Saturday, January 29, 2011

Chapter 5

HIKARI TASEGAWA

Aku berjalan menyusuri mall Plaza Indonesia. Mall ini memang tidak begitu asing bagiku, karena jika aku berkunjung ke Indonesia, aku selalu ke mall ini. Pakaian-pakaian yang dijual di Plaza Indonesia ini juga bermacam-macam dan menurutku ada yang unik juga modis. Aku mencari-cari sosok Angela di bioskop. Anehnya, kenapa meeting point-nya di bioskop? Padahal mau bertemu di foodcourt juga bisa.

"Hikari!" aku menoleh dan melihat Angela berlari-lari kecil ke arahku dan ternyata ia tidak sendiri, Angela bersama dengan temannya.
"Hei, Ngel!" aku melambai pada Angela.
"Ri, perkenalkan ini temanku yang meminta pertolonganmu, namanya Lavenia." aku mengulurkan tanganku ke Lavenia dan Lavenia menyambut uluran tanganku.
"Hikari"
"Lavenia"
"Baiklah, kalian sudah saling mengenal, ayo kita ke Ex dan duduk di Yogulicious, aku mau makan yoghurtnya" ajak Angela.

Aku duduk sambil membawa beberapa contoh foto pre-wed. Lavenia pun segera melihat contoh-contohnya sementara Angela masih sibuk membeli yoghurt. Aku menarik nafas panjang dan menghembusnya perlahan. Lavenia menatapku.
"Bagaimana?" tanyaku pada akhirnya.
"Apa konsepnya bisa berbeda dengan yang ada di buku ini?" tanya Lavenia sambil membolak-balik buku contoh tersebut.
"Hmm... sebenarnya konsepnya terserah konsumen. Justru aku ingin mendapatkan ide untuk membuat konsep baru supaya gak terlihat membosankan. Apa kamu punya ide lain?" Lavenia mengangguk sambil tersenyum.
"Kebanyakan dari fotomu, Ri, semuanya lebih mengutamakan permainan cahaya di suatu ruangan, tapi aku ingin supaya pemotretan ini dilakukan di luar ruangan dan karena aku suka sekali dengan pantai dan taman, aku ingin melakukan pemotretan di sana. Bagaimana, Ri?"

Aku mendengarkan Lavenia dengan penuh seksama dan ya, lumayan ide yang menarik. Aku memang jarang memotret pemandangan seperti pantai dan taman kecuali memotret awan di padang rumput yang luas -menurutku awan itu lucu, jadi aku senang memotret awan-. Tiba-tiba saja aku ingin ke toilet.

"Hikari, jangan kebanyakan melamun ya, tidak baik hehe..." kata Lavenia sambil tersenyum manis. Aku membalas senyuman Lavenia dan mengangguk.
"Hehe, iya maaf. Eh, aku ke toilet dulu ya. Sudah gak tahan." Dengan cepat aku berlari-lari ke lantai 2 Ex. Toiletnya memang ada di lantai 2. Ketika aku hendak mendorong pintu masuk toilet perempuan, aku mendengar suara BUAK! Cepat-cepat aku mengintip. Ternyata ada seorang wanita cantik dengan pakaian mewah jatuh terduduk sampai semua barangnya tercecer.

"Aduh-aduh, maaf!" Aku langsung membantu membereskan barang-barangnya. Tetapi wanita itu menepis tanganku dan menatapku dingin.
"Jangan pegang-pegang barangku! Semua ini berharga! Pergi kau cewek jelek!" kata wanita itu dan aku langsung mengernyitkan dahiku. Sombong sekali wanita ini, pikirku.

Tanpa memedulikan wanita itu lagi, aku masuk ke bilik toilet dan... ya tidak perlu diberitahu.

SERGIO TATSUYA

"No, no, no, no! You're not allowed to go with your brother! You're my only daughter you know!" aku sedang duduk di dalam butik sambil menghirup udara segar, sementara aku terus mendengarkan perdebatan antara ibuku dan Whitney.
"I still want to go, mom!" Whitney tetap bersikeras mau ikut denganku ke Indonesia.
"I said NO!! For what purpose, Whitney? You better stay with me in New York!"
"Why, mom? I'm not a kid anymore! I want to go with my brother!"
"Whitney!! Why did you always disobey me? You want me to lose my patient?" aku terkejut ketika ibuku mulai meninggikan suaranya. Cepat-cepat aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri mereka. Aku menyentuh bahu ibuku sehingga ibuku menoleh.

"I beg you, mom. Just let Whitney go, let her see the world outside. I promise I will take care of Whitney." kataku sambil tersenyum. Ibuku mendecakkan lidah dan menatapku sambil berkacak pinggang.
"No! I said no! I don't want to! For what purpose Whitney has to go to Indonesia and be far from me?"

Setelah itu ibu pergi meninggalkan aku dan Whitney. Aku menengok ke arah Whitney dan melihat wajahnya begitu sedih. Aku merangkul Whitney lalu mengecup keningnya.
"Sudahlah, tidak usah bersedih pasti ada waktunya kau bisa pergi" Whitney langsung memelukku lalu menangis.
"Tapi aku ingin ikut, Nii-san! Aku tidak tahan hidup bersama ibu! Aku mau bersama ayah juga!" rengek Whitney. Tiba-tiba saja ide gila muncul di otakku. Aku tau ide ini terdengar gila tapi aku akan membawa kabur Whitney bersamaku ke Indonesia.

"Whitney, aku ada ide, bagaimana jika sekarang kita pergi ke tempat yang sepi supaya aku dapat lebih mudah untuk membicarakannya, oke?" aku mengajak Whitney ke ruang ganti. Whitney pun mengikutiku dari belakang. Aku duduk di bangku kosong yang ada di sudut ruang ganti.
"Ada apa, Nii-san? Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Whitney.
"Aku sudah menemukan cara supaya kau bisa ikut ke Indonesia. Tapi, aku rasa resikonya besar sekali." kataku sambil menatap langit-langit. Whitney tiba-tiba menodorongku ke tembok dan terlihat matanya berbinar-binar.
"Bagaimana, Nii-san? Aku tidak peduli dengan resiko-resiko itu, yang penting aku mau ikut dengan, Nii-san!" kata Whitney sambil menarik kerah bajuku.
"Uuuughh... iya-iya! Whitney, jangan seperti ini. Tidak enak tau!"

Setelah Whitney beranjak dariku, aku membereskan pakaianku yang berantakan. Aku bangkit berdiri lalu menoleh ke arah Whitney.
"Baiklah, aku berangkat tengah malam nanti. Ketika ibu masih tidur aku akan datang ke kamarmu dan untuk nanti, kau harus cepat-cepat membereskan pakaian yang mau kau bawa." Whitney langsung mengangguk dengan semangat.
***
Akhirnya, aku tiba juga di rumah "mewah" ini. Aku menghela nafas. Hari ini benar-benar lelah. Aku harus membantu-bantu membereskan pakaian-pakaian di sana. Pakaian yang dijual di butik tersebut sangat banyak. Aku tak mengerti, apa mungkin ibu mendesain semua pakaian mewah sebanyak itu?

Aku berjalan ke kamarku atau bisa dibilang kamar tamu. Aku duduk di pinggir tempat tidur dan berpikir untuk rencana nanti. Aku merebahkan tubuhku di kasur sambil menatap langit-langit. Ketika sedang asyik-asyiknya melamun, ponselku tiba-tiba saja berdering, aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselku. Aku melihat ke arah layar, ternyata ayah yang meneleponku.
"Moshimoshi" sapaku
"Gio, besok kau ke Indonesia ya?" tanya ayahku
"Iya, memangnya ada apa, yah?"
"Beritahu ayah jika besok kau sudah tiba ya. Ayah juga mau ke sana." aku membelalakan mata dan langsung bertanya.

"Ke Indonesia? Ayah? Ada apa memangnya, yah? Aku ke Indonesia hanya untuk menghadiri pesta pernikahan temanku. Ayah bisa menunggu di Tokyo saja. Setelah dari Indonesia, aku akan segera kembali ke Jepang."
"Haha... bukan begitu. Temanmu yang menikah itu, orang tuanya adalah teman ayah. Ayah baru diberitahu kemarin bahwa anaknya segera menikah." aku pun hanya mengangguk-angguk.
"Baiklah. Ayah berangkat kapan?" tanyaku sambil berjalan menuju jendela kamar. Hari sudah semakin gelap. Aku tersenyum ketika melihat suasana tersebut, setidaknya besok aku bertemu dengan ayahku.
"Ayah berangkat malam hari, ya lebih tepatnya hari ini. Ya sudah, ayah maish ada kerjaan. Ja ne!"

Aku meletakkan ponselku kembali di meja dan tersenyum. Beruntung sekali ayah ke Indonesia. Whitney pun bisa bertemu dengan ayah pada akhirnya.




bersambung....

Friday, January 28, 2011

Chapter 4

HIKARI TASEGAWA

Pagi-pagi buta aku sudah bangun. Aku masih merasakan pusing di kepalaku. Entah kenapa kepalaku bisa terasa pusing sekali. Aku berjalan ke dapur dan mencari obat untuk meredakan pusingku. Setelah meminumnya, pusing di kepalaku perlahan-lahan menghilang. Aku menghela nafas panjang. Ya, hari ini aku harus kembali lagi ke Indonesia. Benar-benar melelahkan.

"Hikari, kau sudah bangun?" aku menoleh dan mendapati Chiko sedang berjalan mengambil minuman di kulkas.
"Begitulah. Kau kan tau sendiri, nanti aku harus kembali ke Indonesia lagi." kataku sambil menarik bangku di dapur. Chiko pun juga ikut duduk.
"Hikari, memangnya kau ada masalah dengan Toshi-san ya?" aku menoleh ke Chiko lalu aku kembali menatap gelas kosong yang sedang aku pegang.
"Aku hanya tidak ingin bertemu dengannya lagi." aku beranjak dari tempat duduk dan kembali ke kamarku, agar Chiko tidak bertanya lebih panjang lagi. Di dalam kamar, aku langsung membereskan barang-barangku untuk dibawa ke Indonesia dan aku bersiap-siap untuk segera pergi ke bandara setelah itu.
***
Soekarno-Hatta International Airport - Jakarta, Indonesia

Sungguh melelahkan... untungnya aku tiba di Jakarta masih pagi. Aku mengambil ponselku dan langsung menelepon ayahku.
"Hikari! Kamu sudah sampai?" tanya ayahku dari seberang sana.
"Iya, ayah ada di mana?" kataku dalam bahasa Indonesia
"Sebentar lagi ayah tiba, sayang."
"Baiklah, aku tunggu"

Aku menutup ponselku dan langsung berjalan mencari tempat duduk yang kosong. Aku duduk sambil memandang ke depan dengan tatapan kosong. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Ketika aku sadar, aku segera mengambil kameraku dan mulai merubah settingannya. Lalu aku memfokuskan lensa kameraku ke atas langit dan mengambil gambar awan-awan yang indah tersebut. Ketika sedang asyik-asyiknya memotret, pundakku disentuh seseorang. Saat aku menoleh, ternyata ayahku sudah datang.

"Hikari, kamu memang gak berubah ya. Ayo, ibu juga sudah menunggu di mobil" aku mengangguk dan berjalan mengikuti ayahku ke dalam mobil.
"Hikari! Aduh ibu sangat merindukanmu! Kenapa kamu gak menjenguk ibu dan ayah waktu kamu bekerja di sini?" tanya ibuku dalam bahasa Indonesianya yang lancar, ketika aku baru masuk ke dalam mobil.
"Maaf, bu. Waktu itu aku juga buru-buru kembali ke Jepang. Kasihan Chiko harus mengurus studio sendirian." kataku sambil bersender ke jendela. Mobil pun mulai bergerak.
"Chiko-kun? Oh, bagaimana kabarnya sekarang?"
"Baik kok, ibu mau bertemu dengannya?"

Sebenarnya ibuku adalah orang yang senang bergaul. Hampir semua temanku, ibuku pun juga kenal. Terkadang aku merasa risih, tapi tetap saja aku suka ibuku seperti itu. Selama perjalanan, aku dan kedua orang tuaku terus berbincang-bincang. Sesekali aku juga sering melihat ke arah luar melalui jendela. Jakarta memang sudah banyak berubah. Untungnya tidak begitu parah dalam proses perubahannya.

Setelah beberapa jam perjalanan, aku tiba di rumah kedua orang tuaku. Oh ya, aku anak tunggal dan ayahku sudah memiliki anak dari perkawinan pertamnya. Namun, istri ayah yang pertama sudah meninggal dunia. Jadi, aku tidak lagi disebut anak tunggal. Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Evangel Iskandar Kusumo, biasanya dipanggil Evan. Aku dan Evan ternyata cukup dekat. Waktu aku lahir, kata ibuku, Evan selalu menjagaku. Sejak saat itu juga aku dan Evan bagaikan kakak-beradik yang sangat dekat.

Aku memasuki rumah yang bernuansa Bali dan aku sangat suka dengan nuansa ini. Semua perabotan rumahnya terbuat dari kayu yang kokoh dan besar. Di dalam rumah pun -entah siapa yang mengusulkan- ada air mancur yang dibuat di tengah ruangan.
"Hikari, ayo makan! Sudah siap nih!" teriak ibuku dari ruang makan.
"Sebentar, bu! Aku mau mengurus pekerjaan dulu! Dengan cepat aku pergi ke ruang depan dan mengambil ponselku lalu menelepon Angela, pelangganku.

"Halo?" sapa Angela
"Ngel, aku sudah di Indonesia. Sekarang aku lagi di rumah ortuku." kataku sopan
"Oh, sudah sampai! Bagaimana kalau sekarang kita ketemu? Aku yang menjemputmu atau bagaimana?"
"Gak usah repot-repot, Ngel. Aku sendiri saja. Mau di mana?"
"Hmm... di Plaza Indonesia aja. Aku tunggu di sana. Nanti sms aku aja"
"Oke deh!"

Setelah itu, aku mengakhiri telepon dengan Angela. Aku berjalan ke ruang makan dan duduk bersama dengan keluargaku untuk menyantap masakan buatan ibuku yang benar-benar makanan khas Jepang.

SERGIO TATSUYA

Limo ibuku memangs angat besar, aku bisa sampai tidur-tiduran di dalamnya. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju butik ibuku. Whitney pun juga ikut.
"Sergie, please don't act like that. Be polite!" kata ibuku.
"Yes, mom!"
"Sergie, you're now 23 years old right?" aku mengangguk ketika ibuku bertanya seperti itu.
"Why don't you search for a lady?" aku menoleh dan menatap ibuku.
"You mean, I need to get married at this age?" ibuku mengangguk dan ya! Aku sudah tau niat ibuku. Jika aku bilang aku belum pernah berhubungan dengan gadis manapun, ibuku pasti akan menjodohkanku dengan perempuan itu. TIDAK!

"Yes, Sergie! You have to get married as soon as possible! I want a grandson or granddaughter you know! And I've got a perfect choice for you!"
"You mean, that girl? Yue Ichikawa or Yukina Courtney in English? Huff..." aku menghela nafas panjang. Aku tidak pernah suka wanita itu, walaupun belum pernah bertemu.
"Yes! Yue is the perfect match for you, Sergie! Both of you will become a perfect couple!" kata ibuku sambil merentangkan tangannya. Aku menopangkan daguku dan mendecakkan lidah. Yeah, perfect stupid couple!, pikirku.

Limo berjalan melintasi sebuah perkotaan yang ramai dan tibalah aku di butik ibuku. Aku akui, butik ini memang bagus dibanding dengan toko sepatu ayahku di Jepang. Butik ibku bernuansa barat dan ada banyak hiasan-hiasan dari emas untuk mempercantik butik ini. Aku melangkah masuk ke butik sambil terus melihat kanan-kiri. Whitney tiba-tiba saja mendekatiku.

"Nii-san, aku tidak suka tempat ini." bisik Whitney dalam bahasa Jepang.
"Sudahlah. Biarkan saja, aku juga tidak suka walaupun tempat ini sangat indah."
"Nii-san, katanya besok kau akan kembali ke Jepang lagi ya?" aku menggeleng lalu tersenyum pada adikku.
"Aku mau ke Indonesia. Aku harus menemui salah satu temanku di sana."
"Memangnya ada apa?"
"Temanku ini akan segera menikah, Whitney." Whitney pun terkejut dan aku tetap tersenyum.
"Ya ampun! Nii-san baik sekali! Sampai jauh-jauh pergi ke sana untuk menemui temanmu itu!"
"Aku tidak enak saja, she's getting married you know!" kataku sambil tersenyum.
"Iya? Bolehkah aku ikut? Aku mau lihat!" tiba-tiba saja Whitney jadi kegirangan.
"Haha... lebih baik kau izin pada ibu. Aku tidak yakin ibu mengizinkanmu ikut atau tidak." Whitney langsung cemberut dan aku langsung merangkulnya.
"Sudahlah jangan memasang tampang seperti itu. Lebih baik kau izin dulu, ya?" kataku sambil mengacak-acak rambut Whitney. Whitney pun mengangguk sambil tersenyum.







bersambung....

Wednesday, January 26, 2011

Chapter 3

HIKARI TASEGAWA

Aku melempar ranselku ke sofa lalu mendaratkan pantatku di atasnya. Aku menghela nafas panjang. Sungguh melelahkan dan besok aku harus kembali ke Indonesia lagi. Aku mengusap-usap dahiku sambil memejamkan mata. Kepalaku terasa berputar saat ini.

"HIKARI! Sudah pulang?" Aku tersentak karena teriakan seseorang. Ternyata Chiko yang menggangguku. Chiko adalah laki-laki yang baik. Kami menjadi teman dekat sewaktu kami duduk di bangku kuliah. Karena memiliki cita-cita yang sama, kami pun melakukan usaha bersama. Ya, dengan membuka studio ini, walaupun diatas namakan aku, Chiko tidak keberatan dengan hal ini, melainkan ia pun ikut membantu. Aku pun sampai menyediakan beberapa keperluan di tempat ini agar Chiko dapat merasa nyaman dan menganggapnya sebagai rumah sendiri.

"Chiko, jangan ganggu aku dulu. Aku harus istirahat!" kataku dalam bahasa Jepang yang lancar. Chiko menatapku sambil berkacak pinggang.
"Hikari, aku menyambutmu dengan sangat baik. Jangan seperti itu, kau tau Toshi-san sering kemari mencarimu setiap hari..." aku mengusap-usap dahiku lagi. Kenapa aku harus diganggu orang seperti itu? Maksudku "Toshi-san" itu bukan Chiko.

TOSHIGAWA NEKU, adalah mantan kekasihku sewaktu aku masih kuliah. Kami berpisah ketika aku sudah mulai sibuk dengan urusan fotografiku dan studioku ini. Sebenarnya, Neku lah yang meminta untuk berpisah. Aku dan Neku sudah berhubungan selama kurang lebih 2 tahun semasa kuliahku. Ia memang laki-laki yang baik. Namun, ia sedikit egois dan aku merasa agak repot jika harus bersamanya.
"Kenapa Neku masih sering ke sini? Aku sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi. Kenapa kau tidak mengusirnya saja, Chiko?" Chiko menyilangkan tangannya di depan dada.
"Mana mungkin aku mengusirnya, Hikari! Lagi pula Toshi-san adalah mantanmu, mungkin saja ia ingin kembali padamu dan..."

CRIIING! Bel toko berbunyi dan menghentikan perbincangan kami. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan keluar bersama Chiko. Aku terkejut ketika melihat siapa yang datang...

NEKU...

***
Aku berjalan membawakan nampan yang berisikan ocha hangat menuju ruang tamu. Aku menghela nafas panjang lalu meletakkan ocha hangatnya di meja. Hari ini Neku terlihat begitu rapi. Mungkin saja ia memang sudah melanjutkan usaha ayahnya. Tiba-tiba saja Chiko berdiri dari sofa.
"Sepertinya aku harus kembali ke studioku, ada yang perlu aku perbaiki. Aku permisi dulu ya!" dilihat dari matanya, menurutku Chiko berbohong. Aku tau, ia selalu begitu setiap ada Neku.

Sepeninggal Chiko, aku dan Neku tetap diam. Aku hanya memain-mainkan pinggiran gelas dengan bibirku lalu menyesap ocha hangat tersebut perlahan.
"Dari mana saja kau, Hikari?" Neku mulai berbicara padaku. Aku meletakkan gelasku dan menatap Neku.
"Memangnya itu urusanmu?" tanyaku dingin. Neku menghela nafas panjang.
"Kenapa kau seperti ini, Hikari? Kau berubah..."
"Setiap manusia pasti berubah." kataku bertambah dingin.

Aku memang masih kesal pada Neku karena ia memutuskan hubungannya denganku. Dan waktu itu aku sempat melihat Neku berjalan dengan wanita lain dan itu terjadi setelah aku baru saja berpisah dengannya selama 2 hari. Memang, itu sangat kejam.
"Aku tau kau masih kesal dengan masalah itu..." syukurlah ia sadar, batinku.
"Sudahlah, aku tidak mau membahas hal tersebut lagi, aku harus istirahat. Besok pagi aku harus kembali ke Indonesia lagi." kataku sambil membenahi gelas-gelas kosong tersebut. Tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang melingkar di pinggangku. Aku terkejut dan ternyata Neku yang memelukku. Aku berusaha melepakan pelukan tersebut tapi tidak bisa karena aku sedang memegang gelas-gelas itu.

"Neku! Lepaskan aku!" aku berteriak dan memberontak.
"Tidak, Hikari... aku... aku masih mencintaimu!" aku tetap memberontak dan akhirnya aku bisa melepaskan diri. Aku menghadap ke arah Neku dan... PLAK! Aku menampar Neku dengan keras dan tidak berperasaan.
"Setelah apa yang kau lakukan selama ini, untuk apa kau bilang masih cinta padaku? Pergi, Neku! Aku ingin kau tidak kembali ke tempat ini lagi! PERGI!" aku berteriak sekeras mungkin dan Chiko langsung datang begitu saja.
"Hikari? Ada apa? Toshi-san, kau apakan Hikari?" Chiko langsung bertanya-tanya.

"Chiko, aku mohon, bawa pria ini keluar. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi, aku mau istirahat." kataku sambil mengusap-usap dahiku. Aku berjalan ke atas dan melihat ke bawah sekali lagi untuk melihat Neku yang dibawa keluar oleh Chiko. Memang hatiku terasa sakit ketika melihat Neku diseret keluar seperti itu dan ia juga berteriak memanggilku, tapi inilah kenyataannya, aku memang tidak ingin bertemu dengannya lagi. Selamat tinggal, Neku.

SERGIO TATSUYA

Limo tiba di depan rumah ibuku. Aku memang kagum dengan rumah ibu yang indah. Namun, terkadang aku tidak begitu suka dengan sifat ibuku yang sombong. Aku turun dari limo dan mengikuti ibuku masuk ke dalam rumah. Ketika aku masuk, aku melihat Whitney dan tiba-tiba saja Whitney menoleh.

"Nii-saaaann!!!" BUAK! Whitney langsung memelukku. Aku tersenyum dan membalas pelukan Whitney, adikku.
"Hey, Whitney!"
"Nii0saaaan!! Aku merindukanmu!" kata Whitney dalam bahasa Jepangnya. Aku memiringkan kepala.
"Whitney, bukankah kau tidak boleh berbicara dalam bahasa Jepang di sini?"

Untuk informasi, ibuku sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang. Ia kenal dengan ayahku karena ayahku fasih dalam berbahasa Inggris. Semenjak ayah dan ibuku bercerai, Whitney dibawa ibuku kembali ke New York dan Whitney dipaksa untuk terus berbicara dalam bahasa  Inggris.
"Kau tau, Nii-san... aslinya aku sangat terkekang di sini! Aku mau kembali ke Tokyo! Aku tidak suka berada di sini, gaya hidupnya terlalu mewah!" Whitney mulai mengeluh
"Whitney!!! You diobeyed me did you? I said no Japanese language in this house! Except for Sergie, he still live with his father... that is why I allowed him! Understand?" suara ibuku datang begitu saja dari lantai atas membuat Whitney jengkel. Whitney langsung menatapku dan memberi tanda. Aku hanya mengangguk-angguk saja.
"Whitney!! What is your answer?!" teriak ibuku lagi. Lama-lama aku juga ikut jengkel.
"Yes, mom!!" Whitney menjawab dengan nada bermalas-malasan dan langsung menarikku ke kamarnya yang berada di lantai bawah.

Ternyata setelah dipikir-pikir, aku beruntung juga sudah ikut ayah. Lagipula aku tidak mau tersiksa seperti Whitney. Bukannya aku berpikir seperti itu, aku hanya tidak mau dipaksa ibuku untuk melakukan hal-hal yang menurutku tidak penting seperti itu. Jika aku menjadi Whitney, lebih baik aku kabur dari rumah ini dan pulang kembali ke Jepang. Dari dulu, aku memang lebih menyukai ayahku dibanding dengan ibuku.

Aku memasuki kamar Whitney dan langsung melihat banyak foto-foto Whitney. Adikku ini memang senang berfoto-foto. Ia bercita-cita menjadi model di suatu studio. Namun, banyak fotografer yang menurut Whitney tidak begitu maksimal dalam mengambil foto dirinya. Aku tersenyum ketika melihat foto-foto tersebut, padahal semua fotonya begitu bagus dan unik.

"Whitney, foto-fotomu bagus dan kau terlihat begitu cantik di foto itu!" kataku sambil tersenyum. Whitney menatapku dan berkacak pinggang.
"Nii-san, kau tau... fotografer di New York terlihat tidak niat! Aku sendiri bingung!" jawab Whitney dalam bahasa Jepangnya.
"Haha, sudahlah Whitney. Kau tetap cantik lagipula, haha... oh ya, aku tau studio bagus di Jepang, kau harus ke Jepang, Whitney!" kataku bersemangat.
"Iya, aku memang ingin kembali ke Jepang!"

TUUUUTT!! Interkom di kamar Whitney berbunyi. Aku terkejut dan melihat ke sekeliling, dasar ibuku... memang sudah menjadi orang kaya tingkat tinggi.
"Whitney, Sergie! Umm... I know Sergie is in Whitney's room. Haha, I knew that she wants to show off her bedroom right? Oh ya, after I take a bath, I want to go to my boutique. Both of you please come with me, yes?" Aku menghela nafas, begitu juga dengan Whitney.
"Yes, mom!" dan kami berdua menjawab serentak.






bersambung...



Tuesday, January 25, 2011

Chapter 2

HIKARI TASEGAWA

HI~SEGAWA-studio and wedding photography adalah nama studio sekaligus rumahku. Hi~Segawa sama saja artinya dengan nama panjangku, Hikari Tasegawa. Rumahku ini memang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Namun, aku cukup nyaman tinggal di tempat ini. Ketika aku hendak memasuki rumahku, di ruangan pertama dapat ditemui sebuah meja resepsionis dan beberapa rak yang menjual frame-frame foto serta macam-macam peralatan fotografi lainnya.

Studio atau rumahku ini memiliki 4 studio. 2 studio milik Chiko dan 2 lagi adalah milikku. Kami berdua memang sudah sepakat untuk membagi studio-studio tersebut. Lalu menuju pintu yang bertuliskan "Khusus Karyawan" dalam kanji Jepang, disitulah rumahku berada. Tempat di mana aku tinggal selama ini.

Melewati pintu tersebut, hal pertama yang akan dlihat adalah pembatas ruangan yang aku letakkan untuk membatasi pintu dengan ruang tamu. Pembatas ruangan ini sudah aku berikan dengan beberapa foto-foto seperti fotoku dengan Chiko, teman-temanku semasa kuliah, dan foto keluargaku. Setiap melihatnya aku hanya tersenyum-senyum sendiri sambil mengingat-ingat memori yang lucu. Setelah pembatas ruangan, disitulah tempat di mana aku menerima tamu yang datang ke rumahku (tentu saja berbeda dengan menerima tamu di studio). Rumahku terdiri atas 2 lantai. Lantai bagian bawah memiliki beberapa ruangan penting seperti kamari Chiko (jika ia menginap), lalu ruang makan, dapur, kamar mandi, tempat di mana aku dan Chiko mencuci foto serta galeri-galeriku dengan Chiko. Sedangkan yang bagian atas, kamarku berada di lantai tersebut dan ada pula ruangan di mana aku menyimpan peralatan fotografiku seperti lensa, filter, tripod, flash, tas-tasnya, dan masih banyak lagi.

SERGIO TATSUYA

Suasana New York, masih seperti itu saja. Penuh dengan gaya hidup yang modern dan saat ini aku sedang duduk di dalam limo ibuku. Semenjak ibuku menjadi terkenal karena butik yang diluncurkannya sukses berat, ibuku menjadi wanita terkaya di daerah tempat tinggalnya.

"Sergie, how's Tokyo? I've never been there anymore." Ibuku memang senang memakai kata 'aku' dibanding berbicara 'ibu/mom'. Ya, hal ini disebabkan karena ibuku mau mengulang kembali masa mudanya.
"Tokyo? Still looks usual as before. Dad's okay also. Why don't you come and visit him?" ibuku langsung membuang muka. Memang, 2 tahun yang lalu ayah dan ibuku bercerai. Aku sendiri tidak mengerti kenapa. Adikku, Whitney Claire Fran, ya namanya memang ada ke-Amerika-annya karena ayah dan ibuku memang sepakat untuk menamai anak laki-laki dengan nama belakang ayahku "Tatsuya" dan nama anak perempuan dengan "Fran".

Aku dan Whitney sudah berusaha meyakinkan mereka agar tidak bercerai, tetapi mereka tetap bersikeras mau bercerai. Menurutku, menikah antas bangsa yang berbeda seperti itu memang ide buruk.

"I don't want to see him... no, no, no... I never want to see him again!" aku menunduk dan menghela nafas panjang.
"I never understand with you guys. You're my mother, and he's my father and both of you are my parents, also Whitney is my little sister." aku memandang keluar jendela. Jalanan terlihat sepi dan hanya limo ibu yang melintas di jalan tersebut.
"Whitney, she's with me now. Susuke will never see her again, if he... if he don't want to come to New York by himself and visit me!" aku diam dan setelah itu aku tidak berbicara lagi. Aku lelah dengan sikap ibuku yang egois. Memangnya, menurut ibu, ayah tidak sibuk di Jepang?





bersambung...

Sunday, January 23, 2011

Chapter 1


HIKARI TASEGAWA

Tokyo International Airport - Tokyo, Japan

Aku keluar dari pintu imigrasi sambil membawa koperku yang berat dengan tampang kelelahan. Perjalanan dari Indonesia ke Jepang memang memakan waktu yang lama. Untungnya perbedaan waktu tidak begitu jauh sehingga aku tidak jet lag.

HIKARI TASEGAWA, itulah namaku. Aku baru saja menyelesaikan tugas-tugasku di Indonesia sebagai pre-wedding fotografer. Pre-wedding fotografer adalah pekerjaan utamaku dan yang memesan jasaku sangat banyak. Oleh karena itu, aku sering 'bolak-balik' ke negara lain. Aku baru saja kembali dari Indonesia karena saudara ayahku baru saja mempersiapkan pernikahan. Ayahku, Fransiskus Aditya Kusumo adalah warga negara Indonesia dan ibuku, Maria Miyako Tasegawa adalah warga negara Jepang. Ayah dan ibuku dapat saling mengenal karena pada waktu itu ayahku bekerja di Jepang.

Tentang pekerjaanku, aku bekerja sebagai pre-wedding fotografer. Bukan hanya itu, aku juga memiliki studio fotografi sendiri dan setiap harinya studioku selalu ramai akan pengunjung. Di Jepang, memang banyak orang yang senang dengan fotografi, bahkan setiap bulan atau setiap tahunnya, di Jepang selalu mengadakan acara pameran fotografi yang diselenggarakan di setiap balai kesenian.

Saat ini aku sedang berjalan keluar dari bandara untuk mencari taksi dan menuju ke studio yang juga rumahku. Aku tinggal sendiri di Jepang, tetapi temanku, Chiko Mitsugawa terkadang datang menginap di rumahku untuk meminjam studio.

Ketika hendak memesan taksi, ponselku tiba-tiba berdering. Dengan cepat aku merogoh saku celanaku dan menjawab panggilan tersebut. Yang menelepon ternyata pelangganku dari Indonesia. Astaga! Aku baru saja tiba di Jepang, ada apa ini? Untungnya aku bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

"Halo? Ada apa?" tanyaku di telepon
"Hikari, tiba-tiba saja ada temanku yang minta dipotret untuk foto pre-weddingnya! Bagaimana ini? Kamu sudah ada di Tokyo ya?" pelangganku ini bernama Angela, ia baru saja melakukan pemotretan beberapa minggu yang lalu.
"Iya, Ngel... aku baru saja tiba di Tokyo." kataku lemas
"Aduh, maaf banget ya, Ri! tapi temanku ini butuh kamu. Di Indonesia, pre-wed fotografernya tidak ada yang sebagus kamu, Ri!" aku tersenyum pada diri sendiri, sebenarnya aku senang Angela memujiku seperti itu, tapi apa mungkun aku harus kembali ke Indonesia ketika aku baru saja menginjakkan kakiku di tanah kelahiranku, Tokyo?

"Umm... memangnya temanmu itu mau foto kapan? Kalau butuhnya besok, aku bisa saja istirahat hari ini dan berangkat pagi-pagi besok."
"Tenang saja, temanku mau melakukan pemotretan 2 hari lagi, jadi, kalau kamu berangkat besok, kamu bisa istirahat dulu hari ini." kata Angela dan aku pun dapat bernafas lega. Aku memutar balik dan kembali masuk ke dalam bandara untuk membeli tiket untuk besok ke Jakarta, Indonesia.

SERGIO TATSUYA

New York International Airport - New York, United States of America

NEW YORK, kota tempat di mana ibuku tinggal dan saat ini aku hanya datang untuk mengunjungi ibuku. Katanya, beliau sudah membuka butik terkenal di kota New York ini. Aku tiba di New York pada pagi hari.

TRRT! Aku merasakan ponselku berdering dan dengan segera aku merogoh saku celanaku lalu mengambil ponselku. Ternyata ibu yang meneleponku.

"Sergie, where are you?" ibuku yang bernama Eleanor Elaine Fran adalah warga negara Amerika sedangkan ayahku adalah warga negara Jepang yang bernama Susuke Tatsuya.
"Mom, it's Sergio not Sergie. I don't like that nickname!"

SERGIO TATSUYA adalah namaku. Lihat saja, namaku sudah bercampur-campur. Di Jepang, kebanyakan teman dekatku memanggilku dengan panggilan "Gio" atau "Tatsuya", tapi jika aku kembali ke New York, nama panggilanku akan berganti menjadi "Sergie". Keluargaku yang di New York memang senang memanggilku Sergie, karena menurut mereka nama itu lucu.

"Sergie, don't be like that. Come on, tell me... where are you right now?"
"Right now? Outside of the airport of course. Where are you, mom?"
"Wait for a while, dear. I will pick you up later, be patient okay!"




bersambung...

Saturday, January 22, 2011

ANNOUNCEMENT!

AFTER THIS POST. THERE WILL BE ANOTHER STORY CREATED BY ME :D SO THE RECENT STORY IS NO LONGER EXIST... COZ HONESTLY, I'M A LITTLE BIT CONFUSED ABOUT THE STORY ._. HAHA SO ENJOY THE NEXT STORY :)

Tuesday, June 29, 2010

The Story Part 54

Ruroya Rai

Kejadian tadi di tempat kos, memang sangat aneh menurutku. Aku sendiri juga bingung, tiba-tiba Shoko bertingkah aneh dan langsung saja ia mengurung diri di kamarnya. Oke, sudah cukup hari ini aku dibuat bingung. Saat ini aku sedang berjalan di Shibuya sambil membawa 2 plastik yang berisi banyak bahan masakan. Karena tiba-tiba aku merasa lelah, akhirnya aku berhenti ke sebuah kafe dan duduk di dalamnya sambil menikmati kopi hangat yang sudah disediakan.

Aku menatap ke arah jalanan di luar sambil sesekali menyesap kopi hangat tersebut. Aku menghembuskan napas ketika aku sudah menelan kopi hangat tersebut sampai habis. Lalu aku bangkit dari kursi dan akhirnya melanjutkan perjalanan kembali menuju ke tempat kos.

Sesampainya di kos, aku melihat Akita masih ada di sana. Dengan cepat aku meletakkan barang-barang hasil belanja ku di meja dan menghampiri Akita.
"Akita-san, sedang apa di sini?" Tanyaku sambil tersenyum. Akita menoleh dan membalas senyumanku.
"Aku hanya sedang menunggu Shoko." Aku memiringkan kepala karena bingung.
"Menunggu Shoko? Memangnya kalian mau ke mana?" Akita mengangkat kedua bahunya dan tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari ke atas dan mencari Shoko.

"SHOKO!" Aku berteriak di depan pintu kamar Shoko dan Shoko langsung membukanya.
"Ada apa, Rai?" Wajah Shoko terlihat begitu jengkel. Namun, aku tidak peduli dan akhirnya aku menerobos masuk ke kamar Shoko. Ketika memasuki kamar Shoko, aku sangat terkejut.
"Astaga! Apa artinya semua ini, Shoko?"
"Diam, Rai! Argh! Sudahlah, kau tidak perlu tau!" Shoko pun mendorong-dorong diriku agar sampai ke pintu. Aku pun memberontak dan akhirnya aku memegang kedua bahu Shoko.
"Shoko, aku yakin semua yang kulihat ini bukan rekayasa. Kenapa kau menghindar darinya, Shoko?" Wajah Shoko merah padam dan ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

Aku memutar kepala Shoko agar ia melihat sekeliling kamarnya.
"Shoko, lihat. Ini artinya ia mencintaimu Shoko. Apa kau tega kau akan menggantunginya seumur hidup?"
"Aku tau, Rai. Aku tidak mau menggantunginya seumur hidup. Tapi, semua ini terlalu cepat Rai! Aku sendiri bingung, setiap hari ia mengirimiku bunga ini dan semua surat cinta hanya untuk meyakinkanku sehingga aku mau menikah dengannya! Aku memang mencintainya, Rai. Tapi, apa menurutmu ini semua terlalu cepat?" Aku tersenyum dan memegang bahu Shoko.
"Tidak ada kata terlalu cepat menurutku. Aku yakin dalam benakmu, kau pasti menginginkan untuk hidup bersama dengannya, apa aku benar?" Shoko memalingkan wajahnya lagi. Sepertinya wajah Shoko sudah merah padam seperti kepiting rebus.

Shoko mendongak dan menatapku. Lalu ia memelukku sambil terisak.
"Iya. Terima kasih, Rai. Kau dapat memberikan keyakinan padaku."
"Jadi, apa kau akan menerima lamarannya?" Tanyaku sambil tersenyum. Lalu Shoko mengangguk dengan pasti sambil menyeka air matanya yang mulai keluar dari kelopak matanya.
"Cepat katakan padanya..."

Shoko pun keluar dari kamarnya dan segera mencari Akita...

Nanase Sakigawa

Sesampainya di rumah, aku tampak bahagia melihat hasil rekaman yang baru saja ambil tadi dengan Nonoru. Entah mengapa saat ini aku merasa begitu kejam, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahan dengan tingkah laku ayahku.

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sambil sesekali mengulang-ulang video rekaman ayahku. Nonoru yang saat itu sedang ada di kamarku, terlihat bingung karena aku sedari tadi hanya mengulang dan mengulang videonya.
"Nanase, kenapa kau mengulang video tersebut?" Aku menekan tombol pause lalu berbalik menatap Nonoru.
"Entahlah. Aku hanya senang melihatnya." Nonoru mengangkat bahu lalu melempar komik Nanase ke atas tempat tidur Nanase.

Tiba-tiba aku sadar bahwa sedari tadi aku tidak menyentuh ponselku sama sekali. Aku bingung dan aku langsung terduduk di tempat tidur. Awalnya aku berniat mencarinya, tetapi selagi ada Nonoru lebih baik aku bertanya padanya.
"Nonoru, apa kau lihat ponselku?" Nonoru menatapku dengan bingung.
"Mungkin ada di meja sana. Dasar, kamar sendiri kau tidak ingat meletakkan ponselmu sendiri." Nonoru menunjuk meja yang ada di ujung ruangan.

Aku beranjak dari tempat tidur dan langsung mengambil ponselku. Saat aku melihat ke arah layar, ternyata ada 1 pesan masuk. Aku membukanya dan pesan tersebut ternyata dari Rai.
Aku berjalan ke sudut ruangan dan bersandar di tembok. Ya, aku sering sekali meninggalkan gadis ini. Rai kadang sangat kesepian karena Riku sudah tidak ada dan aku kadang tidak pernah ada untuknya. Aku ingin sekali mendampinginya tapi, apa mungkin aku masih bisa memasuki hatinya seperti dulu? Aku tidak yakin. Lalu, aku sedang ada masalah dengan keluargaku. Ayahku ternyata selingkuh. Aku tidak akan pernah tau bagaimana reaksi ibu ketika ia melihat ayah seperti ini.

"Nanase, hei! Kapan kita akan menjalankan rencana yang kau maksud itu?" Tiba-tiba Nonoru menyadarkanku kembali. Aku menatap Nonoru lalu tersenyum.
"Tenang saja. Aku sudah punya ide bagus. Aku akan membuat ayah terpancing dengan omonganku."
"Ya, bagaimana caranya, Nanase?"
"Sudahlah, nanti kau akan mengerti. Tenang saja dulu."

Setelah itu Nonoru meninggalkan kamarku dan ya... aku berada di kamar sendirian lagi...


bersambung...