tetap saja tidak tersambung. Sepertinya ponsel Nanase tidak menyala. Aku terus menunggu dan menunggu sampai akhirnya ponselku berdering juga. Di kuil ini pun para pengunjungnya juga sudah mulai sedikit. Aku menjawab panggilan dari ponselku.

"Rai, Nanase sudah kembali?" Shoko meneleponku seperti biasa untuk mengetahui keberadaan Nanase.
"Belum. Ponsel Nanase pun sepertinya juga dimatikan. Bagaimana ini Shoko? Apa mau ditunggu terus?" Aku bertanya pada Shoko.
"Ya, lebih baik kau tunggu Nanase sedikit lagi. Apa kau mau meninggalkan Nanase?"
"Tentu saja tidak, Shoko! Kenapa kau berbicara seperti itu?" Shoko tertawa kecil dari seberang sana.
"Maaf. Hehe... baiklah, kau tunggu Nanase ya. Aku akan meneleponmu lagi nanti."

Aku mengembalikan ponselku ke dalam tas jinjingku. Aneh rasanya, duduk sendirian di taman ini. Aku beranjak dari tempat duduk dan mulai berjalan ke tempat lain. Aku berjalan melewati beberapa toko-toko yang menjual makanan dan minuman. Kebetulan sekali, aku sedang merasa kelaparan juga kehausan. Aku membeli beberapa makanan dan minuman ketika aku mendengar percakapan antara dua orang. Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati Nanase sedang bersama... seorang gadis? Siapa gadis itu? Aku bersembunyi di antara pepohonan agar aku bisa melihat wajah gadis itu dari dekat. Ternyata gadis itu adalah... Hanase Rukia? Sedang apa ia di sini?

Aku terus memperhatikan mereka dan akhirnya percakapan mereka selesai. Tapi bodohnya aku, aku tidak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan sama sekali. Ya, karena aku kurang dekat ke arah mereka. Aku melihat Nanase berjalan ke arahku, dengan cepat aku menyembunyikan diriku agar tidak ketahuan oleh Nanase. Setelah itu aku berlari ke toko makanan terdekat supaya Nanase dapat melihatku.

"Rai!" Seperti yang aku pikirkan, Nanase dengan cepat dapat mengenaliku. Aku menoleh ke arah Nanase dan tersenyum.
"Hei, Nanase! Ayo cepat!" Nanase berlari kecil ke arahku.
"Kau ke mana saja, Nanase?" Aku bertanya pada Nanase sambil memberikan beberapa makanan untuk dimakan Nanase.
"Aku? Tadi aku baru membeli lentera lagi, karena antri makanya aku lama. Maaf ya." Nanase berbohong kepadaku. Tapi aku sudah tidak bisa ditipu lagi, karena tadi aku sudah melihatnya. Nanase sedang bersama dengan seorang gadis.
"Oh, haha... ayo, kita sudah ditunggu oleh yang lain." Aku mengulurkan tanganku dan Nanase menerima uluran tanganku.

Setelah itu kami berdua langsung mencari Shoko dan yang lainnya serta segera menuju pulang ke kos.

Nanase Sakigawa


Setelah memeluk Rukia, aku segera pergi meninggalkannya. Aku sudah mengerti dengan semua penjelasannya. Tapi, Rai masih belum tau tentang hal ini. Aku sendiri juga bingung bagaimana cara untuk memberitahu Rai. Saat aku keluar dari tempat persembunyian itu, aku merasa seperti diikuti seseorang. Aaa, mungkin hanya perasaanku saja.

Aku kembali ke area festival yang sekarang para pengunjungnya sudah mulai sedikit. Aku menoleh ke toko-toko yang ada di area ini lalu aku melihat sosok Rai.
"Rai!" Aku berteriak dan disambut dengan teriakan Rai juga. Aku berjalan ke arah Rai dan Rai memberiku sebuah makanan. Setelah itu, aku diajak Rai menemui yang lain karena kami semua sudah mau kembali ke kos.

Sesampainya di tempat kos, aku langsung pergi ke kamarku. Aku merenggangkan otot-ototku dan langsung membantingkan tubuhku ke atas tempat tidurku. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk seseorang. Aku menoleh ke arah pintu kamarku. Untungnya pintu kamarku tidak dalam keadaan terkunci.
"Masuk!"
"Nanase? Apa aku tidak mengganggumu?" Ternyata Rai yang berkunjung ke kamarku. Aku menoleh ke arah Rai dan menggeleng pelan. Rai duduk di samping tempat tidurku.
"Ada apa, Rai? Kenapa kau tidak langsung tidur saja?" Tanyaku sambil bangkit untuk duduk. Rai menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa tidur."

Aku tersenyum lalu mengulurkan tanganku untuk membelai rambut Rai. Rai menatapku dan matanya yang indah seperti memancarkan sinar.
"Kenapa tidak bisa tidur?" Aku bertanya pada Rai.
"Sepertinya, aku sedang banyak pikiran. Jadi, aku tidak bisa tidur dengan tenang. Jadi, apa kau mau menemaniku berbincang-bincang sebentar?"
"Haha... dasar kau, Rai. Kenapa kau tidak pergi ke tempat Shoko? Lagi pula, kalian sesama wanita ini."
"Shoko sudah pulas. Aku tidak mau mengganggunya dan Saki sepertinya juga sudah lelah. Kalau Takato... haha, jangankan Takato, saat ini saja ia sudah terbang ke alam mimpi." Rai tertawa kecil. Aku pun tersenyum melihat tingkah laku Rai.
"Haha... baiklah, apa yang mau kita bicarakan hari ini ya?" Aku mengusap-usap wajahku dan tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku melihat ke arah layar, tertera nama Rukia di layar ponselku.

Gawat, Rukia yang menelepon. Rai tidak boleh tau tentang ini. Aduh, bagaimana ini? Aa, aku baru ingat. Kamarku kan' ada balkonnya. Dasar bodoh.
"Rai, aku ke balkon dulu ya, menerima panggilan." Rai pun mengangguk tanda mengerti.

Dengan cepat aku menerima panggilan tersebut.
"Ada apa, Rukia?" Tanyaku dengan cepat.
"Kau terdengar gesah-gesah, ada apa?" Rukia bertanya balik kepadaku. Aku menghela napas.
"Iya, aku harus cepat-cepat. Teman-temanku menungguku. Maaf."
"Aku hanya ingin meminta maaf atas kejadian waktu itu. Aku sungguh menyesal."
"Ya, tidak apa-apa. Tugasmu sekarang adalah kau harus menemui Rai dan menjelaskan semuanya, termasuk tentang kau pernah bertunangan dengan Riku."
"Ya, aku tau."
"Baiklah kalau begitu. Sudah dulu aku dipanggil teman-temanku."

Setelah itu perbincangan selesai. Aku kembali ke dalam kamarku dan mendapati Rai sudah tertidur pulas di samping tempat tidurku. Karena aku tidak enak membangunkannya, aku mengambil selimut cadangan yang ada di lemariku dan menyelimuti Rai. Lalu aku naik ke atas tempat tidurku dan langsung menutup hari.



bersambung...

The Story Part 41

Ruroya Rai


Di malam yang indah ini, aku duduk di sebelah Nanase di taman kuil sambil melihat ke atas langit. Melihat lentera-lentera yang melayang-layang indah di sana.
"Indahnya..." Gumamku pelan. Nanase menoleh.
"Kau mengatakan sesuatu, Rai?" Tanya Nanase dan dengan cepat aku menggeleng.
"Aku hanya berbicara pada diriku sendiri." Kataku sambil tersenyum.

"Seharusnya Riku masih bisa melihat semua ini." Kataku sambil mengangkat tangan ke atas.
"Iya." Aku menoleh ke arah Nanase dan menyenggolnya pelan.
"He-hei, ada apa Rai? Apa salahku?" Aku terkekeh pelan.
"Tidak ada. Aku hanya iseng saja." Nanase menatapku lalu tertawa kecil. Senang rasanya dapat kembali tertawa seperti ini.
"Rai, apa kau mau pergi bersamaku suatu saat nanti?" Nanase tiba-tiba bertnya seperti itu kepadaku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Nanase.
"Tentu saja aku mau, arigato Nanase."

Semalaman kami berdua terus berbincang-bincang tanpa henti. Nanase menceritakan tentang keluarganya. Tapi, Nanase lebih banyak bercerita mengenai pelayannya, Chou dibanding keluarganya sendiri. Ada apa ya? Kata Nanase, seharusnya aku tau tentang masalah keluarga Nanase jika aku tidak kehilangan ingatan seperti ini. Sungguh, aku terlihat seperti orang yang menyedihkan. Tidak tau apa-apa tentang masa lalu temanku. Ya, karena aku hilang ingatan sebagian.

Hari pun semakin larut. Tapi kuil ini masih dipenuhi dengan manusia-manusia yang masih menyaksikan lentera-lentera tersebut. Aku menoleh ke arah Nanase yang duduk di sampingku. Wajahnya tampak terkejut karena melihat sesuatu. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan Nanase?

"Nanase? Ada apa?" Nanase menundukkan kepalanya lalu ia beranjak dari tempat yang ia duduki.
"Rai, aku harus pergi sebentar. Kau tunggu saja di sini. Aku tidak akan lama." Ketika aku hendak memanggil Nanase lagi, Nanase sudah menghilang dalam kerumunan. Aku mencari-cari sosok Nanase tapi tetap saja, tidak ditemukan. Nanase, ke mana ya?

Aku menghela napas panjang dan duduk di taman kuil itu sendirian. Aku menengadah ke langit, lentera-lentera tersebut masih melayang indah di atas langit. Kesepian, itulah yang aku rasakan saat ini. Tapi, aku tidak boleh berpikir seperti itu lagi. Nanase sudah kembali, aku tidak kesepian. Ingat, aku tidak kesepian!! Tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera menjawabnya tanpa melihat ke layarnya terlebih dahulu.

"Rai? Kau di mana?" Sepertinya suara Shoko.
"Shoko?"
"Iya, ini aku Shoko. Kenapa kau tidak lihat dulu namanya di layar baru kau menjawabnya?" Kata Shoko dari seberang sana.
"Maaf. Aku buru-buru saat menjawabnya tadi."
"Baiklah. Kau ada di mana, Rai?" Tanya Shoko khawatir. Beberapa hari ini semua orang lebih sering khawatir dengan keadaanku. Ya, aku ini memang mengkhawatirkan.
"Aku ada di taman kuil ini. Tadinya aku sedang bersama Nanase. Tapi tiba-tiba Nanase bilang mau pergi sebentar. Ada apa memangnya, Shoko?" Shoko menghela napas.
"Sebentar lagi kita semua akan kembali ke kos. Nanase pergi ke mana?" Aku menggeleng pelan dan aku menyadari bahwa Shoko tidak melihat wajahku saat ini.
"Aku tidak tau. Ia hanya bilang mau pergi sebentar. Tidak akan lama. Katanya sih seperti itu."
"Baiklah. Jika kau sudah bertemu dengan Nanase lagi, telepon aku ya."

Setelah itu sambungan terputus. Aku menghela napas panjang. Nanase, cepatlah kembali, aku tidak mau sendirian dan aku juga mau pulang. Aku sudah lelah...

Nanase Sakigawa


Apa aku salah lihat? Apa benar gadis yang tadi lewat di depanku adalah Rukia? Aku harus mengikuti gadis itu. Kalaupun itu Rukia, aku harus bertanya kepadanya dan aku tidak akan peduli dengan pandangan yang meminta dikasihani itu. Aku sudah tidak akan tertipu lagi olehnya. Dengan cepat aku pergi meninggalkan Rai dan langsung menembus kerumunan. Setelah keluar dari kerumunan aku melihat gadis itu berdiri di salah satu tempat yang tersembunyi sambil mengeluarkan sesuatu. Aku berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas.

Aku melihat sebuah cahaya. Tiba-tiba saja aku ingat warna cahaya itu. Warna itu adalah warna... CINCIN RIKU! Astaga kenapa ada di Rukia? Aku harus segera memintanya kembali. Benda itu tidak diperuntukkan untuk orang lain. Benda itu adalah milik Riku.

"Rukia?" Aku memanggil nama Rukia dengan hati-hati. Gadis itu menoleh dan benar, gadis itu memang Rukia. Rukia terkejut dengan kedatanganku.
"Na-Nanase?" Rukia pun mundur selangkah. Aku mendekati Rukia.
"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" Aku menatap Rukia. Tiba-tiba saja Rukia tersenyum. Ya, senyuman itu lagi, senyuman yang bisa membuat hati orang-orang merasa kasihan.
"Tentu saja karena ada Festival Obon. Kau ini bagaimana. Hehe... Nanase sendiri, kenapa kau ada di sini?" Aku semakin jengkel dengan tingkah laku Rukia.
"Rukia, aku bertanya jika kau memang mengikuti Festival Obon ini, kenapa kau bisa ada di tempat tersembunyi ini?" Rukia pun diam seribu bahasa. Ketiak Rukia bergerak, tangannya memancarkan cahaya. Cepat-cepat Rukia menyembunyikan tangannya.

Aku mengernyitkan dahi sambil berkacak pinggang.
"Apa yang kau sembunyikan itu, Rukia?" Aku langsung bertanya pada Rukia tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Rukia menggeleng pelan. Dengan cepat aku berjalan ke arah Rukia dan menarik tangannya.
"Nanase! Apa yang kau lakukan?! Hei!!" Rukia mulai berteriak-teriak. Karena aku takut teriakan Rukia mengundang rasa curiga orang lain, aku mendorong Rukia sampai ke bagian dalam tempat tersembunyi itu.
"Jika kau tidak mau mengaku, aku tidak akan melepaskan cengkeraman ini."
"Baiklah! Aku akan menjelaskannya!" Rukia pun menepis tanganku lalu melepas cincin tersebut. Ia memperlihatkannya kepadaku.
"Sekarang berikan cincin itu kepadaku dan jelaskan kepadaku bagaimana kau bisa mendapatkan cincin ini?" Rukia memberikan cincin tersebut.
"Aku mengikutimu waktu kau pergi ke makam Riku. Lalu aku melihatmu meletakkan cincin itu, aku tertarik untuk melihat cincin itu dan berakhirlah aku mengambil cincin tersebut." Aku memiringkan kepala.
"Kenapa kau mengambilnya?"

Rukia berjalan ke arah pohon dan melihat ke atas. Aku hanya terus menatap Rukia sementara Rukia membelakangiku.
"Ada satu rahasia yang belum kau ketahui dariku." Rukia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kali ini bukan senyuman yang seperti biasa. Senyuman kali ini terlihat begitu licik.
"Apa itu... Rukia?" Aku bertanya tanpa melihat ke arah Rukia sedikitpun.
"Sebenarnya aku adalah tunangan Riku. Aku dan Riku sudah bertunangan selama 2 tahun. Tapi waktu itu Riku membatalkan pertunangan tersebut dan aku membenci Riku. Selama ini aku hanya pura-pura tidak kenal Riku dan Riku pun juga seperti itu. Tiba-tiba saja aku dengar berita bahwa Riku mempunyai kekasih baru. Hal itu tentu mengejutkan diriku. Aku begitu cemburu. Bukan... yang benar adalah sangat cemburu." Aku mengepalkan tanganku. Aku menatap Rukia.
"Lalu, karena rasa cemburu mu itu, kau tega membuat Riku celaka? Manusia macam apa kau, Rukia?" Dengan cepat Rukia menghadap ke arahku. Lalu... PLAK! Rukia menamparku. Matanya pun sudah basah dengan air matanya.
"Aku tidak pernah mempunyai niat untuk membuat Riku celaka hanya karena aku dihantui rasa cemburu! Kecelakaan itu pun bukan karena disengaja, Nanase! Aku tidak tau! Aku tiba-tiba menabraknya, aku sendiri terkejut ketika tau bahwa aku menabraknya!" Aku hanya diam seribu bahasa.

"Aku tau kau pasti berpikir kenapa aku tidak bertanggung jawab, waktu itu aku mau turun dari mobil. Tapi aku melihat kau berjalan ke arah Riku, aku takut bertemu denganmu Nanase! Aku takut kau marah padaku..." Tangisan Rukia mulai pecah dan akhirnya Rukia jatuh berlutut di hadapanku. Ia menangis sekencang-kencangnya, seakan-akan ia baru merasa kehilangan Riku saat ini. Aku berlutut dengan perlahan lalu tanpa berpikir panjang, aku memeluk Rukia. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi. Semua ini terasa begitu menyakitkan...



bersambung...

Thursday, March 4, 2010

The Story Part 40

Ruroya Rai

Sial!! Kenapa tadi aku begitu bodoh? Saat ini aku sedang berada di kamarku sendiri, menyembunyikan wajahku yang sudah memerah di bawah bantal sambil sesekali menggerutu karena kesal. Aku tidak percaya aku dapat melakukan hal sebodoh itu. Kenapa saat aku menindih tubuhnya, aku tidak langsung beranjak? Dan lebih bodohnya lagi, aku menatapnya lebih lama dari yang kubayangkan. Arrgh!! Bodoh!!

Aku berguling-guling di atas tempat tidurku, menyesali perbuatan yang bodoh tadi. Anehnya, jantungku berdetak begitu cepat. Aku tidur terlentang sambil menatap langit-langit. Lalu aku menyentuh dadaku. Sampai sekarang pun jantungku masih berdetak dengan begitu cepat. Kenapa ya? Aku menghela napas lalu aku menoleh ke arah jendela dan melihat matahari hampir tenggelam. Sebentar lagi aku harus bersiap-siap untuk pergi ke kuil dan melepas lentera bersama dengan yang lainnya.

Walaupun dalam keadaan terganggu saat ini, aku senang akhirnya tempat kos ini dapat kembali seperti pada awalnya. Nanase sudah kembali ke kos dan aku dapat merasa lebih tenang walaupun Riku tidak ada. Aku melihat cincin yang tergantung indah di jari manisku lalu dengan lembut aku mengecup cincin tersebut. Cincin ini akan aku kenang selamanya. Cincin pemberian cinta pertamaku.

"RUROYA RAISHIRU!!" Aku tersentak dari lamunanku karena mendengar teriakan dari luar. Sepertinya Shoko, ya, suara teriakan itu memang milik Shoko. Aku berjalan dengan langkah gontai. Membuka pintu perlahan.

"Rai!! Ayo bangun!!" Shoko berteriak tepat di depan wajahku.
"Shoko, aku tidak sedang tidur! Aku hanya tidur-tiduran saja!"
"Ya sudah, cepat siap-siap! Beberapa menit lagi kita semua akan berjalan ke kuil." Aku terkejut saat Shoko mengatakan kata 'berjalan'.
"Berjalan? Apa aku tidak salah dengar?" Aku bertanya apda Shoko. Shoko menoleh ke arahku dengan tatapan jengkel.
"Naik mobil Takato, Rai! Ada apa denganmu hari ini?" Tiba-tiba Nanase keluar dari kamarnya.
"Rai baru saja menimpa tubuhku." Nanase berkata seperti itu dengan begitu santainya. Aku membelalakan mata karena terkejut.
"Rai? Apa benar itu? Astaga!"

Sial kau Nanase!! Arrgh!!! Dengan geram aku menghiraukan pertanyaan Shoko dan kembali masuk ke dalam kamar. Aku bersender pada pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada. Nanase bodoh! Untuk apa ia mengatakan hal tersebut di depan Shoko? Apa ia tidak mengerti betapa malunya aku saat ini? Sial!!
"Rai, jangan lama-lama ya. Sebentar lagi mau jalan." Teriak Shoko dari luar dan aku hanya bisa menghela napas. Ya, apa boleh buat.

Setelah selesai bersiap-siap, aku keluar dari kamar dan langsung menuju lantai bawah. Ternyata semua orang sudah menungguku. Aku tidak peduli juga dengan ocehan mereka. Aku hanya masih kesal dengan tindakan Nanase tadi yang tidak tau diri. Nanase menatapku dan aku langsung membuang muka. Kami semua berjalan masuk ke dalam mobil Takato. Menyebalkannya, aku harus duduk bersama Nanase di belakang sedangkan Shoko duduk di depan di sebelah kursi pengemudi.

Selama perjalanan aku tidak berbicara dengan Nanase sama sekali. Aku hanya terus menatap ke jendela mobil. Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku melihat ke layar ponselku, ada 1 pesan masuk. Kira-kira dari siapa ya?

From: Sakigawa, Nanase
Rai, masih marah ya? Maafkan aku, Rai. Tadi aku terlalu lancang. Maaf ya? Mau kan' kau memaafkan aku?

Aku menghela napas dan menoleh ke arah Nanase. Ia hanya mengukir senyuman di wajahnya. Aku kesal dan segera memberikan balasan.

To: Sakigawa, Nanase
Tadi sungguh memalukan, Nanase! Kenapa kau tega padaku? :( Aku masih kesal padamu. Jika kau mau dimaafkan, buatlah aku tersenyum nanti, baru aku maafkan setelah itu. Itu adalah hukuman karena kau sudah mempermalukan diriku.

Aku tersenyum ketika mengirim pesan itu untuk Nanase. Aku menoleh dan melihat Nanase yang sedang membaca pesan tersebut. Setelah beberapa detik, Nanase mengacungkan jempolnya tanda setuju. Aku menutup mulutku, hampir saja aku akan tertawa saat melihat tingkah laku Nanase.

Memang sebenarnya aku tidak bisa kesal pada Nanase. Aku sendiri tidak mengerti kenapa. Tapi, semakin aku mendekati laki-laki itu aku semakin mengenalnya, meskipun aku tidak mengingatnya saat ini.

Nanase Sakigawa

Akhirnya tiba di kuil juga. Kuil yang kami semua kunjungi ternyata juga sudah ramai dengan orang-orang yang mau melepas lentera bersama pada Festival Obon ini. Aku dan yang lainnya membeli sebuah lentera yang cantik bersama-sama. Untungnya saat kami akan membeli lentera, lenteranya belum banyak yang habis. Awalnya aku kira, kita semua tidak akan mendapat lentera karena kuil ini sudah dipadati dengan lautan manusia.

Acara pun dimulai. Setelah kami semua mengucapkan doa untuk memohon sesuatu, kami diperbolehkan untuk melepas lentera tersebut. Di langit malam, lentera tersebut melayang-layang sambil memancarkan sinar kekuning-kuningan yang berasal dari dalamnya. Aku tiba-tiba ingat dengan hukuman yang diberi Rai tadi. Cepat-cepat aku mendekati Rai yang sedang asyik-asyiknya menatap lentera-lentera tersebut.

"Lenteranya indah ya!" Kataku ketika aku mendekati Rai. Rai menoleh lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Rai, apa aku sudah dimaafkan?" Tanyaku sedikit berharap.
"Belum..." Jawab Rai pendek. Aku menghel napas.
"Ayolah, Rai lagipula kau sudah tersenyum tadi. Aku mohon, Rai! Oh ya, apa aku harus berlutut di hadapanmu agar kau mau memaafkanku?" Dengan cepat Rai menoleh, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengernyitkan dahi mencoba untuk menangkap arti dari semua itu.

"Nanase, jangan bertindak bodoh. Haha... baiklah, kau kumaafkan. Haha... wajahmu, Nanase. Aku tidak tahan, hahaha! Lagi pula, aku juga tidak begitu kesal padamu, hahah!" Dengan jengkel aku hanya mendecakkan lidah lalu memukul Rai pelan.
"Ternyata kau memang masih senang mengerjaiku." Rai menghentikan tawanya. Aku menoleh dan menatap wajah bingung Rai.
"Maksudmu apa, Nanase?" Tanya Rai.

Aku menggeleng pelan lalu tersenyum.
"Bukan sesuatu yang penting. Kau tidak perlu khawatir." Untungnya Rai dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Rai, apa kau mau jalan-jalan denganku sebentar?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"Ya, tentu saja." Rai meraih tanganku dan kami berjalan-jalan di sekitar kuil bersama.



bersambung...

The Story Part 39

Ruroya Rai

" Rai, jaga dirimu baik-baik di Tokyo ya!"

Seperti biasa, saat ibu akan melepas kepergianku, pasti ibu akan menangis-nangis. Awalnya, ibu melakukan hal tersebut untuk mencegah kepergianku.

"Tenang saja, bu. Ibu tidak perlu khawatir. Nanti aku akan mengirim surat ketika aku sampai di Tokyo." Setelah mengatakan hal tersebut, aku segera masuk ke dalam shinkansen dan melambai pada keluargaku.

Hari ini adalah Festival Obon. Aku memutuskan untuk mengunjungi makam Riku juga makam nenekku yang ada di Tokyo. Aku ingin sekali bertemu dengan Riku. Aku harap aku dapat bertemu dengannya nanti. Dalam perjalanan, aku hanya terus memandang ke arah luar jendela. Melihat laut-laut yang indah dan hamparan sawah yang luas. Andai saja Riku masih ada di sini, mungkin aku bisa pergi berkunjung ke laut atau tempat indah lainnya bersama Riku.

Setelah perjalanan yang memakan waktu cukup lama, akhirnya shinkansen tiba di stasiun Tokyo. Aku keluar dari shinkansen dan bergegas untuk mencari taksi. Saat sedang mencari taksi tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggilku. Aku terkejut dan segera menoleh, siapa tau ada orang tidak tau diri. Ternyata, yang memanggilku adalah Takato.

"Rai!!" Takato berlari kecil ke arahku. Aku tersenyum ke arah Takato.
"Hai, Takato!"
"Rai! Senang rasanya kau bisa kembali. Ayo aku antar kau ke kos." Aku mengangguk dan Takato membantuku membawa barang-barangku.

Ternyata Takato sudah memiliki mobil pribadi. Selama aku di Sapporo, perubahan pada teman-temanku juga berubah dengan pesat. Contohnya ya, seperti Takato ini.
"Takato, kau punya mobil juga akhirnya." Kataku sambil tersenyum. Takato hanya tertawa kecil.
"Haha, aku bekerja begitu keras untuk mendapatkan mobil ini. Kau tau, aku sampai berdebat dengan yang lainnya ketika akan membeli mobil ini." Aku hanya tertawa kecil dan selama perjalanan, aku dan Takato terus berbincang-bincang.

"Hei, Takato. Kau tidak kembali ke kampung halamanmu untuk merayakan Festival Obon?" Terasa jeda sesaat. Untungnya sedang lampu merah, aku menoleh dan mendapati Takato sedang melamun. Aku memanggil lagi dan Takato langsung menoleh sambil melukiskan senyumannya.
"Maaf. Keluargaku sudah tiada semua akibat bencana alam waktu itu."
"Oh maaf, Takato."
"Tapi, tidak apa Rai. Hari ini aku juga akan mengunjungi makam keluargaku. Tempatnya ada di sini." Aku hanya mengangguk pelan. Aku tidak pernah menyangka cerita kehidupan Takato seperti ini. Takato yang selalu ceria, ternyata memiliki kisah pahit juga.

Sesampainya di tempat kos, Takato membantuku membawa barang-barangku. Rasanya begitu senang, setelah beberapa lama di Sapporo, akhirnya aku dapat kembali ke tempat kosku tercinta. Takato mengajakku masuk dan aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Ketika aku membuka pintu utama kos ini...

"KEJUTAN!!" Shoko, Saki, dan Takato ternyata sudah mempersiapkan kedatanganku. Aku menutup mulutku karena terkejut. Lalu tertawa kecil.
"Astaga, kalian melakukan semua ini untukku?" Aku pun bertanya pada mereka semua.
"Tentu saja, karena hari ini kepulanganmu kami membuat semua ini. Tapi..." Shoko tiba-tiba menggantungkan kalimatnya dan ia menoleh-noleh ke belakang.
"...aku yang membuat semua ini, Rai." Terdengar suara yang berat yang begitu aku kenal. Orang itu keluar dari persembunyiannya.

"Nanase?!" Aku terkejut ketika melihat laki-laki itu di sini.
"Selamat datang kembali, Rai." Aku tidak percaya, laki-laki yang saat ini berdiri di hadapanku adalah Nanase. Aku menutup mulutku dan berlari ke Nanase lalu memeluknya.

"NANASE!!" Aku terus memeluk Nanase. Tapi, kenapa ia bisa ada di sini? Bukankah ia harus ada di rumahnya sekarang?
"Rai, aku akan kembali tinggal di sini." Seperti baru saja membaca pikiranku, Nanase berkata seperti itu. Aku menatap Nanase.
"Benarkah? Memangnya kau tidak dilarang ayahmu?" Nanase menggeleng pelan lalu tersenyum.
"Bukan begitu. Aku pergi lagi dari rumah saat ayahku juga pergi ke luar kota. Tapi kali ini aku sudah izin pada orang-orang rumahku. Jadi, tenang saja." Kata Nanase dan aku pun tersenyum lalu mempererat pelukanku dengan Nanase.

Aku merasa begitu bahagia. Nanase sudah kembali ke tempat kos dan aku tidak akan merasa kesepian lagi. Aku bersyukur dapat bertemu dengan Nanase lagi.

Nanase Sakigawa

Setelah acara penyambutan tersebut, kami semua-aku, Rai, Shoko, Takato, dan Saki-bersiap-siap untuk pergi ke tujuan masing-masing. Aku dan Rai akan pergi mengunjungi makam Riku dan makam nenek Rai, aku memang mengenal nenek Rai. Lalu Shoko akan mengunjungi makam kakak perempuannya., Takato akan mengunjungi makam seluruh keluarganya, dan terakhir Saki akan mengunjungi makam anak laki-laki dan makam suaminya.

Kami semua berpencar ketika sampai di pemakaman. Pemakaman hari ini juga terlihat ramai karena banyak keluarga yang datang untuk mendoakan almarhum-almarhum keluarga mereka. Aku berjalan bersama dengan Rai menuju makam nenek Rai. Kami berdua mengucapkan beberapa doa serta meletakkan beberapa bunga di atas batu nisan makam nenek Rai.

Selanjutnya, aku berjalan bersama Rai menuju makam Riku. Sesampainya di depan makam Riku, aku terkejut ke mana cincin itu pergi? Astaga, apa ada yang mengambilnya?
"Nanase? Ada apa?" Tiba-tiba Rai bertanya padaku. Dengan cepat aku menggeleng. Rai mengangguk lalu kembali menatap makam Riku.

"Riku, hari ini aku datang untuk mengunjungimu. Baru saja aku kembali dari Sapporo. Bagaimana suasana di sana Riku? Kapan kau akan mengunjungiku dan Nanase lagi?" Kata Rai sambil meletakkan sebuket bunga matahari kesukaan Riku. Aku menyentuh bahu Rai.
"Kau tau, Riku... a-aku masih merindukanmu... aku ingin... aku ingin bertemu denganmu..." Rai mulai mengeluarkan air matanya, namun cepat-cepat Rai menyeka air matanya. Aku merangkul Rai.
"Tapi tidak apa, Riku. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini, Nanase akan selalu ada untuk menemaniku..."

Aku hanya diam seribu bahasa. Tidak tau harus berkata apa. Rai tiba-tiba menyikuku agar aku segera bicara pada Riku. Aku menghela napas dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana. Aku berjalan mendekat ke arah makam Riku.

"Hei, Riku. Aku tidak tau harus berbicara apa. Karena kemarin aku baru mengunjungimu juga. Kau tau, cincin itu hilang..." Aku berbisik agar kata-kataku tidak terdengar oleh Rai.
"Aku tidak tau bagaimana cara benda itu hilang. Tapi aku yakin aku akan segera menemukannya dan mengembalikannya kepadamu..."

Tiba-tiba aku merasa tanganku ditarik oleh Rai. Aku menoleh.
"Nanase, kau bicara apa saja dengan Riku? Aku mau tau!" Aku tersenyum lalu mengangguk.
"Riku, berbahagialah di sana. Aku berjanji akan menjaga Rai untukmu. Kau memang sahabat baikku, Riku!" Aku berteriak di depan makam Riku dan membuat mata semua orang tertuju padaku. Rai memukulku pelan dan aku hanya terkekeh-kekeh saja. Setelah itu Rai mengajakku untuk meninggalkan pemakaman. Tak lupa juga kami berdua mengucapkan selamat tinggal pada Riku. Aku dan Rai bertemu dengan yang lainnya-Shoko, Takato, dan Saki-di depan gerbang utama area pemakaman tersebut.

Kembali ke tempat kos, Shoko mengadakan sebuah rapat. Shoko memang senang menggelar rapat bersama karena di tempatnya bekerja, ia memang sering mengikuti rapat. Shoko langsung memukul meja membuat seluruh mata menatap ke arahnya.

"Semuanya, mohon dengarkan kata-kataku!" Aku menoleh dan melihat Shoko yang berbicara dengan begitu serius. Shoko merencanakan untuk melepas lentera di kuil bersama-sama nanti malam. Aku dan yang lainnya pun hanya mengangguk tanda mengerti. Setelah itu rapat pun selesai.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar dan melihat ke arah meja yang ada di sebelah tempat tidurku. Surat itu masih ada di sana. Surat yang aku tulis di kertas kusam yang diperuntukkan untuk Rai pada saat aku pindah rumah. Aku mengambil surat tersebut dan membacanya ulang.

"Nanase, kau..." Cepat-cepat aku menyembunyikan surat tersebut di saku celanaku. Sial, Rai yang datang.
"Nanase? Apa yang sedang kau sembunyikan?" Tanya Rai dan aku hanya tersenyum-senyum sendiri.
"Bukan sesuatu yang penting." Jawabku.
"Bukan sesuatu yang penting? Coba aku lihat." Rai mendekatiku dan aku mundur selangkah.
"Tidak boleh. Ini rahasia pribadi!" Rai menghiraukan kata-kataku dan terus mendekatiku.
"Rai, kalau aku bilang tidak bisa ya tidak bisa!"
"Aku mau tau, Nanase! Hei, ayo perlihatkan... arrrgh!"

Setelah sadar ternyata Rai menindih tubuhku karena pada saat aku mundur, aku tidak sadar jika di belakangku ada tempat tidurku. Rai bangun dan pandangan kami bertemu. Kami bertatapan begitu lama sampai akhirnya Rai sadar dan langsung beranjak. Sebelumnya aku merasakan detak jantung Rai yang berdetak begitu cepat.

"Nanase, maaf-maaf! Maafkan aku!" Rai membungkuk-bungkuk lalu pergi meninggalkan kamarku dan pergi ke kamarnya.

Aku menyentuh dadaku. Apa arti dari semuanya? Detak jantung Rai ketika menatapku terasa berbeda dari biasanya. Jantungku pun berdetak lebih cepat dari biasanya juga. Apa artinya? Apa mungkin aku bisa mendapatkan dirinya? Ya, mungkin saja...



bersambung...