Wednesday, February 24, 2010

The Story Part 37

Ruroya Rai


Setibanya di rumah, Michiru langsung berlari mendahuluiku memasuki rumah. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Udara di musim panas pun terasa semakin panas. Ya, tentu saja karena saat ini sudah memasuki musim panas. Aku mengibas-ngibaskan tanganku karena aku mulai kepanasan. Aku masuk ke dalam rumah dan mendapati ibuku sedang menyaksikan acara di televisi. Aku mengucapkan salam pada ibuku.

Ketika aku hendak pergi ke kamarku, ibuku tiba-tiba memanggilku. Aku segera berbalik dan berjalan ke arah ibu yang sedang duduk di matras yang ada di lantai. Aku pun ikut duduk di atas salah satu matras yang sudah disiapkan.

"Ada apa, bu?" Tanyaku sambil menatap wajah ibuku. Tampaknya ibu sudah mengetahui semuanya dari Michiru. Michiru memang cepat jika membawakan pesan untuk ibuku.
"Rai, apa benar kau ingin kembali ke Tokyo?" Ibu memasang tampang sedih dan kecewa. Aku mulai merasa tidak enak pada ibu dan aku menundukkan kepalaku.
"Maaf, bu. Ini keinginanku. Aku ingin menyelesaikan sesuatu di Tokyo dan aku juga memiliki beberapa alasan lagi, kenapa aku ingin kembali ke Tokyo." Ibu menatapku. Wajahnya yang sudah terlihat tua di mata orang lain, tapi di mataku tidak tetap terlihat cantik di usia tuanya saat ini.
"Kenapa, Rai?" Aku menghela napas.
"Sepertinya aku mulai mengingat sesuatu. Karena itu, untuk memastikannya, aku ingin kembali di Tokyo dan tinggal seperti biasa di sana." Ibuku terkejut ketika mendengar bahwa aku sudah mulai mengingat sesuatu.
"Kau, sudah mengingatnya? Astaga! Baiklah, Rai. Ibu tau kau memang tidak memenuhi janjimu, tapi tidak apa. Ibu akan mengizinkanmu kembali ke Tokyo. Tapi, tetap kabari ibu dan ayah ya." Kata ibuku sambil tersenyum.
"Tentu saja aku akan selalu memberi kabar, bu."

Setelah perbincangan singkat dengan ibuku, aku pergi menuju kamarku. Membereskan barang-barang yang akan aku bawa ke Tokyo nanti. Mungkin, aku akan kembali ke Tokyo dalam beberapa hari lagi. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk kembali ke Tokyo.

Riku, aku akan segera kembali ke Tokyo dan mencari tau tentang pelaku yang sudah membuatmu seperti ini. Aku janji, Riku. Oh ya, Riku... akhir-akhir ini aku mulai mengingat sesuatu. Aku masih belum begitu yakin dengan apa yang aku lihat di ingatanku. Tapi, apa kau tau siapa laki-laki yang ada di ingatanku sebenarnya? Aku begitu penasaran, Riku. Aku tidak mendapatkan satu petunjuk apa pun mengenai laki-laki itu. Sungguh membingungkan.

Aku berjalan ke arah jendela dan menyentuh kacanya. Terasa panas. Ya, karena kaca jendela kamarku terus-terusan disinari oleh cahaya matahari. Aku menatap ke arah luar sambil melihat keindahan pedesaan Sapporo yang begitu indah. Aku senang dapat tinggal di sini. Sapporo memang kota kelahiranku. Aku tersenyum ketika melihat 2 ekor pasangan burung yang terbang bersama-sama. Aku membayangkan bahwa 2 burung itu adalah aku dan Riku. Aku yakin aku akan sangat bahagia dapat terbang bersama Riku.

Riku, lagi-lagi aku merindukanmu...

Nanase Sakigawa


Akhirnya, malam hari pun tiba. Ayah juga sudah pergi ke Seoul untuk melanjutkan pekerjaannya di sana. Aku menghela napas lega. Ayah tidak ada di rumah dan aku bisa kembali ke tempat kos. Dengan cepat aku membawa barang-barangku dan berpamitan dengan ibu, Nonoru, dan Chou. Mereka mengantarku sampai ke gerbang depan rumah.

Aku berjalan sendirian di bawah sinar lampu jalanan dengan perasaan yang senang. Akhirnya, setelah sekian lama aku disekap di rumah, aku dapat kembali lagi ke tempat kos itu. Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku sampai di depan tempat kos. Tempat kos ini masih sama seperti yang dulu. Tidak berubah sama sekali. Aku tersenyum dan berjalan mendekat ke arah pintu kos. Mempersiapkan hati dan jiwa, takut tiba-tiba ada beberapa orang yang menyerangku dari dalam. Aku menghela napas panjang lalu mengetuk pintu dengan pelan.

Pintu kos terbuka, jantungku pun berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak pernah aku merasa begitu tegang ketika kembali ke tempat ini. Tapi, kenapa hari ini aku merasa begitu tegang? Entahlah. Ternyata Shoko yang membuka pintu. Awalnya, Shoko tidak melihat wajahku dengan jelas karena di luar begitu gelap. Namun, tiba-tiba Shoko mengenaliku dan langsung memelukku. Takato dan Saki yang melihat dari dalam langsung berlarian untuk memelukku.

"NANASE!!" Semua langsung berteriak memanggil namaku. Aku hanya tersenyum dan aku merasa sangat senang dapat kembali ke tempat kos ini lagi. Shoko dan yang lainnya langsung mengajakku masuk ke dalam, membawaku ke dalam kamarku. Oke, aku merasa menjadi orang baru lagi di tempat ini. Saki juga membuatkan hidangan selamat datang untuk ku. Aku menghirup aroma makanan Saki dan tersenyum ketika merasakan aroma makanannya begitu enak.

Aku makan dengan lahap bersama dengan yang lainnya. Aku tidak percaya dapat kembali seperti ini lagi setelah sekian lama tidak makan bersama seperti ini. Aku merindukan rasa kekeluargaan di tempat ini.
"Aku senang dapat kembali ke sini lagi." Kataku memulai pembicaraan.
"Kami semua sangat senang dengan kehadiranmu lagi, Nanase." Kata Saki sambil tersenyum. Aku mengangguk dan membalas senyuman Saki.
"Oh ya, teman-teman. Ketika musim panas berakhir nanti, Rai akan kembali ke Tokyo. Aku ingin, kita semua membuat kejutan untuknya. Kejutan selamat datang serta kejutan kembalinya aku ke kos ini. Bagaimana?" Shoko, Takato, dan Saki langsung mengangguk bersama. Mereka mau membuat kejutan untuk Rai. Mereka semua ternyata sangat merindukan aku dan Rai.

Aku senang memiliki teman-teman yang sekarang sudah aku anggap keluargaku sendiri yang begitu perhatian kepadaku. Mereka pun tidak peduli dengan status sosialku yang ternyata adalah aku berasal dari keluarga kaya raya dan ternama. Mereka pun juga tidak menjauhiku ketika aku mengalami depresi berat, tapi ya aku tidak menghargai perhatian mereka pada waktu itu. Aku terus menghindar dan tidak pernah menghubungi mereka. Saat itu aku merasa bersalah.

Tapi hari ini jauh berbeda dari hari biasanya, aku sudah kembali ke tempat kos ini dan berkumpul bersama-sama di tempat ini. Aku bersyukur dapat kembali ke tempat ini.


bersambung...

The Story Part 36

Ruroya Rai


Aku menjalani hari-hariku di Sapporo seperti biasa. Tanpa kehadiran Nanase maupun Riku. Ke mana ya mereka? Aku tau Nanase saat ini ada di Tokyo, tapi bagaimana dengan Riku? Aku merindukanmu, Riku. Aku ingin cepat-cepat kembali ke Tokyo. Tapi, aku sudah berjanji pada keluargaku kalau aku akan kembali ke Tokyo ketika musim panas berakhir. Bagaimana ya?

Saat ini aku sedang berada di kamar sambil memperhatikan cincin yang diberikan Riku. Aku menghela napas pelan. Apa yang sedang Riku lakukan di atas sana ya? Aku ingin bertemu dengannya.

"Nee-chan!!" Michiru, adik perempuanku berteriak dari luar kamarku. Aku mendesah dengan kesal. Ada apa dengan Michiru? Setiap hari selalu menggangguku.
"Ada apa, Michi?" Aku membuka pintu dengan kasar.
"Hai, Nee-chan. Jangan marah-marah lagi ya. Aku hanya mau mengajak nee-chan jalan-jalan. Mau ikut?" Kata Michiru sambil tersenyum dan kemarahanku pun langsung mereda. Setelah itu aku mengangguk.

Aku kira Michiru hanya akan menggangguku seperti biasa. Tapi kenyataannya tidak. Michiru mengajakku pergi ke sebuah pasar yang ada di Sapporo. Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba Michiru mengajakku ke tempat ini. Ternyata Michiru ingin berbelanja sesuatu untuk kebutuhan di Tokyo nanti. Pasar di Sapporo ini menjual barang-barang yang lebih murah dibandingkan dengan barang-barang yang ada di Tokyo. Karena itu aku dan Michiru lebih sering berbelanja di tempat ini.

Michiru membeli beberapa barang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ia membeli beberapa peralatan dapur dan lain-lain. Setelah semua barang lengkap, ia membeli gulali yang di jual di pasar tersebut. Saat Michiru menawarkannya, aku hanya menggelengkan kepala. Aku memang kurang suka dengan makanan yang manis-manis. Aku mengajak Michiru untuk duduk di bangku taman yang dekat dengan pasar tersebut. Michiru dengan lahapnya memakan gulali tersebut sementara aku hanya menyeruput ocha dingin yang tadi baru aku beli.

"Michi..." Aku memanggil Michiru lalu menyeruput ocha dinginku lagi. Michiru menoleh sambil tersenyum.
"Ya?"
"Aku ingin kembali ke Tokyo." Terasa jeda sesaat.
"Kenapa, nee-chan? Nee-chan bilang. nee-chan akan kembali ke Tokyo ketika musim panas berakhir." Aku mengangguk pelan, di dalam hatiku keluarlah perasaan bersalah.
"Aku tau. Tapi, aku ingin... argh, bagaimana menjelaskannya. Aku bingung, Michi. Kau ingat Nanase?" Tanyaku sambil menoleh ke arah Michiru. Michiru pun mengangguk. Sepertinya Michiru masih ingat dengan Nanase.
"Ada apa dengan Sakigawa-kun?"
"Entah mengapa, aku seperti mulai mengenal laki-laki itu. Karena itu, aku ingin mencari tau dan aku ingin kembali ke Tokyo." Kataku sambil menundukkan kepalaku.
"Nee-chan... seperti yang ibu katakan waktu itu, nee-chan memang seharusnya mengenal Sakigawa-kun." Michiru tersenyum ke arahku. Aku mengangguk pelan.
"Jadi... apa nee-chan akan kembali ke Tokyo?" Aku menoleh dan menatap Michiru. Aku sendiri pun tidak tega meninggalkan keluargaku karena aku sudah berjanji pada keluargaku sendiri.
"Ya... aku akan segera kembali ke Tokyo dalam beberapa hari ini."
"Baiklah, aku harap nee-chan akan menemukan apa yang nee-chan cari." Kata Michiru sambil tersenyum dan aku segera memeluk adikku tercinta. Michiru memang penyemangat hidupku walaupun terkadang aku sempat kesal dengannya.

Dalam perjalanan pulang, aku berkata pada Riku melalui pikiranku. Riku, sebentar lagi aku akan kembali ke Tokyo. Aku akan mengunjungi makammu. Tunggu aku ya, Riku. Aku ingin menemuimu di sana. Aku akan mengajak Nanase dan yang lainnya juga. Karena... kami semua merindukanmu. Aku tau pasti yang lain juga merindukanmu.

Nanase Sakigawa


Hari ini, aku akan diam di rumah untuk beberapa saat. Nanti malamnya, aku akan segera pergi meninggalkan rumah ini dan tinggal kembali di tempat kos itu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Shoko, Takato, serta Saki. Bagaimana kabar mereka sekarang ya? Karena aku penasaran, aku segera meraih ponselku yang kuletakkan di meja kamarku. Aku mencari nomor telepon kos di ponselku. Setelah itu terdengarlah beberapa nada sambung.

"Moshimoshi!"
"Hei, masih mengingatku?" Aku mencoba untuk terdengar misterius.
"Hmm? Nanase? Hah?! Nanase?? Apa benar ini Nanase???" Ternyata yang mengangkat adalah Shoko. Aku selalu mengenal cara bicara Shoko, ia adalah wanita muda yang selalu mudah terkejut ketika bertemu dengan teman lamanya.
"Hei, Shoko. Hehe... lama tidak berbincang-bincang." Kataku sambil tersenyum.
"Ya Tuhan, Nanase!! Sudah lama sekali kau tidak menghubungi kami. Kau ke mana saja selama liburan musim panas? Waktu itu aku lupa bertanya." Tanya Shoko dari seberang sana.
"Aku baru saja kembali dari Sapporo. Aku liburan musim panas pergi ke sana dan menginap di rumah saudaraku." Terasa jeda sesaat.
"Kau ke Sapporo? Berarti kau bertemu dengan Rai juga?"
"Ya, aku bahkan mengajaknya pergi bersama ke festival musim panas."
"Dan sekarang kau sudah ada di Tokyo?! Astaga! Senangnya!!! Oke, besok kau harus membuat janji untuk bertemu denganku. Aku sangat merindukanmu dan Rai, tempat kos ini terasa begitu sepi tanpa kehadiran kalian berdua. Kau tau, setiap hari Takato kerjaannya tidur terus selama kalian berdua tidak ada." Aku mengernyitkan mataku saat mendengar Shoko berkata seperti itu.

"Takato tidur terus? Hmm... bisakah kau panggilkan Takato? Aku ingin bicara dengannya."
"Baiklah, tunggu sebentar." Telepon diletakkan dan terdengarlah suara Shoko yang berteriak memanggil Takato. Aku menunggu Takato untuk segera mengambil teleponnya sambil menendang-nendang beberapa pakaian kotor yang lupa aku keluarkan di kamarku.
"Ya?" Terdengarlah suara Takato tiba-tiba.
"Hei, Takato! Apa kabar?" Tidak ada jawaban. Ada apa ya di sana? Aku pun mulai bingung. Namun, ketika aku hendak bertanya kenapa tiba-tiba...
"NANASE SAKIGAWA!! Ke mana saja kau?! Kenapa tidak pernah mengatakan satu patah pun kepadaku?" Takato tiba-tiba saja berteriak dengan begitu keras.
"Hei-hei, sabar Takato. Aku hanya pergi berlibur ke Sapporo untuk menemui saudaraku. Maaf jika aku tidak pernah mengatakan apa-apa padamu." Kataku sambil tersenyum lagi.
"Baiklah. Dimaafkan, tapi lain kali jangan seperti itu lagi. Kau hanya membuat kami semua khawatir, kau tau itu?" Takato mulai menceramahiku.
"Iya, aku tau, Takato. Maafkan aku. Oh ya, Takato... aku harap ketika aku memberitahu tentang ini, kau tidak membeberkannya kepada Shoko maupun Saki, oke? Kau harus berjanji padaku." Aku mulai memiliki sebuah rencana.
"Baiklah. Memangnya apa, Nanase?" Aku mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan-lahan lalu tersenyum seperti biasa.
"Aku akan segera kembali ke tempat kos malam ini. Jadi, tolong rapikan kamarku ya, Takato dan jangan katakan hal ini pada Shoko dan Saki. Oke?"
"Baiklah, Nanase! Haha... senangny!" Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Takato, akhirnya kami mengakhiri sambungan telepon.

Aku mulai mempersiapkan barang-barang yang akan aku bawa nanti sambil mendendangkan beberapa lagu kesukaanku. Hari ini aku sangat senang, aku akan kembali ke tempat kos dan kembali bersekolah di Gakurai Academy untuk melanjutkan studi dengan membawa nama Riku. Riku teruslah melihatku, karena aku akan melanjutkan studiku dengan membawa namamu seperti yang kau pesankan waktu itu. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu, Riku! Sebagai sahabatmu...



bersambung...

Tuesday, February 23, 2010

The Story Part 35

Ruroya Rai


Aku beranjak dari tempat tidurku. Mengambil beberapa helai pakaian dan pergi ke kamar mandi. Astaga, bodohnya aku! Hari ini Nanase akan kembali ke Tokyo. Aku harus mengucapkan selamat tinggal. Cepat-cepat aku pergi ke rumah keluarga Tatsuya ketika aku selesai mandi.

Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, ternyata Shiori yang keluar rumah. Aku langsung melambai ke arah Shiori dan Shiori pun mendekat.
"Shiori-chan, apa Nanase masih ada di dalam?" Tanyaku sambil tersenyum. Shiori memiringkan kepalanya, bingung.
"Nanase? Nanase sudah kembali ke Tokyo tadi pagi." Aku terkejut ketika mendengar Shiori berkata seperti itu. Nanase... Nanase sudah pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku.
"Sudah kembali? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?" Aku merasa begitu kecewa, sangat kecewa. Shiori menatapku dengan kasihan.
"Awalnya, aku juga mau memberitahumu, Rai-chan. Tapi Nanase berkata padaku agar aku tidak perlu meneleponmu. Maafkan aku, Rai-chan." Shiori membungkukkan tubuhnya perlahan di depanku. Aku menyentuh pundak Shiori .
"Tidak apa. Kenapa Nanase seperti itu?" Aku menghela napas panjang.
"Umm... tapi sebelum ia masuk ke dalam gerbong kereta, aku sempat mendengar Nanase mengatakan selamat tinggal padamu."

Aku mengernyitkan mataku. Bagaimana bisa Nanase mengucapkan selamat tinggal kepadaku sementara aku masih berada di atas kasur, berjalan di alam mimpi? Aneh.
"Mungkin saja, Nanase tidak mau menyakitimu dengan kepergiannya." Shiori seperti baru saja membaca pikiranku. Aku tersenyum pada Shiori dan mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas informasinya. Aku permisi dulu ya!" Shiori mengangguk pelan sambil tersenyum dan aku pun segera berlalu dari rumah keluarga Tatsuya.

Aku berjalan di pedesaan Sapporo sendirian. Memikirkan banyak hal seperti biasa. Kenapa Nanase pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku? Aku sendiri juga masih memikirkan siapa pelaku yang menyebabkan kematian Riku? Kenapa semuanya begitu rumit? Menyebalkan. Andai saja ada seseorang yang saat ini menemaniku. Aku menghela napas panjang lalu menengadah ke langit.

Matahari tampak menyinarkan sinar-sinar kuning dan kemerahan di wajahku. Aku menutup mataku agar terhindar dari sinar matahari tersebut. Aku berjalana di pedesaan, sendirian sambil ditemani desiran angin musim panas. Tubuhku pun mulai dipenuhi dengan keringat. Tiba-tiba dipikiranku terbersitlah ide untuk pergi ke pantai di daerah pedesaan ini.

Sesampainya di pantai, aku berdiri di antara pasir dan ombak. Aku merasakan air ombak-ombak itu menggelitik kakiku. Namun, entah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit. Aku merintih pelan, sialnya Riku sudah tidak ada. Aku tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Aku pun terjatuh di atas pasir.

Aku mengingat di waktu kelahiranku, seorang lelaki datang untuk menjaga dan merawat keluargaku. Laki-laki itu kecil tapi memiliki tenaga dan kemampuan yang tinggi. Ia terus membantu keluargaku. Aku mencoba memperjelas gambar laki-laki itu dipikiranku. Tapi tetap saja, aku masih belum ingat siapa laki-laki itu. Saat aku beranjak menjadi seorang anak perempuan yang masih kecil, di pikiranku terlihat aku dengan anak laki-laki itu sangat akrab. Setiap bermain bersama, aku selalu menggandeng tangan laki-laki itu.

"Rai!!!" Pikiran itu tiba-tiba hilang karena aku sudah disadarkan oleh suara Shiori. Bagaimana Shiori bisa ada di sini?
"Shi-Shiori? Bagaimana bisa kau ada di sini?" Aku bertanya pada Shiori ketiak ia membantuku untuk duduk.
"Aku sering ke tempat ini, Rai." Kata Shiori sambil tersenyum. Shiori memang manis, pantas saja Nanase selalu berada di dekatnya.
"Ada apa denganmu, Rai? Tiba-tiba saja kau terjatuh." Shiori bertanya lagi padaku. Aku memegang kepalaku.
"Aku sendiri juga tidak tau. Rasanya aku telah mengingat sesuatu tentang ingatan masa kecilku."

Saat aku menoleh ke arah Shiori, ia terlihat begitu terkejut. Aku mengernyitkan mataku dan tiba-tiba saja Shiori memelukku.
"Rai!! Selamat, kau sudah mengingat semuanya!"
"Hei-hei, Shiori-chan. Aku belum tau semuanya. Di ingatanku tiba-tiba ada seorang laki-laki, tapi aku tidak tau siapa laki-laki itu." Aku menjelaskan semuanya pada Shiori.
"Laki-laki? Apa mungkin yang kau maksud adalah Nanase?"
"Nanase?"

Aku dan Shiori langsung terdiam. Di antara kita yang hanya terdengar adalah suara desiran ombak yang menghantam bebatuan di area pantai tersebut. Aku menengadah ke langit. Lalu tersenyum saat menatap langit.

"Shiori-chan, siapa pun laki-laki yang ada di ingatanku, aku tidak peduli siapa orangnya, aku hanya ingin mencari tau tentang laki-laki itu..." Kataku sambil tersenyum dan menatap Shiori.

Nanase Sakigawa

Aku tiba di rumahku beberapa saat setelah melewati perjalanan yang menggunakan mobil. Nonoru dan Chou membantuku membawa barang bawaanku. Ibu keluar dari rumah lalu memelukku dengan pelan. Tampaknya ibu merindukanku.

"Nanase, selamat datang kembali." Kata ibuku sambil mengecup keningku. Aku tersenyum sambil menatap ibuku.
"Nanase, maafkan ayahmu. Aku tau kau masih merasa kehilangan karena kejadian temanmu itu, tapi ayah memaksamu untuk pulang, ibu mohon, maafkanlah ayahmu." Aku tersenyum dan mengangguk walaupun sebenarnya aku masih sedikit kesal dengan ayahku sendiri.
"Ayo, kita masuk ke dalam. Apa kalian tidak kepanasan?"

Aku melangkah masuk ke dalam rumah setelah itu langsung perge ke dalam kamarku. Saat aku sedang merapikian pakaianku, pintu kamarku diketuk seseorang. Aku membuka pintu kamarku dan mendapati Nonoru sedang berdiri di depannya.

"Ada apa, Nonoru?" Tanyaku bingung.
"Tidak apa, umm... bolehkah aku masuk ke dalam?" Dan aku mengangguk. Nonoru pun duduk di atas tempat tidurku sambil sesekali menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar di kamarku.
"Nanase, apa rencanamu saat ini di Tokyo? Kau kan' tidak boleh pergi ke Gakurai lagi." Tiba-tiba Nonoru bertanya seperti itu padaku. Aku menoleh sambil menatap Nonoru.
"Haha... aku memang ingin kembali ke Gakurai dan pergi dari rumah ini. Tapi mungkin aku akan melarikan diri beberapa hari lagi." Nonoru memukulku pelan.

"Dasar adikku yang aneh. Oh ya, aku dengar ayah akan pergi keluar kota untuk beberapa bulan. Aku yakin kau bisa kembali tinggal di kos itu dan bersekolah di Gakurai." Aku senang Nonoru dapat menyemangatiku.
"Ya, aku akan pergi saat ayah juga pergi kalau begitu. Aku tidak akan membiarkan ayah menghalangi masa depanku lagi!" Aku berdiri sambil mengangkat tanganku. Nonoru pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
 
Malam harinya, aku mendapat surat lagi. Aku menganggap bahwa surat tersebut berasal dari Riku. Apa mungkin benar-benar dari Riku? Coba aku lihat. Aah! Iya, benar. Surat ini dari Riku. Aku menghela napas. Riku, kenapa kau tidak muncul di hadapanku saja? Lebih mudah kan' bicaranya? Dengan seksama aku membaca surat yang diberikan oleh Riku.

Untuk Nanase, sahabatku...
Hei, apa kabar? Maaf akhir-akhir ini aku jarang menemuimu. Aku masih sibuk mengurusi Rai. Entah mengapa Rai sering mengalami depresi. Dan baru saja aku melihat kejadian di mana Rai mulai membuka ingatannya. Entah bagaimana caranya. Mungkin kau bisa membantunya Nanase. Bagaimana? Hmm... apa yang mau aku bicarakan lagi ya? Oh ya, ngomong-ngomong, kau sudah tau pelakunya kan' yang menabrak ku? Bagaimana ya? Hmm... coba kau tulis kata-katamu di bawah suratku ini. Aku tunggu balasanmu ya, Nanase. Sampai jumpa.

Rikugan Sakurai
Aku membaca surat Riku sambil tersenyum. Tiba-tiba saja aku membelalakan mataku ketika aku membaca tulisan yang mengenai Rai sudah dapat membuka ingatannya. Apa mungkin Rai sudah ingat semuanya? Aku melamun sebentar, lalu aku meraih pensil yang ada di atas meja belajarku. Setelah itu aku mulai menulis balasan untuk Riku di bawah surat Riku.

Untuk Riku, sahabatku...
Hei, Riku. Apa kau yakin surat balasanku ini akan segera sampai padamu? Aku baik-baik saja di sini. Tapi aku sangat amat merindukan kehadiranmu, teman! Kenapa kau pergi begitu cepat. Meskipun sekarang sudah berminggu-minggu terlewati sejak kejadian itu, aku masih sering sedih ketika mengingat semuanya. Umm... Riku, kalau memang menurutmu Rai sudah membuka ingatannya, apa aku harus bertanya padanya? Pelakunya ya? Hmm... sepertinya kau mengenal gadis ini Riku. Namanya Hanase Rukia. Aku sendiri sangat terkejut ketika mendengar nama itu yang disebut oleh kakak laki-laki ku. Riku, sekian dulu suratnya. Aku harap balasanku sampai padamu. Sampai jumpa.
Nanase sakigawa
Setelah menulis surat. Aku membaca surat tersebut sekali lagi. Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Aku meletakkan surat tersebut di atas meja dan berjalan ke arah pintu. Aku membukanya dan mendapati ibuku berdiri di sana. Aku mempersilahkan ibuku masuk. Ibu langsung duduk di atas tempat tidurku, sementara aku berjalan ke arah meja belajarku. Aku bingung ketika surat itu tiba-tiba saja menghilang. Aku mencoba mencarinya ke mana-mana, tetap saja tidak ditemukan. Aku mengusap-usap wajahku. Mungkin saja, Riku sudah mengambil surat balasanku. Aku tersenyum.

"Ada apa, Nanase? Kenapa kau tersenyum-senyum sendiri seperti itu?" Tanya ibuku. Aku menggeleng pelan lalu menghampiri ibuku.
"Tidak apa-apa. Aku tadi sempat mendapat surat dari sahabatku yang sudah berada di alam sana." Kataku sambil tersenyum. Ibu langsung terkejut lalu mengelus-elus dadanya karena terkejut.
"Surat? Bagaimana bisa?" Aku pun hanya tersenyum simpul lalu mengibas-ngibaskan tanganku.
"Sudahlah, bu. Lupakan saja. Ayo, ada apa ibu datang ke sini malam-malam? Ayah tidak mencari ibu?" Tanyaku sambil menatap ibuku. Ibuku menghela napas, lalu menggenggam tanganku.
"Ibu sudah tau semua cerita dari Nonoru. Katanya, kau mau kembali ke Gakurai dan tinggal di kos itu lagi ya saat ayahmu pergi?" Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan ibu. Ibuku tersenyum lalu memelukku.
"Baiklah, aku harap kau bisa mencapai cita-citamu di Gakurai. Ibu akan selalu mendukung. Tapi, kau harus selalu memberi kabar kepadaku ya." Aku terkejut saat mendengar kata-kata ibu, lalu aku menoleh dan melukiskan senyuman terlebarku yang pernah ada.
"Benarkah?"



bersambung...

Sunday, February 21, 2010

The Story Part 34

Ruroya Rai


Ke mana perginya Nanase itu? Sudah hampir lewat dari janji yang tadi dibicarakan. Apa jangan-jangan Nanase lupa? Aku menuggu kedatangannya di taman ini sendirian dan sampai saat ini, Nanase belum datang juga. Apa yang sedang dilakukan laki-laki itu?

"Dasar bodoh..." Gumamku pelan sambil menengadah ke langit. Tanpa berpikir panjang lagi, aku beranjak dari bangku taman hendak meninggalkan taman tersebut. Untuk apa aku berlama-lama di tempat ini jika nantinya Nanase tidak datang juga? Lebih baik aku pulang. Aku menghela napas dan melangkah untuk meninggalkan taman tersebut.

"Raiiii!! Tunggu!!" Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Saat aku menoleh, aku melihat Nanase berlari-lari ke arahku. Ketika Nanase sudah berdiri di hadapanku, ia membungkukkan tubuhnya dan mengatur napas dengan perlahan. Aku membungku juga untu berbicara dengannya.

"Kau telat, Nanase." Nanase mendongakkan kepalanya sambil memasang wajah bersalah.
"Rai, maafkan aku..." Meskipun Nanase meminta maaf, tetap saja aku masih kesal.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nanase? Aku di sini, menunggumu begitu lama, tapi kau tidak muncul-muncul juga. Seharusnya seorang gadis tidak boleh ditinggal sendirian di tempat terbuka pada malam hari!" Aku mulai menceramahi Nanase. Tapi anehnya, Nanase tersenyum ke arahku. Aku pun semakin jengkel.

"Apa ada yang lucu, Nanase?" Aku mulai membentak Nanase tapi tetap saja, Nanase terus tersenyum.
"Aku senang kau mengkhawatirkanku." Aku membelalakan mataku karena terkejut. Apa aku salah dengar? Memangnya aku mengkhawatirkan Nanase? Dasar aneh.

"Si-siapa yang mengkhawatirkanmu?" Entah mengapa tiba-tiba wajahku terasa panas. Nanase merubah senyumannya menjadi suara tawa yang semakin membuatku jengkel.

Tanpa basa-basi, aku memukul Nanase dengan keras. Akhirnya Nanase merintih kesakitan.
"Hei, pelan-pelan saja. Kenapa kau seperti itu?" Tanya Nanase, aku membuang muka sambil menyilangkan tanganku di depan dada.
"Maafkan aku, Rai. Sudahlah, lupakan saja. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Aku setuju dengan kata-kata Nanase dan aku mengajak Nanase untuk duduk di bangku taman.

Aku duduk dengan diam sambil menunggu Nanase untuk berbicara. Lalu aku mendengar Nanase berdeham.
"Rai, besok aku harus kembali ke Tokyo." Aku terkejut dan menoleh ke arah Nanase saat ia mengatakan hal tersebut. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala.
"Tidak-tidak, kau pasti berbohong kan'?" Aku menunggu jawaban dari Nanase dengan perasaan yang bergejolak.
"Aku tidak berbohong, Rai. Ayahku menyuruhku untuk segera kembali ke Tokyo. Aku sendiri juga sedang ada urusan yang perlu aku selesaikan. Maafkan aku, Rai. Aku tidak jadi tinggal di Sapporo sampai musm panas berakhir."
"Tidak! Jangan pergi, Nanase. Sudah cukup aku ditinggalkan seperti ini terus. Awalnya Riku, sekarang kau. Aku tidak mau, Nanase!" Aku menarik baju Nanase sambil terus menggelengkan kepala. Aku tidak mau Nanase meninggalkanku.

Nanase menatapku. Matanya yang hitam pekat pun seperti bersinar karena pantulan cahaya dari bulan. Begitu indah. Tiba-tiba Nanase memelukku.
"Rai, apa kau sudah ingat semuanya?" Tanya Nanase yang mulai membuatku penasaran.
"Ingat apa, Nanase?"
"Dulu, waktu kita masih kecil, kau sempat merengek-rengek seperti ini dihari aku pindah rumah ke Tokyo. Apa kau sudah mengingatnya?" Aku menggeleng pelan dan entah mengapa Nanase tidak memasang wajah kecewa seperti biasanya. Tapi ia hanya tersenyum.
"Aku mengerti..."

Nanase Sakigawa


Di bawah rembulan yang masih memancarkan cahayanya, aku memeluk Rai dengan pelan dan lembut. Terasa kehangatan tersendiri dari dalam tubuhku. Aku merasa, hatiku seakan-akan menjadi tenang dan damai. Mungkin kebersamaanku dengan Rai akan berakhir di sini, karena besok aku harus segera kembali ke Tokyo.

"Nanase..." Rai memanggilku.
"Ya?"
"Apa besok kau akan tetap kembali ke Tokyo?" Tanya Rai sambil menatapku. Aku membelai rambutnya dengan perlahan.
"Maafkan aku, Rai. Aku harus segera kembali ke Tokyo besok."

Memang rasanya begitu menyakitkan harus meninggalkan Rai. Tapi apa boleh buat, ayah yang menyuruhku dan aku harus menurutinya jika aku tidak mau didamprat lagi.

Aku melepaskan pelukanku dan menatap ke arah Rai.
"Aku pulang dulu ya. Maafkan aku, Rai. Konbanwa!" Dengan perasaan terpaksa, aku meninggalkan Rai sendirian di taman. Selama perjalanan, aku tidak henti-hentinya menjambak rambutku. Kenapa aku begitu bodoh?

Awalnya aku ingin menyatakan perasaanku kepada Rai, tapi yang terlintas di pikiranku hanyalah Rai sudah menjadi milik Riku dan kini Riku adalah sahabatku. Bagaimana mungkin aku bisa merebut Rai dari Riku begitu saja? Itu tidak mungkin.

Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, ternyata Shiori sudah tidur. Dengan cepat aku pergi ke kamarku dan membereskan semua barang-barangku yang akan aku bawa ke Tokyo. Keesokan harinya, aku diantar oleh keluarga Tatsuya ke stasiun shinkansen Sapporo. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Tatsuya, karena mereka mau menerimaku di rumah mereka serta menjagaku dengan baik.

"Hati-hati ya, Nanase!" Aku mengangguk dan segera berlalu. Sebelum memasuki gerbong kereta, aku menatap keluar.
"Aku pergi dulu, Rai." Gumamku pelan lalu masuk ke dalam gerbong.

Tokyo, akhirnya aku sampai di tempat ini lagi. Aku melihat ke sekeliling untuk mencari sosok Nonoru, kakak laki-lakiku. Ketika aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang.

"Ayo tebak, ini siapa?" Suara itu, aku pernah mendengar suara itu, suara seorang gadis. Tidak salah lagi, suara itu adalah suara Rukia. Sedang apa gadis itu di sini?
"Rukia?" Aku menoleh dan benar... Rukia berdiri di hadapanku dengan senyumannya yang ceria seperti biasa.

Anehnya, aku tau Rukia yang menyebabkan kematian Riku. Tapi, kenapa raut wajah Rukia seperti mengatakan tidak terjadi apa-apa? Aku pun terus-menerus memutar otak.

"Nanase, habis liburan di mana?" Tanya Rukia dengan wajah polosnya.
"Aku habis dari Sapporo. Tapi entah mengapa, rasanya lidahku tidak mau bergerak untuk mengeluarkan kata-kata mengenai permasalahan tersebut.

Untungnya Nonoru datang disaat yang aku inginkan. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan Rukia saat ini. Saat Nonoru hendak membantuku, ia terkejut ketika melihat Rukia.
"Hei, itu kan' pelakunya!" Bisik Nonoru.
"Nonoru, diam saja kau. Aku tidak mau mencari keributan di tempat ini! Ayo pulang!" Aku berbisik ke Nonoru. Setelah itu aku menoleh ke arah Rukia.
"Rukia, aku pulang dulu ya!" Dan Rukia mengangguk sambil tersenyum seperti biasa.

Di dalam mobil-Chou yang menjadi supirnya-aku dan Nonoru kembali membicarakan tentang masalah itu. Aku tidak percaya, setelah bertahun-tahun lamanya, aku dan Nonoru bisa menjadi seakrab ini.

"Nonoru, memangnya kau menemukan berita itu dari siapa?" Aku memulai pembicaraan.
"Aku dapat berita itu dari temanku yang kebetulan melihat mobil itu dan pemiliknya." Kata Nonoru.
"Awalnya, temanku ini seperti mengenal gadis itu. Jadi, temanku ini terus mengikuti gadis itu sampai kecelakaan itu terjadi." Jelas Nonoru. Aku hanya terus mengangguk-anggukan kepala. Sebenarnya aku tak habis pikir, kenapa Rukia bisa seperti itu? Aku harus mencari tau semua ini.



bersambung...

Saturday, February 20, 2010

The Story Part 33

Ruroya Rai

Sepulang dari festival tersebut, aku mengucapkan terima kasih kepada Nanase karena hari ini Nanase mau menemaniku. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar memperhatikan boneka yang baru saja Nanase berikan untukku. Aku tersenyum sambil menyentuh boneka tersebut. Apa kau melihatnya, Riku? Nanase memberiku boneka ini. Kembang api di luar belum selesai juga. Aku menatap ke arah jendela.

"Kembang apinya indah ya?" Tiba-tiba Riku sudah berada di sampingku. Entah sejak kapan jika aku memikirkan Riku, pasti ia akan cepat datang. Aku mengangguk untuk menjawab Riku.
"Rai..." Riku memanggilku dan aku menoleh.
"Ada apa, Riku?"
"Tutup matamu." Meskipun aku bingung, aku tetap menutup mataku.

Aku merasakan Riku menyentuh wajahku dan dengan merasakan sentuhannya aku dapat melihat ada beberapa sinar yang menembus mataku, aku tau itu adalah sinar kembang api. Setelah itu aku merasakan bibirku dengan bibir Riku bersentuhan. Aku terkejut dan segera membuka mata, lalu menghindar seperti biasa. Tapi tidak seperti yang dulu cara menghindarnya. Riku pun tersenyum.

"Aku hanya melakukan hal tersebut dengan orang yang sangat aku cintai." Setelah itu Riku menghilang dari hadapanku. Aku menyentuh bibirku dan menatap ke arah luar jendela. Kembang apinya sudah berakhir dan aku langsung berganti pakaian. Aku beranjak dari dalam kamar menuju teras rumah.

Di musim panas ini, pada malam harinya udara terasa begitu sejuk. Aku merasakan desiran angin yang mulai menembus dan menusuk tulang-tulangku. Walaupun rasanya tidak dingin, entah mengapa tubuhku menggigil. Bintang-bintang pun juga sudah bertaburan di langit malam yang indah.

"Nee-chan!!!" Lagi-lagi keheninganku dipecahkan oleh suara Michiru. Dengan perasaan jengkel aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Michiru sedang menggenggam ponselku yang bergetar.
"Ada telepon untukmu." Aku menerima ponselku dan menjawab panggilan tersebut, setelah itu Michiru pergi.

"Moshimoshi." Sapaku.
"Rai, aku tidak mengganggumu kan'?" Ternyata dari Nanase.
"Tidak. Aku sedang bersantai saat ini."
"Umm... kalau begitu, aku mau bertemu denganmu. Kutunggu kau di taman pada tengah malam nanti."
"Memangnya ada apa, Nanase?" Tanyaku yang mulai penasaran.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu nanti ya!"
"Baiklah."

Sesudah itu aku beranjak dari teras rumah dan kembali ke dalam.  Kira-kira apa yang akan dibicarakan Nanase nanti ya? Kenapa Nanase begitu misterius? Aku begitu penasaran, aku ingin tau segalanya tentang Nanase. Sebenarnya apa yang membuatnya terlihat begitu misterius?

Nanase Sakigawa

Setelah mengantar Rai pulang, aku berjalan ke rumah keluarga Tatsuya dengan pikiran yang penuh. Bagaimana mungkin Rukia ada pelakunya? Aku tidak percaya. Aku kenal Rukia, ia adalah gadis yang selalu bertanggung jawab. Tapi jika kali ini Rukia tidak bertanggung jawab, hal tersebut benar-benar tidak dipercaya. Aku menghela napas panjang. Memikirkam semua ini, perasaanku pun bercampur aduk.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah keluarga Tatsuya ketika aku melihat ayahku sedang duduk di ruang tamu. Ayah melihatku dan... aku sudah tau apa yang akan terjadi. Ayah menghampiriku dan dengan senyumannya yang licik... PLAK! Ia menamparku dengan keras, sampai-sampai aku mau terjatuh. Michi, kakak ibuku terkejut melihat aku diperlakukan seperti itu.

"Hiruko! Hentikan! Apa-apaan ini?!" Michi menarik lengan ayahku.
"Diam kau, Michi! Apa urusanmu? Anak ini sudah bersikap kurang ajar dan tidak sopan pada orang tuanya sendiri. Apa kau tidak tau itu, Michi?!" Bentak ayahku dan membuat Michi menjaga jarak dengan ayah. Aku hanya diam dan masih memegangi pipiku yang terasa sakit.

"Sebagai ayah pun, ternyata kau juga harus menjaga omonganmu, Hiruko!" Bentak Michi. Sepertinya Michi membelaku.
"Michi-san, maaf. Biar aku saja yang mengurusnya."
"Nanase..."
"Sudahlah, tidak apa. Lagi pula ia adalah ayah kandungku sendiri." Kataku sambil tersenyum. Michi menghela napas lalu ia mengangguk pelan.

Aku kembali menghadap ke arah ayah. Seperti biasa, ia memasang senyumannya yang licik. Aku benar-benar tidak suka dengan ayahku sendiri. Selalu saja bertindak semaunya sendiri. Aku tau ayah adalah kepala keluarga. Tapi menjadi kepala keluarga, menurutku ayah kurang cocok dengan posisi itu. Aku menghela napas panjang dan menatap ke arah ayahku, aku menunggu ayahku untuk berbicara.

"Mau tidak mau, besok kau harus segera kembali ke Tokyo! Diberi kebebasan sedikit saja, kau masih bisa melawanku juga." Aku tetap diam dan ayah pergi keluar dari rumah keluarga Tatsuya. Sepertinya ia juga akan kembali ke Tokyo.

Michi mendekatiku dan menyentuh pundakku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Michi seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Shiori juga ada di situ dan ia mengulurkan tangannya lalu membawaku ke atap rumah, tempat di mana kami biasanya berbincang-bincang.

Malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang yang aku nanti-nantikan akhirnya keluar juga. Aku tersenyum ketika melihat ke arah langit. Tiba-tiba tangan Shiori yang kecil menggenggam tanganku. Aku menoleh dan mendapati gadis itu dengan raut wajah sedih. Ketika aku hendak bertanya, Shiori mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya di mulutku. Sepertinya Shiori mau bicara.

"Nanase, kenapa kau cepat sekali akan kembali ke Tokyo?" Tanya Shiori, ia tidak menatapku sama sekali.
"Maafkan aku. Semua itu keputusan ayahku. Aku tidak bisa melawan kehendaknya, ayahku memang seperti itu."
"Lalu, kenapa tidak kau berusaha menjelaskan apa yang kau inginkan?" Aku menggeleng pelan.
"Itu tidak mudah, Shiori. Aku akan didamprat habis-habisan jika aku berusaha menasehatinya." Suasana pun kembali hening. Namun, Shiori tetap tidak melepaskan genggamannya dari tanganku. Setelah melamun cukup lama, aku baru ingat kalau aku ada janji dengan Rai.

"Shiori, apa kau tau sekarang pukul berapa?" Tanyaku perlahan.
"Umm... sekarang sudah tengah malam, ada apa?" Aku membelalakan mata.
"Tengah malam?!"



bersambung....

Wednesday, February 17, 2010

The Story Part 32

Ruroya Rai


Saatnya bersiap-siap untuk festival musim panas! Aku tidak sabar, ingin cepat-cepat pergi ke sana. Saat ini, aku mengenakan yukata yang dipilihkan oleh Shoko. Sayangnya Shoko, Takato, dan Saki tidak ada di sini. Jadi, mereka tidak dapat melihatku mengenakan yukata indah ini. Tapi, apa Riku melihatku ya? Hei, Riku... apa kau melihatku menggunakan yukata ini? Bagaimana menurutmu, Riku? Apa cocok denganku? Aaa... Riku, aku merindukanmu!

"Kau terlihat cocok, Rai." Aku terkejut saat mendengar suara itu. Aku menoleh dan mendapati Riku sudah berdiri di belakangku. Aku tersenyum.
"Riku... hehe, ternyata kau memang memperhatikanku."
"Tentu saja aku selalu memperhatikanmu, Rai. Walaupun kau dan aku sudah berada di dunia yang berbeda, tapi aku selalu merasa terhubung denganmu, karena itu aku dapat terus memperhatikanmu." Kata Riku sambil tersenyum. Ia mendekatiku dan memelukku seperti biasa. Aku terkejut lagi.

"Kau menginginkannya kan? Aku akan mengabulkan keinginanmu, Rai." Kata Riku sambil membelai pelan rambutku. Aku benar-benar merindukan sentuhan Riku. Andai saja Riku masih ada di sini.
"Terima kasih, Riku." Bisikku pelan.

Beberapa lama kemudian. Riku menghilang dari hadapanku, melepaskan pelukannya. Aku menyentuh tanganku dan tersenyum. Senang rasanya bisa bertemu dengan Riku lagi.
"Nee-chan!! Nanase-kun sudah datang!" Lagi-lagi, Michiru mengejutkanku. Ia selalu saja masuk ke dalam kamar orang tanpa pernah mengatakan permisi atau mengetuk pintunya terlebih dahulu. Dengan cepat aku berjalan ke lantai bawah dan melihat Nanase yang hanya mengenakan pakaian biasa dengan celana panjang. Rambutnya pun ditata asal-asalan, benar-benar perlu diperbaiki.

Nanase tersenyum ketika melihatku datang. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Hei, Rai. Kau terlihat begitu cantik hari ini." Kata Nanase sambil tersenyum.
"Hehe... terima kasih. Bagaimana? Mau jalan sekarang?"
"Bukannya, kau ingin berangkat bersama-sama dengan keluargamu?"
"Tenang saja, kemarin aku sudah minta izin pada ayah dan ibuku. Ayo." Aku mengajak Nanase keluar rumah dan berjalan ke tempat festival.

Selama perjalanan, kami berdua tidak berbicara banyak. Nanase hanya bersiul-siul tidak jelas, sedangkan aku menunduk menatap ke arah tanah. Aargh, kenapa suasananya tidak enak seperti ini? Aku menghela napas panjang.

"Ada apa, Rai? Apa ada yang salah?" Akhirnya, Nanase berbicara juga! Setidaknya, tidak perlu berdiam-diam seperti ini.
"Tidak. Hanya saja, rasanya aneh dari tadi. Selama perjalanan diam saja. Hehe..." Kataku sambil tersenyum.
"Maaf... habisnya, aku bingung mau bicara apa." Kata Nanase sambil menggaruk-garuk kepalanya dan aku yakin pasti kepalanya tidak gatal sama sekali.
"Haha... kau ini. Hei, Nanase... apa kau merindukan Riku?" Aku bertanya pada Nanase sambil melihat ke arah langit. Untung saja acara festivalnya akan berlangsung beberapa saat lagi, jadi masih sempat untuk melihat kembang api.
"Tentu saja aku merindukannya. Ia adalah sahabatku yang paling baik." Aku mengangguk lalu menoleh ke arah Nanase sambil tersenyum.
"Ya, aku juga merindukannya..."

Nanase Sakigawa


Setibanya aku di tempat festival, aku menemani Rai ke mana pun ia pergi. Saat ia bermain memancing ikan, membeli gulali, atau membeli kudapan-kudapan yang manis, aku selalu mengikuti Rai. Haha... rasanya pun agak aneh. Kenapa aku seperti membuntuti Rai? Tapi tidak apa, selama aku bersama dengannya, aku akan merasa lebih tenang. Tiba-tiba aku teringat Riku, aku jadi merasa tidak enak pada Riku. Apa Riku mendengarkan kata-kataku waktu itu? Kenapa Riku belum menjawab juga? Aku menghela napas panjang.

"Nanase!! Heii!" Rai melambai-lambai ke arahku, sepertinya aku sudah tertinggal jauh dari Rai. Dengan cepat aku berlari ke arah Rai. Selama berada di festival tersebut, aku diajak oleh Rai pergi berbelanja dan mencoba beberapa permainan yang menarik yang ada disana. Aku sedikit merasakan kegembiraan hari ini.

Saat sedang asyik-asyiknya memilih-milih makanan, seseorang tiba-tiba menyentuh bahuku. Aku segera menoleh dan mendapati Shiori dengan Takara berdiri di belakangku sambil tersenyum.
"Oh... hei Shiori, Takara-san." Sapaku sambil tersenyum.
"Nanase! Hehe... bagaimana dengan Rai?" Tanya Shiori.
"Haha... baik-baik saja."
"Lalu... ada di mana Rai sekarang?" Aku segera menunjuk Rai yang sedang membeli beberapa kudapan di stand sebelah. Shiori pun mengangguk lalu berpamitan denganku karena ia masih mau melihat-lihat ke tempat lain bersama dengan Takara-san.

Selesai membeli makanan, aku dan Rai duduk-duduk di bawah pohon sambil menunggu pertunjukkan kembang api dimulai. Aku menoleh ke arah Rai dan melihat wajahnya yang begitu bahagia.
"Rai, kau terlihat gembira sekali hari ini?" Akhirnya aku berani bertanya karena dari tadi aku begitu penasaran.
"Hehe... aku senang dapat menghadiri festival ini denganmu dan sebelum berangkat tadi, aku sempat bertemu dengan Riku lagi." Kata Rai sambil tersenyum.
"Bertemu dengan Riku? Aku belum bertemu dengannya lagi. Padahal aku ingin sekali bertemu dengannya." Aku menundukkan kepalaku.
"Tunggu saja, Nanase. Aku yakin Riku akan menemui nanti. Riku pasti akan menemuimu. Tenang saja, Nanase, kau tidak perlu cemas." Aku menganggukkan kepala pelan.

Pertunjukkan kembang api pun dimulai. Di langit yang gelap, kembang api itu diluncurkan dan membentuk bentuk-bentuk yang indah. Ada yang berbentuk kupu-kupu, bunga, dan lain-lain. Aku tersenyum saat melihat pertunjukkan tersebut. Ternyata memang tidak salah aku datang ke festival ini bersama dengan Rai.

Setelah pertunjukkan tersebut selesai, tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat ke arah layar dan nama Nonoru tertera di layar tersebut. Ada apa Nonoru menghubungiku? Tumben sekali.
"Ya?"
"Nanase!" Panggil Nonoru dari seberang sana.
"Ada apa, Nonoru?"
"Tadi aku baru saja mendapat kabar, siapa pelaku yang menabrak temanmu waktu itu." Aku terkejut mendengar berita dari Nonoru. Karena terkejut aku sampai tersedak makananku sendiri.
"Uhuk... uhuk! Siapa?"
"Hmm... tunggu... aku lupa, sepertinya pelakunya adalah seorang wanita muda. Namanya..."
"Siapa namanya, Nonoru?" Aku pun tidak sabar ingin mengetahui nama pelaku yang sudah menabrak Riku dan tidak mau bertanggung jawab itu.
"Namanya... Hanase Rukia."

Aku membelalakan mataku saat mendengar nama Rukia disebut oleh Nonoru, kakak laki-lakiku. Aku tidak percaya, mana mungkin Rukia pelakunya? Tidak mungkin...




bersambung....

The Story Part 31

Ruroya Rai


"Nee-chan!! Bangun!!"

Dipagi hari yang cerah, seharusnya aku bangun dengan perasaan damai. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Adikku, Michiru sudah mengguncang-guncang tubuhku dan membuatku merasa jengkel. Dasar Michiru tidak tau diri.

"Michi! Hentikan!! Aku masih mengantuk!" Kataku sambil mengambil selimut dan bersembunyi di bawahnya. Michiru mendecakkan lidah lalu menarik selimutku jauh-jauh.
"Aaaaah!!!! MICHI!!!!!" Sial, apa-apaan ini? Aku beranjak dari tempat tidurku dan mengejar Michiru yang sudah melarikan diri terlebih dahulu.

Aku tiba di lantai bawah dan melihat ke seluruh ruangan. Ke mana adikku itu pergi? Sial! Pagi-pagi sudah mencari masalah denganku! Aku menghentakkan kakiku dengan keras dan kesal.

"Michi, aku tau kau ada di sana. Jika kau tidak mau keluar, lihat saja ya, akan aku ambil Moe-chan mu!" Moe-chan adalah boneka beruang kesayangan Michiru. Michiru tidak suka jika orang lain mengambil Moe-channya dan Michiru pun tidak bisa terpisahkan dari Moe-chan. Setelah aku mengatakan hal tersebut, aku mendengar suara yang tergesah-gesah. Akhirnya Michiru keluar juga dari tempat persembunyiannya.

"Nee-chan! Jaaangaaan!!! Maafkan aku, nee-chan!" Michiru langsung berteriak-teriak tidak jelas, padahal aku sama sekali belum mengambil Moe-channya.
"Hei, Michi! Lihat tanganku, aku belum mengambilnya. Jika kau tidak mau diperlakukan seperti itu, lain kali kalau mau membangunkanku, sebaiknya kau lebih berhati-hati."
"Hehe... maaf, nee-chan! Baiklah, aku akan berhati-hati, hehe!"

Aku menghela napas panjang melihat tingkah laku adikku yang aneh. Matahari pagi sudah berhasil masuk ke dalam rumahku. Aku melangkah ke arah pintu dan membukanya perlahan. Udara di luar masih terasa sejuk walaupun sekarang sudah memasuki musim panas. Ya, nanti malam festival musim panas akan segera dimulai. Aku tersenyum, di dalam benakku rasanya aku ingin cepat-cepat mengenakan yukata tersebut.

Riku, perhatikan aku terus ya sampai nanti saat festival musim panas. Kau akan melihatku memakai yukata yang indah. Hehe... aku harap kau bahagia di sana, Riku. Setelah itu, aku pergi ke kamar dan segera mandi untuk menyambut musim panas.

Aku pamit pada ayah dan ibuku untuk pergi ke taman di dekat rumahku. Aku ingin merasakan keindahan taman di Sapporo. Mencoba untuk mengingat-ingat tentang ingatan masa kecilku. Aku harap aku dapat mengingat semuanya.

Nanase Sakigawa


Selama seminggu sudah aku tinggal di Sapporo. Hari ini aku juga akan menghadiri festival musim panas di Sapporo bersama dengan keluarga Tatsuya. Saat ini, aku sedang membantu Shiori mencoba yukatanya lagi. Repotnya, aku harus selalu menilai bagaimana penampilan Shiori. Saudaraku yang satu ini memang tidak suka memiliki penampilan buruk, karena itulah ia selalu bertanya pada setiap orang bagaimana penampilannya terlihat.

Sambil menunggu Shiori mengganti pakaiannya, aku melihat ke arah jendela seperti biasa. Hari ini udara terasa begitu panas, matahari terus menembakkan cahayanya ke daerah ini. Aku mengibas-ngibaskan tanganku karena aku mulai kepanasan.

"Shiori! Sudah belum?" Aku langsung berteriak memanggil Shiori karena menurutku, ia lama sekali dan aku sudah mulai kepanasan di dalam ruangan ini.
"Sebentar!! Sedikit lagi!" Kata Shiori dari balik bilik tempat untuk berganti pakaian.
"Aaargh! Aku sudah matang di sini. Cepatlah, Shiori." Aku masih mengibas-ngibaskan tanganku karena aku sudah merasa matang-mungkin agak aneh-berada di dalam ruangan ini.

Puji Tuhan. Akhirnya Shiori keluar juga dari tempat tersebut. Shiori keluar dengan menggunakan yukata yang waktu itu aku pilihkan untuknya. Ia tersenyum manis ke arahku, entah mengapa tiba-tiba aku merasa jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Shiori... saat ini Shiori terlihat begitu cantik. Cepat-cepat aku memalingkan wajahku dan menatap ke arah jendela lagi. Takut wajah yang mulai memerah ini dilihat oleh Shiori.

"Hei, lihat sini, Nanase! Bagaimana menurutmu?" Tanya Shiori sambil berputar-putar.
"Umm... bagus. Hehe... sangat cocok dengan tubuhmu. Seperti yang waktu itu aku katakan." Aku masih memalingkan wajahku dari Shiori.
"Nanase, lihat ke arah sini! Aku di depanmu, bukan di sampingmu, jadi jangan melihat ke arah jendela." Shiori menyentuh daguku dan... tidak! Shiori akan melihat wajahku yang merah padam. Cepat-cepat aku memejamkan mata agar aku tidak perlu menatap Shiori. Shiori melepaskan sentuhannya lalu mendecakkan lidah.
"Nanase, kau kenapa sih? Aku tau kenapa kau bertingkah laku seperti itu, sudahlah ayo berikan komentar. Buka matamu, Nanase." Dengan perlahan aku membuka mataku, ya... Shiori memang terlihat cantik. Hei, Nanase! Ingat, Shiori adalah saudaramu dan Shiori juga sudah punya pacar.

Aku menghela napas dan menatap ke arah Shiori. Sepertinya ia masih menunggu komentar dariku. Aku tersenyum dan melupakan hal-hal bodoh tadi.
"Haha... kau terlihat cantik, Shiori. Kau cocok menggunakan yukata yang aku pilihkan." Shiori pun tersipu malu.
"Hehe... terima kasih, Nanase. Aku jadi tidak sabar untuk menunggu nanti malam." Kata Shiori sambil berjingkrak-jingkrak.
"Shiori, memangnya kau akan mengajak Takara-san ke sini?" Junoichi Takara adalah nama pacar Shiori. Biasanya dipanggil Takara. Waktu itu aku sempat melihatnya saat Shiori mengundang Takara ke rumahnya. Aku memang belum banyak bicara dengannya, tapi kelihatannya Takara adalah laki-laki yang baik hati.

"Tentu saja, Nanase. Hehe... kau pikir, aku akan pergi ke festival sendirian? Aku akan pergi bersama Takara." Kata Shiori sambil tersenyum.
"Lalu... kau akan meninggalkanku begitu saja? Hehe... baiklah kalau begitu." Aku sedikit kecewa.
"Aaah! Bukan seperti itu, tentu saja kau boleh bersamaku. Tapi, bukankah kau akan pergi bersama Rai?" Tanya Shiori dan terbersitlah ide tersebut di pikiranku. Dengan cepat aku mengambil ponselku yang berada di saku celanaku. Shiori pun tertawa.
"Haha... Nanase, apakah aku baru saja memberikan ide?" Dan aku mengangguk sambil tersenyum disambut dengan suara tawa Shiori lagi. Dengan cepat aku menuliskan pesan singkat untuk Rai.

To: Rai, Ruroya
Rai, apa kabar? Lama tidak berbincang-bincang. Hei, apa kau jadi datang ke acara festival nanti? Pasti datang kan? Apa kau mau pergi bersamaku nanti? Aku tunggu jawabanmu ya, Rai.


Setelah itu aku mengembalikan ponselku ke tempat asal. Shiori masih melihatku dengan tatapan jahilnya.  Aku tau, sebentar lagi tindakan jahil Shiori akan keluar. Kenapa semua itu harus terjadi? Tiba-tiba ponselku bergetar. Cepat-cepat aku melihat ponselku, ternyata ada 1 pesan masuk. Aku tersenyum dan berjalan mondar-mandir di ruangan yang masih panas itu.

From: Rai, Ruroya
Hei, Nanase! Aku baik-baik saja. Tentu saja aku datang ke festival, aku ingin sekali pergi ke festival itu. Hmm... aku mau pergi bersama denganmu. Tapi, aku juga harus bersama dengan keluargaku, jadi bagaimana?


To: Rai, Ruroya
Tidak apa. Lagi pula aku kenal baik dengan keluargamu. Baiklah, akan aku jemput nanti pukul 7. Tunggu aku ya, Rai :)


Aku tersenyum lega karena akhirnya Rai mau juga pergi denganku nanti. Jadi, aku tidak perlu menjadi pengganggu di antara 2 insan yang sedang menjalin kasih. Ya, Shiori dan Takara-san.
"Jadi?" Tanya Shiori membuyarkan lamunanku. Aku hanya memberikan tanda ibu jariku sambil melukiskan senyuman yang sangat amat lebar di wajahku. Senangnya...


bersambung....

Tuesday, February 16, 2010

The Story Part 30

Ruroya Rai


Sebentar lagi festival musim panas di Sapporo akan segera tiba. Aku tidak sabar ingin cepat-cepat datang ke acara festival musim panas. Di dalam kamar, aku terus mencoba-coba yukata yang waktu itu dipilihkan oleh Shoko. Oh ya, aku jadi merindukan teman-temanku yang ada di tempat kos di Tokyo. Sudah beberapa bulan kami tidak berbicara, karena waktu di tempat kos, aku selalu mengurung diri di kamar dan tidak mau keluar sama sekali. Lalu, saat aku hendak pergi ke Sapporo, aku juga tidak bilang apa-apa pada mereka. Ya, aku memang sudah membuat mereka khawatir.

Aku meraih ponselku yang aku letakkan di meja riasku. Aku mencari-cari nomor tempat kos dan langsung menekan tombol untuk menghubungi tempat kos itu. Terdengar beberapa nada sambung.
"Ya?" Sapa seseorang di sana.
"Saki? Shoko? Takato?" Aku langsung menyambar dengan seenaknya.
"Rai? Astaga!! Shokooo... Takato...!!!" Ternyata Saki yang menjawab panggilan tersebut dan ia langsung memanggil Shoko serta Takato.
"Astaga, Rai! Kau ke mana saja?" Tanya Saki lalu terdengarlah suara yang berisik dari seberang sana.
"RUROYA RAISHIRU!! Kau harus menjelaskan semuanya kepadaku!" Itu suara Shoko, ya aku mengenali suara Shoko yang begitu khas. Tapi aku tidak mendengar suara Takato sama sekali.
"Haha... oh ya, Takato di mana?" Tanyaku dan suasana pun hening seketika.
"RAII!! Aaargh!! Aku merindukanmu, aku merindukan Nanase juga! Kalian berdua ke mana saja? Aku tau Nanase pergi ke Sapporo, tapi kau pergi ke mana, Rai?" Akhirnya suara Takato terdengar juga. Aku tersenyum ketika mendengar semua orang mengkhawatirkanku. Tapi ada perasaan bersalah juga.

Aku menghela napas.
"Oke, akan aku jawab satu-persatu. Untuk Saki dan Takato karena memiliki pertanyaan yang sama, saat ini aku sedang berada di Sapporo. Untuk Shoko, aku akan menjelaskan semuanya Shoko, tenang saja. Baiklah, sekarang untuk kalian bertiga, aku akan berada di Sapporo sampai festival musim panas di Sapporo berakhir lalu aku akan kembali ke Tokyo. Jadi, tenang saja, aku tidak mungkin keluar dari kos itu tanpa mengatakan apa-apa pada kalian." Kataku sambil tersenyum.
"Jadi, kau tidak merayakan festival musim panas di Tokyo?" Tanya Saki, terdengar kecewa.
"Maafkan aku, Saki dan yang lainnya. Aku ingin merayakannya dengan keluargaku juga. Keluargaku ada di Sapporo. Hmm... sudah dulu ya, aku masih harus melakukan sesuatu. Hehe... sampai nanti teman-teman!"

Sebelum memutuskan sambungan, Saki, Shoko, dan Takato berlomba-lomba untuk mengatakan "Aku merindukanmu, Rai!" Tapi setelah itu perang di antara mereka pun berakhir. Aku tersenyum lega ketika meletakkan ponselku kembali di atas meja rias. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Lumayan. Aku cukup menyukai yukata yang dipilihkan oleh Shoko.

Saat aku hendak bergerak, tanpa sengaja aku menjatuhkan sesuatu dari meja. Aku menoleh dan melihat hadiah yang diberikan Riku sudah tergeletak di lantai. Sebelum-sebelumnya aku memang belum membuka isi hadiah tersebut. Aku mengambilnya dan melihatnya dengan seksama. Riku memberiku sebuah cincin yang indah. Aku tersenyum dan langsung mengenakan cincin tersebut.

Aku menatap cincin tersebut seharian sambil tersenyum. Riku, aku senang kau memberikan hadiah seperti ini. Tapi yang aku butuhkan saat ini hanyalah dirimu, Riku. Aku ingin kau tersenyum untukku, memelukku, dan menghiburku sepanjang hari. Bisakah aku merasakan seperti itu suatu saat? Aku menunggu jawabanmu, Riku...

Nanase Sakigawa


"Sudahlah, ayah! Kenapa kau harus memaksaku terus menerus?"

Seperti biasa, ayahku memaksaku untuk pulang. Ia meneleponku secara tiba-tiba, disaat aku sedang berbincang-bincang dengan keluarga Tatsuya.
"Ayah tidak peduli. Kau harus segera kembali ke Tokyo! Apa urusanmu di sana, Nanase? Kau hanya merepotkan keluarga tak berguna itu!" Rasanya kekesalanku pun sudah sampai di ujung tanduk.
"Keluarga ini juga keluargamu, ayah! Kau tidak pernah menghargai keluargamu sendiri yang berasal dari kalangan bawah. Kenapa kau begitu kejam, ayah?" Karena aku kesal, aku tidak bisa menghentikan kata-kataku.
"Nanase!! Apa katamu?! Baiklah, apa boleh buat, aku akan segera ke Sapporo dan lihat saja nanti Nanase!"

Sambungan pun terputus. Aku yakin ketika ayahku tiba di Sapporo, aku akan didamprat habis-habisan. Ya, aku memang tidak pernah bisa menghindar dari ayahku. Ayahku memang kejam, itu bisa diakui. Chou, pelayan di rumah yang sekarang menjadi sahabat dekatku pun sering diperlakukan dengan tidak baik oleh ayahku. Aku menghela napas panjang dan berjalan ke arah jendela. Bulan sudah bersinar di atas langit. Ketika melihat bulan, tiba-tiba aku mengingat seseorang. Entah mengapa aku ingin bertemu dengannya saat ini. Tapi, aku tidak punya keyakinan akan mendapatkannya suatu saat.

Aku keluar menuju atap rumah keluarga Tatsuya. Di atas atap, aku duduk sendirian. Melihat ke arah bulan sambil memain-mainkan flap ponselku. Tiba-tiba aku jadi teringat akan Shoko. Aku ingin tau bagaimana perkembangannya dengan sang mantan. Dengan cepat aku mencari nama Shoko di ponselku.

"Moshimoshi." Sapa Shoko dari seberang sana.
"Shoko! Haii!" Aku menyapa Shoko sambil menyunggingkan senyuman di wajahku.
"Nanase? Aaa!! Aku merindukanmu, Nanase!" Teriak Shoko dari seberang sana.
"Aku juga, Shoko. Hehe... oh ya, Shoko... ada yang ingin aku tanyakan."
"Apa yang ingin kau tanyakan, Nanase?"
"Tentang Akita..." Terasa jeda beberapa saat.
"Akita... ada apa memangnya?"
"Aku hanya ingin bertanya bagaimana hubungan kalian selanjutnya?" Tanyaku dengan begitu hati-hati.
"Sepertinya sudah tidak ada harapan. Aku juga tidak pernah mendapat kabarnya darinya lagi."

Aku mendengar Shoko menghela napas berkali-kali. Sepertinya Shoko sendiri pun sudah begitu lelah diperlakukan tidak baik oleh Akita. Lama-kelamaan aku jadi perasaan dengan Akita. Aku ingin melihatnya dan bertanya lebih banyak padanya.

Semalaman itu aku pun berbincang-bincang dengan Shoko mengenai Akita. Setidaknya aku tidak perlu melamun di dalam kamar terus-menerus, kan'?



bersambung....

The Story Part 29

Ruroya Rai


Nanase mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Aku senang bisa kembali ke rumah orang tuaku. Setibanya di dalam rumah, aku disambut oleh ayah dan ibuku serta... Michiru? Kenapa ia ada di sini? Bukannya Michiru ada di Tokyo? Aku terkejut dengan kedatangan Michiru, adik perempuanku.

"Michi? Kau... bagaimana bisa?" Tanyaku sambil menunjuk-nunjuk Michiru.
"Taadaa! Kejutan! Hehe... aku sengaja kembali ke Sapporo untuk mengejutkan nee-chan!" Kata Michiru sambil tersenyum.
"Nyonya Ruroya dan Tuan Ruroya, saya permisi terlebih dahulu." Kata Nanase sambil mengucapkan salam pamit.
"Sakigawa-kun, tunggu sebentar!" Tiba-tiba ibuku berjalan ke arah Nanase dan mereka langsung melakukan perbincangan yang serius. Setelah itu Nanase pulang meninggalkan rumahku.

Aku menghela napas sambil melihat mobil Nanase yang semakin menjauh dari penglihatanku.
"Rai, apa kau benar-benar tidak mengingat siaa itu Sakigawa-kun?" Tanya ibuku yang tiba-tiba datang menghampiriku. Aku menggeleng pelan. Lalu aku menoleh dan melihat raut wajah ibu yang terlihat begitu kecewa. Aku berpikir pada diriku sendiri, sebegitu pentingnyakah Nanase untuk ibuku?
"Maafkan aku, bu. Karena kecelakaan waktu itu, kepalaku terbentur sesuatu sehingga ingatan masa kecilku dulu hilang seketika. Tapi, bukankah kata dokter, ingatanku akan kembali secara perlahan-lahan? Ibu tidak perlu khawatir."
"Bukannya seperti itu. Ibu merasa, Sakigawa-kun terlihat begitu terpukul karena kau tidak bisa mengingatnya sama sekali."
"Memangnya, hubungan apa yang aku jalin dengan Nanase, bu?"

Ibuku pun mengajakku masuk ke dalam dan duduk di salah satu matras di ruang tamu. Michiru datang dan menyiapkan 3 gelas ocha dingin. Aku menunggu ibu untuk melanjutkan pembicaraannya dengan meneguk ocha dingin yang dibawa oleh Michiru tadi.

"Kau dengan Sakigawa-kun... kalian berdua waktu masih kecil... seperti tidak terpisahkan..." Ibuku memain-mainkan sisi gelas, lalu menghela napas.
"Tapi, waktu itu Sakigawa-kun harus pindah ke Tokyo dan ibu ingat, kau begitu sedih ketika tau Sakigawa-kun akan pindah..."
"Sebut saja Nanase, ibu." Aku memotong kata-kata ibuku sambil tersenyum. Entah mengapa jika ibu tidak menyebut nama Nanase, rasanya ada yang aneh.
"Umm... baiklah. Ketika kau beranjak dewasa pun, kau masih begitu depresi ingin bertemu dengan Nanase. Karena itu kau memutuskan untuk pergi ke Tokyo dan mencari pendidikan di sana. Tapi, tiba-tiba saat kau sudah tinggal di Tokyo, temanmu Riku... memberitahukan kepada ibu bahwa kau mengalami kecelakaan... itulah yang menyakitkan." Aku pun terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata selama ini hubunganku dengan Nanase seperti ini. Tapi aku masih belum bisa mengingat apa-apa, jadi semua yang ibuku ceritakan juga aku tidak begitu mengerti.

Aku menghela napas sambil menatap gelasku yang sudah kosong. Pikiranku pun kosong. Mungkin yang ibuku bilang, aku jatuh cinta pada Nanase pada awalnya. Tapi saat ini, aku hanya mencintai satu orang dan aku belum bisa melepaskannya. Ya, tentu saja Riku. Ia lah cinta pertamaku di kehidupanku yang sekarang. Mungkin ibuku bisa bilang, Nanase lah cinta pertamaku, tapi hatiku mengatakan hanya Riku yang menjadi cinta pertamaku.

"Rai, ibu minta maaf atas kejadian yang telah menimpa Riku." Aku menatap ke arah ibuku.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang sudah diatur semua ini." Kataku sambil tersenyum.
"Rai..." Panggil ibuku lagi.
"Ya, ibu?"
"Kau... kau mulai dewasa." Ibuku mengulaskan senyuman di wajahnya.

Nanase Sakigawa


Dalam perjalanan menuju rumah Shiori, di tengah jalan aku menghentikan mobilku-sebenarnya aku pinjam dari keluarga Tatsuya-di sebuah tempat. Tempat ini memiliki banyak pepohonan yang rindang. Aku tidak keluar dari mobil, hanya menatap keluar. Melamun dengan pikiran kosong. Aku bersender pada setir mobil dan menghela napas.

Saat ini, aku benar-benar merindukannya. Sial! Kenapa selama Riku masih ada di sini, aku dapat melupakannya dengan begitu mudah? Tapi, sekarang Riku telah tiada, tidak ada di sampingku maupun di sampingnya dan sekarang aku berpikiran untuk merebutnya. Apa mungkin kau mengizinkannya, Riku? Aku mendongak dan melihat ke arah pohon yang indah itu. Di sana, aku melihat seseorang mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya pun seperti wajah... Riku? Aku terkejut ketika melihat hal seperti itu.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku turun dari mobil dan berjalan ke arah pohon tersebut dengan perlahan. Tapi, ketika aku sampai di depan pohon itu, sosok Riku tidak kelihatan lagi. Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal. Ke mana Riku pergi?

"Nanase!" Aku mendengar suara Riku. Tapi aku tidak menemukan sosoknya sama sekali.
"Riku? Riku!!! Di mana kau? Ayo perlihatkan dirimu!" Aku berteriak di bawah pohon tersebut.
"Hei, Nanase!" Riku pun akhirnya muncul di depanku. Aku tersenyum senang saat melihat kehadiran Riku di depanku.
"Riku, aargh!! Sial! Aku merindukanmu, teman!" Aku mendekati Riku.
"Haha... ada apa, Nanase? Setiap hari kerjaanmu hanya memanggilku."
"Jika kau tau kau dipanggil olehku, kenapa tidak muncul juga di hadapanku?" Tanyaku sambil tersenyum ke arah Riku.
"Sebetulnya, aku selalu ada di dekatmu, Nanase. Hanya saja kau seperti tidak merasakannya dan kau tidak percaya jika aku memang sebenarnya masih ada di dunia ini."
"Tidak percaya?"
"Ya... waktu itu, apa kau ingat, Rai pernah bercerita bahwa ia bertemu denganku kan'? Saat Rai mengatakan itu, kau tidak percaya dengan kata-kata Rai, karena itulah aku tidak bisa dilihat olehmu." Kata Riku menjelaskan semuanya. Aku hanya mengangguk-angguk.

Aku langsung duduk di bawah pohon, menengadah ke langit dan menatap awan-awan yang bergerak karena ditiup angin.
"Riku..." Aku menoleh dan tiba-tiba Riku sudah tidak ada. Sial, lagi-lagi Riku menghilang. Kenapa, disaat aku akan mengatakan sesuatu, ia pergi begitu saja? Aku menghela napas.
"Nanase, temanku yang terbaik... jangan lupa jaga Rai baik-baik ya! Hehe... sampai nanti!" Aku terkejut ketika mendengar suara Riku, tapi seperti biasa sosoknya pun tidak muncul. Mungkin Riku memang sudah pergi. Aku pun beranjak dan kembali berjalan ke arah mobilku. Sebelum aku masuk ke dalam mobil, aku menoleh dan menatap pohon tersebut sekali lagi. Aku akan mengingat tempat ini, tempat di mana aku bertemu dengan Riku.

Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, Shiori langsung menghampiriku. Dengan senyuman di wajahnya seperti biasa, ia memberikanku sesuatu.
"Nanase, aku tidak tau ini dari siapa, tapi di sini tertulis untuk mu." Kata Shiori sambil memberikan sebuah surat. Aku mengernyitkan mataku dan mengambil surat tersebut dari tangan Shiori.
"Siapa yang mengirimi aku surat? Kenapa tidak mengirim pesan lewat ponsel saja?" Aku bergumam sendiri sambil membuka surat tersebut.

Untuk Nanase, sahabatku...
Hei, Nanase! Kau tau, walaupun aku sudah tidak benar-benar nyata di dunia ini, aku masih bisa mengirim surat. Sunggu menyenangkan! Haha... maaf tadi aku meninggalkanmu tiba-tiba, entah mengapa aku juga harus pergi ke suatu tempat. Tapi, ingat pesanku tadi ya, jagalah Rai baik-baik. Aku tidak ingin ia kenapa-napa lagi, apalagi sejak aku tidak ada, tingkah lakunya semakin aneh... Oh ya, Nanase. Jika ada waktu, mungkin aku akan mengirimu surat lagi dan suratnya akan berisi tentang semua yang ingin aku bicarakan denganmu. Ngomong-ngomong, jangan marah-marah karena orang tidak mengirimu pesan ke ponselmu ya. Hehe... sampai nanti, Nanase! :)
Rikugan Sakurai

Aku tersenyum saat membaca surat tersebut. Shiori yang melihat ke arah surat tersebut bingung.
"Nanase... kau sedang membaca apa?" Tanya Shiori.
"Tentu saja surat, Shiori. Memangnya kau tidak lihat apa?" Shiori menatapku sambil mengernitkan dahinya.
"Yang aku lihat hanyalah kertas putih, Nanase."
"Kertas putih?" 
"Iya! Arrgh! Hari ini semuanya aneh! Ibu aneh, ayah aneh, dan kau Nanase, saudaraku juga aneh. Huuu... ada apa dengan semua orang hari ini?" Shiori pun merasa jengkel dan berjalan meninggalkanku menuju kamarnya sendiri.

Aku tidak bisa menahan tawa saat melihat Shiori bertingkah laku seperti itu. Tapi, kenapa Shiori tidak bisa melihat ada tulisan di kertas ini? Ya, itu memang aneh tapi... terima kasih, Riku atas... surat yang kau berikan.



bersambung...

Monday, February 15, 2010

The Story Part 28

Ruroya Rai


"Ibu, aku ingin kembali ke Sapporo."

Saat ini aku sedang berbicara dengan ibuku melalui ponselku. Aku ingin sekali kembali ke Sapporo, bertemu dengan keluargaku.
"Rai, kenapa? Lalu, Michiru mau kau tinggal di Tokyo sendirian?" Tanya ibuku dari seberang sana. Aku memanyunkan bibirku sambil memainkan ujung pakaianku.
"Aduh... ibu tidak mengerti. Keadaanku di sini jauh dari baik-baik saja. Aku sedang mengalami depresi berat. Ibu ingat Riku?"
"Tentu saja ibu ingat. Ibu merindukannya, Rai." Kata-kata ibuku saat ini sama seperti kata-kata yang biasanya aku ucapkan.
"Aku juga merindukannya, bu. Tapi, Riku telah tiada."
"Apa? Astaga, maafkan ibu. Aduh... Rai, maafkan ibu!" Ibuku pun langsung merasa bersalah.
"Tidak apa. Boleh ya, bu? Aku juga merindukan keluarga ku di sana. Michiru pasti bisa menjaga dirinya sendiri, aku yakin. Ia kan' adikku yang paling kuat, jadi aku yakin Michiru pasti bisa bertahan sendiri." Kataku sambil tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu. Kapan kau akan pergi ke Sapporo?"
"Mungkin besok, hari ini aku mau pergi membeli barang-barang yang aku butuhkan."
"Tidak perlu repot-repot, Rai."
"Tidak merepotkan kok, bu. Baiklah, sampai nanti!"

Setelah menelepon, aku segera mangambil mantelku dan keluar dari kos diam-diam. Aku memang tidak ingin bertemu dengan Shoko, Takato, maupun Saki. Karena aku tidak ingin mereka bertanya macam-macam padaku. Aku berjalan menuju Shibuya untuk membeli beberapa barang untuk ibuku. Biasanya aku akan membelikan ibuku yukata untuk dikenakan saat musim panas nanti. Aku ingin merayakan festival musim panas di Sapporo bersama dengan keluargaku. Ketika sedang asyik-asyiknya memilih yukata yang bagus, ponselku berdering. Ternyata ada 1 pesan masuk.

From: Sakigawa, Nanase
Rai, aku akan kembali ke Tokyo ketika festival musim panas di Sapporo berakhir. Tidak apa kan'? Maaf aku tidak bisa merayakan festival musim panas di Tokyo.


To: Sakigawa, Nanase
Tidak apa. Aku juga akan pergi ke Sapporo. Keluargaku kan' ada di sana. Aku akan merayakan festival musim panas bersama dengan keluargaku. :)


From: Sakigawa, Nanase
Benarkah? Baiklah kalau begitu. Sampai nanti, Rai.


Aku tersenyum saat melihat pesan yang terakhir. Aku memasukkan ponselku ke dalam tas dan melanjutkan kegiatan memilih-milih yukata yang indah. Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku langsung kembali ke tempat kos.

Hari-hari memang terasa sangat sepi jika tidak ada Riku yang menemaniku saat ini. Aku menghela napas panjang dan menengadah ke langit. Untungnya langit sudah kembali ceria, tidak berwarna abu-abu lagi dan sang matahari yang aku tunggu-tunggu pun sudah muncul. Aku tersenyum dan akhirnya aku bisa menghilangkan beberapa beban kesedihanku.

Nanase Sakigawa


Hari ini aku menemani Shiori berbelanja di sebuah butik terkenal. Shiori ingin mencari yukata untuk dikenakan saat festival musim panas nanti. Aku membantu memlihkan beberapa yukata yang lucu untuk Shiori. Ada beberapa macam yukata yang memiliki gambar-gambar yang unik dan lucu. Aku memlihkan Shiori yukata yang berwarna merah muda dengan gambar bangau putih di kainnya.

"Bagaimana dengan yang ini?" Tanyaku sambil mengangkat yukata tersebut.
"Apa kau yakin dengan pilihanmu ini, Nanase?" Shiori balik bertanya padaku.
"Astaga, kau yang ingin membelinya, kenapa kau balik bertanya padaku? Kau mau atau tidak? Aku hanya menawari yang ini, karena aku lihat yukata ini akan cocok dengan bentuk tubuhmu." Kataku sambil tersenyum. Shiori pun mengangguk dan akhirnya Shiori mengambil yukata yang tadi aku pilihkan untuknya.

Keesokan harinya, aku menunggu seseorang di stasiun Sapporo. Sesekali aku menatap jam tanganku. Lama sekali shinkansen itu. Beberapa menit kemudian, shinkansen yang berasal dari Tokyo tiba juga di stasiun Sapporo. Aku menyunggingkan senyuman ketika mengetahui hal tersebut. Dilihatnya dari kejauhan, seorang gadis bertubuh ramping dan memiliki rambut hitam pekat yang terurai. Tidak salah lagi, itu Rai. Aku melambai ke arah Rai dan Rai dengan cepat menghampiriku.

"Sudah lama ya, Nanase?" Tanya Rai ketika bertemu denganku. Aku mengangguk dan memasang tampang kecewa.
"Haha... Nanase, tampangmu itu lucu sekali. Ayo, antarkan aku ke rumah keluargaku. Apa kau tau rumah keluargaku?"
"Tentu saja tau. Waktu kecil aku sering bermain ke rumahmu tau!"
"Oh ya? Haha... maaf, aku tidak ingat apa-apa. Ayo..."
"Haha... tidak apa."

Hebatnya, hari ini aku bisa tertawa lepas saat bertemu dengan Rai. Mungkin aku memang harus dekat dengan Rai. Walaupun Riku telah tiada, aku tetap tidak bisa melupakan Rai. Aku masih menyukainya. Maafkan aku Riku. Tapi, apa aku boleh mendekati Rai sekali lagi? Aku butuh jawabanmu, Riku.



bersambung...

The Story Part 27

Ruroya Rai


Berminggu-minggu sudah aku tidak pergi ke Gakurai. Selama ini aku hanya mengurung diri di dalam kamar, tidak mau keluar sama sekali. Shoko dan yang lainnya sangat mengkhawatirkanku tapi aku seperti tidak menghargai mereka. Aku terus menatap surat yang diberikan Riku pada hari kematiannya. Yang paling menyakitkan adalah Riku pergi sebelum hari ulang tahunku. Aku telah ditinggal oleh orang yang sangat aku cintai.

Entah kenapa, padahal sebentar lagi musim panas akan segera tiba, tapi cuaca masih terus menurunkan hujan. Aku menatap jendela kamarku yang penuh dengan bercak-bercak air. Aku menyentuh kacanya dan menatap keluar. Saat ini, aku benar-benar mengharapkan kedatangan Riku. Aku melamun menatap ke arah luar jendela, tiba-tiba aku seperti melihat sosok Riku yang sedang berdiri di tengah rintik hujan.

Aku terkejut dan segera beranjak dari tempat tidur, mengambil mantelku, dan berlari keluar. Setibanya di luar, aku tidak melihat sosok Riku. Aku menghela napas. Ya, tentu saja Riku tidak ada, ia kan' sudah pergi ke alam sana, pikirku kecewa. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah taman dan duduk di salah satu ayunan, tidak peduli jika celanaku basah.

Aku melamun lagi sambil menggoyang-goyangkan ayunan.
"Hei, gadis bodoh!" Aku terkejut saat mendengar suara itu, aku mengenal suara itu. Itu... astaga, itu suara Riku!
"Ri-Riku? Ka-Kau ada di mana?"Aku beranjak dari ayunan dan mencari-cari sosok Riku.
"Aku di sini, bersamamu..." Setelah Riku berbicara seperti itu, aku dapat melihat sosok Riku yang mengenakan pakaian serba putih. Aku tersenyum ketika melihat Riku, tapi senyuman itu tiba-tiba redup seketika.

Aku mendekati Riku. Walaupun riku hanya tinggal arwah, tapi ia tetap seperti Riku yang dulu.
"Riku... kenapa kau pergi begitu cepat?" Tanyaku.
"Aku sendiri juga tidak tau, Rai. Saat aku hendak menyeberang tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju dengan begitu cepat dan aku tidak sempat menghindar." Kata Riku sambil menunduk.
"Apa kau tau siapa pelakunya?" Riku menggelang pelan dan meningkatlah rasa kekesalanku. Ternyata setelah aku tau dari Riku, pelakunya melarikan diri begitu saja dan tidak bertanggung jawab.

Karena aku kesal, aku hampir meremas ponsel yang diberikan Nanase. Riku pun bingung, dengan cepat ia menggenggam tanganku. Aku tidak percaya, Riku dapat menyentuhku. Tanpa ragu-ragu, aku mencoba untuk memeluk Riku, tapi tetap tidak bisa.

"Hanya aku yang bisa melakukannya, Rai. Kau tidak bisa menyentuhku sama sekali. Maafkan aku, Rai."
"Kalau begitu, sekarang peluklah aku. Aku merindukanmu, Riku." Riku pun mengangguk dan memelukku dnegan lembut. Aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.
"Riku, jangan lepaskan aku sampai aku katakn nanti..."
"Baiklah..."

Nanase Sakigawa


Berjalan di daerah pedesaan memang selalu membuat hati lebih tenang. Seperti biasa, aku berjalan bersama dengan Shiori. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku tidak bisa tersenyum. Aku selalu saja mengingat tentang Riku. Kejadian pada waktu itu yang menimpanya. Aku berjalan sambil menunduk dengan tangan yang kumasukkan ke dalam saku celanaku. Aku menoleh ke arah Shiori yang sedari tadi merapikan rambutnya karena berantakan dihembus angin.

"Ugh! Dasar angin! Rambutku jadi berantakan." Shiori menggerutu di sampingku. Aku tersenyum melihat tingkah laku Shiori.
"Sudahlah, namanya juga angin. Pasti semua benda yang terkena hembusannya akan berantakan seketika. Lagi pula, kenapa tidak kau membawa jepit rambutmu?"
"Seperti biasa, Nanase. Aku selalu lupa. Hei, ada pantai! Ayo ke sana! Hehe..." Aku mengernyitkan mataku dan menatap Shiori.
"Shiori, memangnya kau tidak tau kalau di sini ada pantai?" Shiori menoleh dan tersenyum.
"Iya, aku baru tau. Hehe... ayo, Nanase!"

Seharian aku bermain dengan Shiori di pantai. Untungnya aku memutuskan untuk tinggal di Sapporo untuk beberapa hari. Aku memang butuh tempat untuk menenangkan diri. Sepulang dari Sapporo, aku akan pergi untuk tinggal di tempat kos lagi. Aku tidak akan peduli apa yang akan dikatakan ayahku nanti. Udara di pantai ini begitu sejuk. Walaupun hari menjelang siang, pantai ini masih terasa begitu sejuk. Tiba-tiba Shiori menyiramku dengan air pantai. Aku terkejut dan menatap Shiori dengan jengkel.

"Hei, Shiori! Apa-apaan ini?" Kataku dengan serius. Tapi Shiori tau bahwa aku hanya bercanda, jadi ia hanya menjulurkan lidah dan berlari mengejar ombak. Aku pun semakin jengkel dan tanpa berpikir panjang, aku mengejar Shiori dan menyiramnya dengan air pantai tersebut.

Selesai bermain di pantai, kami kembali ke rumah. Lagi-lagi aku melamun di dalam kamar. Seperti biasa jika aku sedang sendirian. Tiba-tiba tanpa aku sadari, ponselku berdering. Ternyata Rai menghubungiku. Dengan cepat aku menjawab panggilannya.

"Moshimoshi." Sapaku pelan.
"Nanase, kau sedang ada di mana?" Tanya Rai dari seberang sana.
"Aku? Sedang ada di Sapporo. Di rumah saudaraku." Aku langsung melompat ke tempat tidurku.
"Sapporo? Kenapa kau pergi jauh-jauh, Nanase?"
"Tempat di mana aku bisa merasa senang adalah di Sapporo. Tinggal bersama dengan Shiori, saudaraku. Kau ingat Shiori?" Tanyaku berharap Rai masih ingat dengan saudaranya.
"Hmm... maaf, aku tidak ingat. Oh ya, Nanase, tadi aku sempat bertemu dengan Riku." Aku terkejut saat Rai mengatakan hal seperti itu.
"Bagaimana bisa? Sudahlah, Rai. Jangan terlalu dipikirkan, mungkin semua itu hanya khayalanmu."
"Aku tidak mengkhayal, Nanase! Aku bertemu dengannya, tadi Riku juga memelukku! Tidak mungkin aku mengkhayal, Nanase!" Rai terus meyakinkan diriku agar aku percaya. Tapi, aku sama sekali tidak percaya dengan semua itu. Bagaimana mungkin Riku muncul di depan Rai, sedangkan di depanku ia tidak muncul sama sekali.
"Sudahlah, Rai. Kau perlu banyak istirahat. Lebih baik kau istirahat terlebih dahulu."
"Aku baik-baik saja, Nanase! Kapan kau akan kembali ke Tokyo?" Tanya Rai dari seberang sana.
"Mungkin beberapa hari lagi. Nanti akan aku kabari."
"Baiklah, jaga diri baik-baik ya, Nanase."

Setelah itu, aku meletakkan ponselku di meja sebelah tempat tidurku. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong. Tiba-tiba yang terlintas di pikiranku adalah kejadian waktu itu lagi. Kejadian di mana Riku mengalami kecelakaan. Aku ingin sekali mencari siapa pelaku yang telah menabrak Riku dan tidak mau bertanggung jawab. Tapi, aku bingung mau mulai dari mana. Seandainya saja Riku ada di sini dan memberitahukan semuanya, mungkin aku bisa membalas semuanya. Riku, aku butuh bantuanmu...



bersambung...

Sunday, February 14, 2010

The Story Part 26

Ruroya Rai


Lima hari sudah terlewati sejak kematian Riku. Sebelumnya, aku, Nanase, Shoko, Takato, Saki, serta Rukia sempat datang ke acara pemakaman Riku. Aku tidak dapat menahan tangisku waktu ada di sana. Setiap aku sedang sendirian, pasti tangisanku akan meledak begitu saja. Aku menginginkan Riku berada di sini, sangat menginginkannya. Aku tidak bisa kehilangan Riku. Aku belum bisa melepas Riku pergi. Tapi apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain.

Saat ini aku mengurung diri di dalam kamar. Selama 5 hari ini aku tidak keluar kamar, makan saja aku selalu di kamar. Jika aku mau mandi, aku menunggu ruangan di luar sudah kosong baru aku pergi ke kamar mandi. Aku tidak ingin Shoko, Takato, dan Saki melihatku seperti ini. Selama 5 hari ini juga aku tidak berhenti menangis dan hal tersebut membuat mataku membengkak begitu parah. Untungnya aku sudah dibelikan ponsel. Aku bisa berkomunikasi dengan orang lain melalui ponsel ini. Biasanya aku akan mendapatkan kabar dari Nanase. Aku menatap hadiah yang diberikan Riku melalui perantara Nanase tanpa menyentuhnya lagi.

Kali ini aku memberanikan diri untuk menyentuh hadiah tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat sepucuk surat dan aku mengambil surat tersebut. Membacanya dengan seksama. Lama-kelamaan air mataku kembali mengalir dengan deras. Aku terisak-isak saat membaca surat tersebut.

TRRTT! Tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku melihat ke arah layar, ternyata ada pesan yang masuk ke dalam ponselku. Aku buka pesan tersebut. Dari Nanase.

From: Sakigawa, Nanase
Rai... untuk beberapa hari aku akan pergi dari Tokyo. Maaf meninggalkanmu lagi. Jaga diri baik-baik.


Aku menangis lagi. Nanase pun juga pergi. Aku merasa kehilangan seperti biasa. Aku tidak punya tenaga untuk menjalankan hidup lagi. Kenapa kau harus cepat pergi, Riku? Belum sempat aku menghabiskan waktu denganmu, kau sudah meninggalkanku begitu saja.

"Riku... kau tau, aku sangat sedih saat ini karena kepergianmu. Tapi, menangisi kepergian seseorang adalah tindakan yang tidak benar. Artinya aku tidak merelakan kau pergi. Awalnya aku memang tidak rela, tapi bagaimana cara mengatasinya, Riku? Aku masih ingin menghabiskan waktu denganmu. Bagaimana aku bisa bertemu denganmu, Riku? Kau sudah tidak ada di sampingku lagi. Padahal, aku sangat mencintaimu.. Riku..." Aku bergumam sendirian di kamar. Memeluk gulingku dan akhirnya aku jatuh tertidur sambil menggenggam surat Riku.

Nanase Sakigawa


Setelah menuliskan pesan untuk Rai. Aku membereskan semua pakaianku. Aku berniat untuk meninggalkan Tokyo untuk beberapa hari. Aku akan pergi ke Sapporo dan tinggal bersama dengan keluarga Tatsuya. Ya, aku masih membutuhkan waktu untuk melupakan semua yang sudah terjadi di Tokyo.

Aku izin pada ayah dan ibuku, untungnya mereka berdua mengizinkanku. Sebelum-sebelumnya, aku sempat bertengkar dengan ayahku lagi ketika di hari Riku telah tiada. Ia tidak mengizinkan aku untuk datang ke acara pemakamannya. Tapi aku terus memaksa ayahku dengan kata-kataku dan akhirnya ayah mengizinkanku.

Aku bersiap-siap untuk pergi ke Sapporo. Dalam perjalanan, aku melamun terus memandang keluar jendela. Semua obyek bergerak begitu cepat bagaikan sebuah kehidupan yang berjalan begitu cepat. Aku menghela napas panjang dan melamun lagi seperti biasa. Aku memain-mainkan flap ponselku dan lama-kelamaan aku jatuh tertidur di dalam shinkansen yang bergerak begitu cepat.

Setibanya aku di stasiun Sapporo, aku segera menghubungi Shiori untuk menjemputku. Dengan cepat Shiori datang tepat waktu dan membawaku ke rumahnya. Ketika memasuki rumah keluarga Tatsuya, aku disambut hangat oleh Michi, kakak ibuku. Aku hanya tersenyum tipis, karena sudah lama sekali aku tidak tersenyum. Shiori yang mengerti tentang perubahan sikapku, langsung mengajakku ke atas atap rumahnya. Di atap rumah inilah aku biasanya melihat ke arah langit untuk mencari-cari bintang dan bulan.

Ketika duduk di atas atap pun aku tetap diam saja. Tidak berbicara satu kata pun. Shiori semakin bingung dengan sikapku. Dengan lembut, ia merangkulku.
"Nanase, ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Shiori pelan dan hati-hati.
"Begitulah... temanku... teman terbaikku sudah tiada... meninggalkanku sendirian." Kataku sambil menatap langit-langit. Shiori langsung menunduk, merasa tidak enak karena sudah bertanya hal yang tidak-tidak.
"Shiori, tidak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Aku menatap Shiori dengan senyum tipis.
"Aku minta maaf atas kejadian yang menimpa temanmu itu."

Dan suasana pun mulai hening lagi. Aku menghela napas panjang.
"Aku sengaja meninggalkan Tokyo. Aku ingin menghilangkan semua pikiranku tentang kejadian itu." Aku mulai menahan air mataku yang akan jatuh lagi.
"Tidak apa. Itu semua keputusanmu, Nanase. Kau yang ingin pergi untuk menenangkan diri."
"Kenapa? Ugh... menyedihkan! Aku tidak bisa tersenyum sama sekali semenjak ia pergi meniggalkanku. Aku begitu bodoh waktu itu. Kenapa aku tidak ikut pergi dengannya?! Kenapa aku harus duduk diam menunggunya?! Arrgh!!" Tanpa disadari air mataku mulai mengalir dengan deras lagi. Shiori yang duduk di sebelahku langsung memelukku begitu tau aku menangis. Seharian pun aku menangis di dekapan Shiori, saudaraku.



bersambung...

The Story Part 25

Ruroya Rai


Aku melihat ke arah jalanan dari balik jendela yang sudah dipenuhi oleh titik-titik air. Hujan di mana-mana. Sudah sejak sore tadi hujan terus-menerus turun. Karena kelamaan hujan, aku mulai merindukan sang matahari. Tapi sedari tadi aku tunggu-tunggu, sang matahari tidak datang juga. Aku menghela napas di dalam kamar. Setiap kali melihat hujan, aku selalu punya perasaan tidak enak. Karena dalam hujan ini pula aku mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang membuatku hilang ingatan. Sebagian ingatanku maksudnya.

Hari ini aku tidak mendapatkan telepon dari Riku juga. Biasanya setiap hari Riku selalu meneleponku untuk menanyakan kabarku dan akhirnya kami berdua berbincang-bincang seperti biasa. Tapi, hari ini rasanya berbeda, hari ini terasa begitu sepi.

"Rai..." Shoko mengetuk pintu kamarku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan membukakan pintu.
"Ada apa, Shoko?"
"Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan?"
"Tapi di luar hujan, Shoko. Kau tidak takut terkena penyakit?" Aku balik bertanya pada Shoko. Shoko hanya menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mencari udara segar dan sepertinya kau juga membutuhkannya." Kata Shoko sambil tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan berganti pakaian terlebih dahulu."

Setelah aku berganti pakaian, aku langsung berjalan keluar kos bersama dengan Shoko. Untungnya hujan sudah mulai mereda. Kami berjalan menuju Shibuya. Di Shibuya, Shoko mengajakku mencoba beberapa pakaian di butik-butik terkenal. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa lebih senang ketika sudah pergi berjalan-jalan dengan Shoko. Aku bisa mencoba beberapa pakaian yang bagus dan beberapa yukata yang akan aku gunakan saat musim panas nanti.

"Rai, sudah dapat?" Tanya Shoko ketika kami berdua berada di toko yang menjual bermacam-macam yukata.
"Aku bingung, Shoko. Aku tidak tau yukata mana yang cocok denganku." Kataku sambil memilih beberapa yukata yang lucu-lucu.
"Hmm... bagaimana dengan yang ini?" Tanya Shoko sambil mengambil yukata yang berwarna merah yang dicampur dengan bunga-bunga berwarna biru, kuning, dan oranye.

Aku menatap yukata tersebut dengan seksama, sepertinya bagus juga pikirku dalam hati. Akhirnya aku mengangguk dan memutuskan untuk membeli yukata yang sudah dipilihkan oleh Shoko. Aku dan Shoko pun akhirnya membawa beberapa kantung belanja di kedua tangan masing-masing. Hari ini kami berbelanja cukup banyak.

Ketika kami sedang melakukan perjalanan menuju kos, aku melihat sosok Nanase sedang duduk-duduk di taman di dekat tempat kos. Aku berhenti sebentar dan mengajak Shoko untuk bertemu dengan Nanase. Kelihatannya Nanase seperti sedang... bersedih.

Nanase Sakigawa


Setelah kejadian mengenaskan itu. Aku berjalan meninggalkan rumah sakit. Aku sudah menghubungi orang tua Riku. Mereka cepat-cepat datang ke rumah sakit dan ketika orang tua Riku dibalut kesedihan, aku hanya pergi meninggalkan mereka. Aku mau memberitakan kepada Rai dan yang lainnya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan semua ini pada Rai, aku takut pada akhirnya ia akan hancur bagaikan berlian yang dihancurkan berkeping-keping.

Dalam perjalanan menuju tempat kos, aku masih menatap hadiah yang tadi dibeli oleh Riku untuk diberikan pada Rai. Di dalam hadiah tersebut terdapat sepucuk surat. Untungnya aku tiba di taman dekat kos itu, aku ke taman tersebut terlebih dahulu sebelum pergi ke tempat kos. Aku duduk di salah satu ayunan dan membuka surat tersebut. Di dalam surat tersebut tertulis...

Untuk Ruroya Raishiru / Ruroya Rai ku yang tercinta,
Hei, Rai! Hehe... pasti kau sendiri tidak mengerti kenapa aku memberikanmu hadiah ini? Kenapa kau selalu melupakan suatu hal yang begitu penting, Rai? Haha... dasar kau ini gadisku yang bodoh tapi manis hehe. Kau tau hari ini hari apa? Aku yakin kau akan menerimanya besok, karena besok adalah hari ulang tahunmu, Rai. Haha... jangan bilang kau lupa hari ulang tahunmu sendiri ya? Oh ya, Tanjobi Omedeto, Rai! Mungkin hadiah yang kuberikan kepadamu ini dapat membuat hubungan kita semakin kuat, maaf aku hanya dapat membelikanmu yang palsu. Tapi, aku yakin suatu saat aku akan membelikanmu yang asli. Hmm... sepertinya cukup sampai di sini. Aku sudah dimarahi petugas toko karena menulis surat terlalu panjang. Hehe... Aku sangat mencintaimu juga menyayangimu, Rai. Kau gadis yang terbaik dalam hidupku. Sampai nanti :)
Rikugan Sakurai

Ketika membaca surat yang ditulis Riku untuk Rai, aku tidak bisa menahan air mataku dan air mataku pun jatuh begitu saja ke pipiku. Aku menyeka air mataku dan menatap ke langit-langit. Langit pun sudah mulai gelap. Aku tidak ingin pulang. Benar-benar tidak ingin pulang dan aku tidak mau keluar dari Gakurai. Aku harus terus melanjutkan pendidikanku di Gakurai demi Riku, sahabatku. Ya, aku akan pergi dari rumah lagi dan tinggal di tempat kos, menjaga Rai untuk Riku serta melanjutkan pendidikan di Gakurai untuk Riku. Aku menutup surat tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam hadiah yang akan diberikan kepada Rai.

Aku terus menghela napas sambil menggoyang-goyangkan ayunan dan melamun. Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku. Aku mendongakkan kepala dan melihat Rai serta Shoko berdiri di depanku. Inilah saat-saat menegangkan, di mana aku harus memberitahukan semuanya kepada Rai. Aku harap Rai akan kuat ketika mendengar semuanya dariku. Tapi aku tidak yakin Rai akan terlihat kuat.

"Nanase, sedang apa kau di sini?" Tanya Rai padaku. Aku hanya melamun menatap wajah Rai.
"Aku... membawa berita." Kataku pelan. 
"Memangnya ada apa, Nanase? Katakan padaku." Rai pun mulai penasaran. Dengan tangan yang bergetar, aku memberikan hadiah yang seharusnya Riku berikan untuk Rai. 

Rai menatapku sambil mengernyitkan matanya. Saat ia menerima hadiah tersebut, ia baru mengerti apa maksud Nanase. Tatapan Rai tidak percaya, wajahnya pun mulai pucat. Terlihat beberapa tetesan air mata yang keluar.

"Nanase, katakan... katakan semua ini... semua ini tidak benar!!" Rai pun langsung berteriak di depan wajahku sementara Shoko tidak mengerti apa-apa.
"Rai, aku sendiri juga tidak mau mempercayainya. Tapi seperti ini lah kenyataannya. Aku yang melihat sendiri dengan mata kepalaku!" Aku mencoba untuk menjelaskan semuanya kepada Rai.
"Lalu... lalu... kenapa tidak kau melindunginya?! Atau bagaimana menurut caramu! Kenapa, Nanase? Kenapa?!" Tangisan Rai pun menjadi-jadi. Aku mengepalkan tangan, menahan kekesalan.
"Rai, aku tadinya mau ikut dengannya membelikan hadiah itu, tapi Riku ingin pergi sendirian. Aku tidak bisa memaksanya. Aku hanya menunggu kedatangannya kembali setelah aku tau bahwa ternyata ia adalah korban tabrak lari!" Tanpa aku sadari, aku berteriak sekencang mungkin di depan Rai. Membuat hatiku dan hati Rai hancur seketika. Kami berdua sudah mengeluarkan air mata dan Shoko pun baru mengerti apa yang sedang terjadi.

"Sudahlah, kalian berdua. Rai, ayo kita kembali ke tempat kos dulu. Nanase, coba pikirkan dulu ucapanmu baru kau jelaskan semuanya pada Rai." Kata Shoko lalu meninggalkan taman bersama dengan Rai.

Seperti biasa, aku sendirian lagi. Merasa sangat sepi. Tidak ada satupun orang yang mau menemaniku. Biasanya hanya Riku seorang yang selalu menemaniku jika aku sendirian. Tapi, saat ini Riku sudah tiada. Sudah pergi ke alam sana, hidup dengan damai.

Riku... kenapa disaat semuanya sudah membaik, kau malah pergi meninggalkan kami semua? Aku membutuhkanmu, Riku...



bersambung...

The Story Part 24

Ruroya Rai


"Raii!! Bagaimana kau bisa bertemu dengan Nanase?! Ayo ceritakan padaku!" Teriak Riku di kelas pagi itu. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah laku Riku. Seharusnya Riku lah yang harus datang menolongku, tapi ia tidak pernah keluar rumah jika ia tidak ingin.
"Seharusnya kau yang datang untukku, Riku. Hehe... tetapi malah Nanase yang datang." Kataku sambil tersenyum-senyum jahil. Riku pun mulai mencubit pipiku yang tidak tembem sama sekali.
"Ayo ceritakan, gadis bodoh!" Aku tertawa lepas dan menepis tangan Riku.
"Aku bertemu dengannya saat ia menolongku waktu aku sedang diserang oleh laki-laki tua menjijikan."
"Laki-laki tua? Hah?! Rai, apa kau tidak apa-apa?! Apa yang laki-laki tua itu lakukan?! Sial... akan aku hajar laki-laki tua itu! Mau apa ia dengan gadisku tercinta ini?!"

Aku memasang wajah aneh karena Riku tiba-tiba saja bertingkah laku aneh. Ia berteriak-teriak sendiri karena aku menceritakan kejadianku kemarin.
"Riku, laki-laki tua itu tidak melakukan apa-apa padaku. Tenang saja. Ayo duduk lagi." Kataku dengan begitu santai dan Riku dengan begitu patuhnya langsung duduk manis di depanku.

Selesai pelajaran hari ini, aku langsung pulang menuju kosku. Sesampainya di kos aku meletakkan semua barang-barangku di kamarku. Aku tersenyum lagi di dalam kamar, entah mengapa semenjak aku bertemu dengan Nanase rasanya semangatku kembali lagi. Dan bodohnya lagi, aku lupa menanyakan nomor ponsel Nanase.

Aku berjalan ke lantai bawah dan mendapatkan Shoko sedang duduk-duduk di sofa ruang tamu sambil menyeruput ocha hangatnya. Dengan senyuman di wajahku aku mendekati Shoko.

"Hei, Rai!" Shoko menyapaku dan tersenyum.
"Sedang apa, Shoko? Tumben sekali kau tidak ada kegiatan."
"Haha... iya, hari ini tempat kerjaku diliburkan. Entah mengapa." Shoko menyesap ocha hangatnya pelan-pelan.
"Hei, Shoko... apa kau punya nomor ponselnya Nanase?"
"Hmm? Oh... nomor ponselnya? Seharusnya ada, tapi kata Nanase, jangan beritahu pada orang lain. Jadi maaf, Rai... aku tidak bisa memberitahumu nomor Nanase." Kata Shoko.
"Kenapa begitu?"
"Aku sendiri juga tidak mengerti. Lebih baik kau tanya padanya saja sendiri jika lain kali kau bertemu dengannya."
"Aku harap aku bertemu dengannya lagi, Shoko." Shoko langsung merangkulku.
"Tentu saja, kau pasti akan bertemu lagi dengannya, aku yakin, Rai."

Aku mengangguk pelan dan tersenyum ketika mendengar Shoko berkata seperti itu. Ya, mungkin memang aku yang harus berpikiran positif. Aku yakin aku akan bertemu dengan Nanase lagi suatu saat.

Nanase Sakigawa

Hari ini aku janji bertemu dengan Riku di suatu tempat di Harajuku. Aku berjalan menuju Harajuku dari rumahku. Melihat suasana Harajuku yang begitu... umm, bagaimana mengatakannya ya? Begitu... 'indah' karena banyak orang-orang yang menggunakan pakaian macam-macam. Ya, itulah Harajuku tempat yang begitu 'indah'.

"Nanase! Hei!!" Teriak Riku ketika kami berdua sudah bertemu.
"Riku, hehe... lama tak bertemu!" Aku menyapa Riku sambil tersenyum.
"Iya dan aku tak menyangka hari ini aku akan bertemu denganmu, haha!"
"Sebenarnya, hari ini aku tidak boleh keluar dari rumah, tapi aku melarikan diri lagi seperti biasa." Riku memukulku pelan sambil tertawa-tawa.
"Haha, dasar anak nakal! Ayo, kau harus bercerita, kau bilang kau mau mengatakan sesuatu kan? Kalau begitu kita pergi ke kafe sana saja ya." Kata Riku sambil menunjuk sebuah kafe yang bernuansa barat. Aku hanya mengangguk dan mengikuti Riku.

Di dalam kafe aku mengambil tempat berhadapan dengan Riku. Aku senang hari ini aku dapat bertemu dengannya. Aku tak menyangka, orang yang dulu aku anggap sebagai sainganku sekarang sudah menjadi sahabat baikku sendiri. Aku tidak mau kehilangan sahabat seperti Riku.

"Silakan, Nanase! Ayo bercerita! Haha... aku tidak sabar!"
"Tenanglah terlebih dahulu. Bisa saja ceritaku ini membawa kabar buruk." Kataku sambil menyesap kopi hangat yang sudah disediakan. Riku mengernyitkan matanya, bingung.
"Kabar buruk? Memangnya ada apa, Nanase?" Aku menghela napas.
"Hmm... aku harus keluar dari Gakurai. Ayahku yang menyuruhku." Kataku sambil menunduk.
"Keluar?! Nanase, apa kau gila? Kenapa tidak kau katakan pada ayahmu bahwa Gakurai adalaha tempat yang kau pilih untuk melanjutkan pendidikanmu?" Riku tentu saja terkejut mendengar kabar seperti ini.
"Aku sudah mengatakannya, Riku. Tapi, ayahku tetap tidak mengizinkan."
"Argh! Kenapa Nanase? Aku tidak ingin kau keluar dari Gakurai, kau kan sahabatku, meskipun ada Rai tapi rasanya duniaku belum lengkap jika tidak ada sahabatku yang menemaniku di sana!" Kata Riku dan kata-kata Riku benar-benar menyentuh perasaanku. Sahabat katanya, aku tersenyum.
"Riku, terima kasih. Engkau sudah menganggapku sebagai sahabatmu." Riku pun tersipu dan menutupi wajahnya.
"Hei, Riku... wajahmu memerah? Hahaha... dasar bodoh!"
"Diam kau, Nanase! Siapa suruh kau mengtakan hal yang tidak-tidak!"

Sampai sore pun kami berdua berbincang-bincang di dalam kafe. Bercerita mengenai keluarga kami masing-masing, lalu kegiatan selama aku tidak ada di Gakurai dan masih banyak lagi. Riku juga bercerita bahwa ia pernah bertengkar dengan Rai dan mereka berdua pada waktu itu juga sangat membutuhkanku tapi aku selalu tidak ada. Dasar, aku ini bodoh sekali. Aku tidak bisa membantu teman-temanku karena aku punya masalah dengan keluargaku.

Harajuku pun mulai diguyur hujan rintik-rintik. Aku menutupi kepalaku dengan topi yang kubawa. Untung saja aku bawa topi.
"Nanase, tunggu di sini ya, aku mau beli sesuatu terlebih dahulu. Jangan ke mana-mana!"
"Haha... baiklah, jangan lama-lama ya, Riku! Nanti aku yang keburu sakit." Riku pun menunjukkan jari jempolnya dan segera pergi ke toko seberang.

Aku menunggu Riku sambil duduk-duduk di sebuah bangku yang tersedia di tempat tersebut. Aku memikirkan sesuatu hal, bagaimana cara agar aku bisa tetap berada di Gakurai? Bagaimana cara membuat ayahku kembali normal tidak marah-marah dan sabegainya? Bagaimana cara membuat Rai ingat akan aku? Haha... sampai saat ini juga, aku masih menginginkan Rai. Tapi mau bagaimana lagi, Rai sudah dimiliki oleh Riku yang kini adalah sahabat baikku.

Hujan semakin deras dan aku belum melihat Riku kembali dari toko di seberang. Baiklah, mungkin saja di dalam toko itu banyak yang mengantri. Akan aku tunggu si Riku.

Tapi, semakin hujan turun semakin deras, aku tetap tidak mendapatkan sosok Riku di manapun, sampai akhirnya aku melihat orang banyak berkerumunan di satu tempat. Karena aku penasaran, aku pergi ke tempat yang dikerumuni orang itu. Terlihat darah dari tempat tersebut, saat aku lihat ada apa... aku menutup mulutku. Astaga!! Riku, kecelakaan. Dengan segera, aku mendekati Riku yang terkapar tidak berdaya di tengah jalan. Ternyata ia adalah korban tabrak lari, aku harus segera mencari orang itu, orang yang sudah membuat Riku celaka.

"Heei!!! Cepat panggilkan ambulans!!!" Aku menyuruh beberapa orang yang sedang menyaksikan kejadian ini dan aku memanggil beberapa orang untuk menanyakan nomor plat mobil yang menabrak Riku tadi. Setelah bertanya-tanya aku menghampiri Riku. Denyut jantungnya masih ada, aku tersenyum lega.
"Riku!! Riku!! Berbicaralah! Heeeei!!" Aku berteriak-teriak di depan wajah Riku.
"Na-Na... Nase..." Riku mencari-cari tanganku. Dengan cepat aku menggenggam tangan Riku.
"Sudah, jangan bicara lebih dari ini Riku. Kondisimu masih parah."
"Na-Na...Nase... a-ku mohon... ja-jangan per-gi da-dari Ga-gakurai... Teruskan... studimu... sam-bil, membawa... na-namaku..." Riku terus berbicara dan mataku mulai meneteskan air mata.
"Riku! DIAM!! Jangan berbicara!!" Tangisku pun mulai menjadi-jadi. Riku pun tersenyum dengan wajah yang dipenuhi darah dan memar.
"I-ini... beri-kan pa-pada Rai... katakan... pa-padanya aku mencin-tainya dan kau... Na-nase, ja-jangan be-bersedih... ka-kau me-me-memang... sahabat... ter-ter-baikku... selamat... tinggal..." Setelah mengatakan itu, denyut jantung Riku berhenti. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Riku... Riku telah... ia telah tiada.

Aku melamun menatap tubuh Riku yang dipenuhi darah dan memar dengan tatapan tidak percaya. Riku telah tiada. Itulah kenyataannya. Ambulans pun baru datang dan kemarahanku pun memuncak. Tanpa disadari aku sudah berteriak-teriak di tengah jalan itu menyebutkan nama sahabatku... Rikugan Sakurai. Selamat jalan, Riku...



bersambung...