Wednesday, April 21, 2010

The Story Part 51

Ruroya Rai

Bodohnya aku. Kenapa di pagi yang cerah ini, aku harus menangis hanya karena aku diberi tatapan dingin dan kata-kata yang menancap dari Nanase? Argh! Dasar bodoh! Dan sekarang, Nanase sudah berada di kamarku sambil menyentuh kepalaku dengan lembut. Aku serasa terbawa dengan semua ini. Tangan Nanase yang besar, aku dapat merasakan kehangatannya menjalar dari kepalaku sampai ke seluruh tubuhku. Aku menghentikan isak tangisku ketika mendengar Nanase berkata "maaf" padaku.

Aku mencoba bangun dari tempat tidurku untuk segera duduk. Tapi aku tidak bisa, aku mencoba untuk mengangkat tubuhku, tapi tetap saja... tidak ada kekuatan. Aku mendengus kesal, kenapa disaat seperti ini aku selalu tidak punya kekuatan? Tanpa kusadari, tiba-tiba Nanase menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. Aku terkejut dan jantungku mulai berdebar-debar dengan begitu kencang. Wajahku pun mulai memanas.

"Na-Nanase..."
"Rai, maafkan aku..." Nanase melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Cepat-cepat aku menyingkarkan tatapanku dari tatapan Nanase. Aku tidak ingin ia melihatku dengan wajah seperti ini walaupun ia sering melihatku dengan wajah seperti ini. Namun, seperti sedang membaca pikiranku, Nanase dengan cepat menarik daguku agar mata kami bertemu.
"Rai, sudahlah. Aku mengerti maksudmu yang tidak mau menatapku itu. Tidak apa." Kata Nanase lembut. Aku mulai menyeka air mataku dan kembali menatap Nanase.

Kami berdua terdiam lagi. Ruangan terasa sangat sunyi. Aku ingin bertanya tentang kejadian tadi tapi aku tidak berani bertanya pada Nanase sama sekali.
"Nanase... seharusnya aku yang meminta maaf. Bukan kau..." Kataku akhirnya berani berbicara.
"Sudahlah... lupakan saja." Kata Nanase sambil tersenyum ke arahku. Aku menunduk.
"Nanase... memangnya tadi ada apa?" Tanyaku hati-hati. Nanase menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Bukan hal yang penting. Jika ada waktu yang tepat, aku berjanji akan memberitahumu. Tapi, Rai... apa kau tidak apa-apa jika aku tidak ada di sini besok?" Tanya Nanase yang tiba-tiba menyesakkan napasku.

Apa? Nanase akan pergi besok? Besok? Kenapa begitu mendadak?
"Besok...?" Aku menatap lantai kamarku dengan tatapan kosong. Tidak berani menatap Nanase lagi.
"Iya. Aku harus kembali ke rumahku untuk sementara. Aku harus menyelesaikan suatu masalah."
"Masalah?"
"Iya dan aku berjanji akan memberitahumu masalah apa. Tenang saja."

Aku menoleh ke arah Nanase dan menatapnya dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku digerakkan seseorang. Akhirnya aku memeluk Nanase.
"Jangan pergi..." Entah. Aku sendiri bingung kenapa aku berbicara seperti itu pada Nanase...

Nanase Sakigawa

Meskipun bingung, aku sendiri terkejut mendengar kata-kata yang dilontarkan Rai tadi. "Jangan pergi..." itu lah yang ia katakan. Awalnya aku sempat sangat terkejut. Namun, aku berpikir tidak jadi kembali ke rumah merupakan tindakan yang bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan masalah keluargaku tanpa aku kembali ke rumah? Tanpa berpikir panjang, aku pun akhirnya menjelaskan semuanya ke Rai. Namun, aku tidak menceritakan kejadian itu dan untungnya, Rai mengerti.

Saat ini aku sedang membereskan pakaianku dan tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera mengambil ponselku dan melihat nama Nonoru tertera di sana. Dengan cepat aku menempelkan ponselku ke telinga.
"Ya, ada apa Nonoru?"
"Nanase, sungguh. Ini lebih dari yang kubayangkan!" Kata Nonoru terdengar tergesah-gesah di sana.
"Memangnya ada apa, Nonoru? Santailah sedikit." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama sekali karena memikirkan tingkah laku kakak laki-lakiku yang aneh itu.
"Ayah..."

Aku membelalakan mata dan napasku pun mulai tercekal. Rasanya seperti tidak sanggup bernapas lagi setelah mendengar Nonoru menyebutkan 'ayah' di telepon.
"Nanase?" Aku tersentak dan mulai menyeka keringat yang bercucuran di keningku.
"Ya... maaf, ada apa?" Nonoru mendengus di seberang sana.
"Kau tidak mendengarkanku? Dasar bodoh kau, Nanase. Baiklah, akan aku ulang sekali lagi. Tadi, ketika aku pergi ke Shibuya dan menunggu di kedai kopi yang kau beritahu itu, apa yang kau katakan tadi pagi, semuanya memang benar. Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Astaga, aku tidak menyangka ayah akan melakukan hal seperti itu!" Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, aku sendiri pun demikian, Nonoru.
"Dan Nanase, sepertinya aku mengenal wanita itu..." Aku membelalakan mata dan dengan cepat berdeham.
"Kau mengenal wanita itu? Bagaimana bisa?"

Nonoru menghela napas dari seberang sana dan aku hanya mengelus-elus keningku lagi. Kepalaku pun mulai terasa pusing karena harus mengingat semua itu.
"Karena, wanita itu adalah rekan kerja paruh waktuku." Aku mengangkat sebelah alis dan tersenyum.
"Haha... sejak kapan kau kerja paruh waktu, Nonoru?"
"Diam kau!"

Setelah itu aku dan Nonoru terus membahas tentang ayah hingga malam hari.

No comments: