Ruroya Rai
Sungguh. Aku tidak tau apa yang ada di pikiran Nanase saat ini. Ia begitu aneh. Sangat aneh bisa dibilang. Dari tadi, ia berbicara yang aneh-aneh dan ya begitulah, bertindak aneh juga. Aku tidak mengerti dengan jelas apa masalahnya. Tiap kali aku bertanya padanya, ia pasti menghindar dan tidak mau mengatakan apapun. Huh! Dasar menyebalkan. Sebenarnya, apa yang sedang dialami Nanase? Aku harus mencari tahu.
Esok harinya, pada pagi hari, aku berjalan ke arah kamar Nanase. Ketika aku hendak mengetuk pintu kamarnya, aku mendengar Nanase sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Sepertinya melalui ponsel, karena aku mendengar Nanase menyebut nama 'Nonoru' dan yaa, di kos ini tidak ada yang bernama Nonoru. Hehe. Aku bersender pada dinding pintu dan mencoba untuk mendengar apa yang sedang dibicarakan Nanase dengan laki-laki yang bernama Nonoru itu.
"Aku tidak mengerti, Nonoru! Aku sendiri juga bingung kenapa ayah bisa melakukan hal seperti itu! Oh ya... aku mohon, jangan beritahukan masalah ini ke ibu terlebih dahulu, aku tidak enak pada ibu..." Kata Nanase. Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk jariku. Kira-kira, ada masalah apa ya? Kenapa ada hubungan dengan ayah dan ibu Nanase? Apa jangan-jangan Nonoru adalah kakak atau adik Nanase? Oke, aku semakin penasaran sekarang.
Ketika aku hendak mendengar percakapannya lebih lanjut, tiba-tiba aku mendengar suara langkah dari dalam kamar Nanase. Oh tidak! Nanase akan keluar, bagaimana ini? Tidak, tidak! Aku harus lari ke mana? Oh, sial! Sudah telat. Nanase sudah membuka pintu dan ia menatapku dengan menyipitkan matanya. Aku hanya tersenyum gugup di hadapannya.
"Ha-hai, Nanase. Ohayo. Hehe..." Nanase mendengus pelan. Sepertinya ia tau aku menguping.
"Rai, kenapa kau di sini?"
"Ma-maaf, Nanase. Aku tidak bermaksud..."
"Sudah-sudah, cukup..." Nanase menyela pembicaraanku lalu ia turun ke bawah. Aku menatap Nanase dengan perasaan tidak enak. Apa jangan-jangan ia marah ya? Argh! Dasar bodoh kau, Rai! Kenapa harus menguping?! Aargh!
BRAK! Aku tersentak ketika mendengar suara pintu dibanting. Ternyata Shoko. Aku menatap Shoko dengan lemas lalu tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko." Sapaku kepada Shoko. Shoko menoleh dan membalas sapaanku.
"Rai! Hehe... hm? Ada apa, Rai? Kau sepertinya tidak kelihatan baik-baik saja." Seperti biasa, Shoko selalu mengetahui keadaan hatiku setiap harinya.
"Shoko... aku... aku tidak ingin... menangis pagi-pagi... tapi..." Tangisanku tiba-tiba pecah dengan sendirinya. Seperti anak kecil yang dimarahi ibunya, aku langsung menerima dekapan Shoko dan menangis dalam dekapan Shoko.
Nanase Sakigawa
Sial! Rai sudah mendengar berapa banyak ya? Argh! Tidak! Jika ia mendengar semuanya, mungkin ia akan mengecap aku sebagai laki-laki yang tidak benar! Aduh, bagaimana ini? Dan lebih bodohnya lagi, aku bersikap dingin di hadapannya, padahal ia tersenyum begitu manis di hadapanku, tapi... aku membalas kata-katanya dengan tatapan tajam dan kata-kata yang cukup dingin. Aduh! Aku sudah punya kesalahan yang besar.
Aku mengusap-usap wajahku untuk menenangkan pikiran dan hati. Aku bingung bagaimana nanti aku akan berhadapan dengan Rai. Semoga saja ia tidak menangis, jika Rai sampai menangis, aku tidak tau harus berbuat apa.
"Nanase!" Aku menoleh dan mendapati Shoko yang sedang menuruni anak tangga memanggilku. Aku tersenyum tipis.
"Ohayo, Shoko. Ada apa?" Shoko menarik bangku yang ada di depanku lalu duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.
"Nanase, apa yang kau lakukan pada Rai?"
Apa yang baru saja aku pikirkan tadi, sekarang pun terjadi. Aku yakin sekarang Rai pasti kenapa-napa. Aku tau itu. Argh! Aku ini memang laki-laki bodoh!
"Aku tidak melakukan apa-apa, Shoko."
"Tidak mungkin, Nanase! Apa kau tau? Sekarang Rai menangis, ini pertama kalinya aku melihat seseorang menyambut pagi harinya dengan air mata, apa kau tau hal tersebut tidak lucu dan tidak menarik sama sekali!" Shoko terus memarahiku dan aku hanya bisa menunduk dan merenungi kata-kata Shoko. Hmm... mungkin aku harus bertemu dengan Rai.
Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Shoko yang masih berceloteh menuju ke kamar Rai. Aku juga tidak peduli dengan teriakan Shoko yang terus memanggil-manggilku. Aku berjalan ke kamar Rai dan mengetuknya pelan. Tidak dibuka. Sepertinya Rai memang mengurung diri lagi.
"Rai, ini aku... tolong buka pintunya. Aku bisa jelaskan semuanya." Tetap tidak dibuka. Lama-lama aku merasa sedikit jengkel. Aku menyentuh gagang pintu dan mencoba untuk membukanya dan... ya, kamarnya tidak dikunci. Aku masuk perlahan ke kamar Rai dan mendapati Rai sedang membenamkan wajahnya di bantalnya. Aku menutup pintu kamar Rai dan mendekatinya perlahan.
"Rai..." Aku menyentuh kepala Rai dengan lembut. Tetap tidak ada reaksi juga dari Rai. Lalu aku duduk di pinggir tempat tidur Rai dan mendengar suara isak tangis Rai yang tidak berhenti-henti.
"Rai, maafkan aku..." Kataku pada akhirnya. Aku mendengar suara isak tangis Rai tiba-tiba berhenti.
"Aku mohon, Rai. Bicaralah padaku..."
bersambung...
No comments:
Post a Comment