Ruroya Rai
"Shoko!!! Kembalikan barangku!! Heeeiii!!!"
Saat ini, aku sedang mengejar Shoko karena Shoko mengambil barang berhargaku. Ya, Shoko memang selalu mengerjaiku. Barang yang diambil Shoko adalah surat Riku waktu itu. Karena Shoko begitu penasaran, ia langsung mengambilnya di kamarku. Dan sekarang aku ingin mengambil surat itu kembali dan harus melalui proses pengejaran di dalam kos.
Aku berhenti sebentar dan mengatur napasku yang tersengal-sengal. Aku melihat ke depan dan mendapati Shoko menjulurkan lidah ke arahku. Aku pun jengkel dan mengejar Shoko lagi.
"Shoko!! Apa maumu??! Kembalikan!!" Teriakku sambil mengejar Shoko. Shoko pun hanya tertawa-tawa geli.
"Haha... ada apa, Rai? Kenapa aku tidak boleh membacanya?"
"Kau tau Shoko apa artinya rahasia dan pribadi? Itu artinya kau tidak boleh ikut campur sama sekali!! Aaaargh!! Shoko!! Berhenti!!" Aku mulai berteriak-teriak tidak jelas dan akhirnya aku melompat ke arah Shoko dan menimpa Shoko.
"Raii!! Apa kau gila?! Berat badanmu lebih berat dibanding dengan berat badanku! Cepat pergi dari sini!" Aku menghiraukan semua kata-kata Shoko dan terus menindihnya.
"Aku tidak akan bangun sebelum kau mengembalikan barangku! Dan jangan berpikir bahwa aku lebih berat darimu! Apa kau tidak lihat? Tubuhku sekecil ini?"
Tiba-tiba Saki keluar dari dapur dan terkejut melihat kami berdua. Dan dengan wajah tak berdosa, kami berdua hanya tersenyum-senyum sendiri.
"Shoko, Rai! Ada apa ini? Kenapa ruangan ini berantakan?" Tanya Saki. Aku beranjak dari Shoko dan berdiri sambil menundukkan kepala.
"Maafkan kami, Saki-san." Saki tersenyum.
Setelah meminta maaf pada Saki, aku dan Shoko menghentikan permainan tidak jelas kami dan kami berdua langsung membantu Saki membereskan ruangan. Sesudah itu aku duduk bersama Shoko di ruang tamu.
"Rai, memangnya apa isi surat itu? Aku penasaran. Itu surat dari Riku kan?" Tanya Shoko sambil terus memandangi surat tersebut meskipun surat tersebut sudah berada di tanganku. Aku menatap surat tersebut dan memperlihatkan surat tersebut -bukan isinya- kepada Shoko.
"Ini rahasiaku dengan Riku dan Nanase. Maaf, Shoko..." Kataku sambil tersenyum.
Shoko menghela napas. Tampaknya Shoko kecewa karena aku tidak memberitahunya. Lalu Shoko menatapku.
"Pasti senang sekali ya punya seorang kekasih yang begitu perhatian." Aku mengernyitkan dahiku, apa maksudnya?
"Shoko, Riku sudah tiada. Kekasihku sudah tiada, Shoko. Siapa yang akan menjagaku lagi?" Shoko tersenyum lalu merangkulku.
"Aku yakin pasti ada laki-laki yang perhatian dan mau menjagamu."
"Memangnya siapa? Kenapa tiba-tiba kau bisa berbicara seperti itu?"
"Karena aku sudah tau orangnya... yaitu..."
BRAK! Tiba-tiba aku terkejut ketika mendengar suara pintu yang dibanting dengan begitu keras. Aku menoleh dan mendapati Nanase sudah kembali dengan... kenapa wajahnya terlihat gahar? Aku dan Shoko saling bertatapan dan langsung mengangkat bahu. Shoko memberiku tanda agar aku mendekati Nanase dan bertanya apa yang sedang terjadi padanya.
Akhirnya aku menuruti kemauan Shoko dan segera mendekati Nanase yang sedang duduk sendirian di meja makan sambil meremas-remas tangannya. Aku menyentuh kepala Nanase lalu duduk di sebelahnya perlahan-lahan.
"Nanase, apa kau baik-baik saja?" Tanyaku pelan, Nanase menoleh ke arahku.
"Apa ini terlihat baik-baik saja? Aku hancur, Rai!" Aku hanya diam tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika Nanase berbicara seperti itu.
"Maaf, Rai. Aku sedang tidak mau bicara saat ini... aku mau sendiri dulu." Nanase bangkit dari tempat duduknya dan segera pergi ke kamarnya. Aku terdiam di tempat dudukku. Sampai segitu kesalkah Nanase?
Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi ke taman untuk mencari udara segar. Aku duduk di salah satu ayunan dan mengayun-ayunkan ayunan dengan pelan. Taman ini terlihat begitu sepi. Aku menengadah ke atas langit, hmm... sebentar lagi musim panas akan segera berakhir dan musim gugur akan segera tiba. Pada musim gugur nanti, aku akan kembali ke Gakurai.
"Hei, nyonya yang di ayunan!" Aku terkejut ketika mendengar seseorang berteriak. Aku mendongak dan melihat orang tersebut. Ternyata seorang laki-laki yang umurnya kurang lebih sama seperti Shoko dan Takato.
"Ada apa... umm..." Aku bingung harus menyebutnya apa.
"Hiruho Akita. Panggil aku Akita saja." Kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya. Akita? Tunggu... sepertinya aku pernah mendengar nama ini.
"Akita-san, ada apa?" Akita mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, setelah itu memperlihatkannya kepadaku. Ternyata Akita memperlihatkan foto seseorang.
Shoko?! Kenapa foto yang diperlihatkan Akita adalah foto Shoko? Jangan-jangan...
"Shoko?" Akita mengernyitkan dahinya ketika aku menyebut nama Shoko.
"Kau kenal Shoko? Syukurlah!" Kata Akita sambil tersenyum. Aku hanya bertambah bingung ketika Akita tau aku mengenal Shoko, ia hanya tersenyum-senyum. Padahal saat ini aku sedang tegang-tegangnya.
"Hmm... apa kau tau tempat ia tinggal? Katanya ada di sekitar sini." Aku menghela napas. Dasar orang aneh.
"Aku satu kos dengannya. Ayo ikut denganku!"
Walaupun laki-laki yang bernama Akita itu lebih tua dariku, kenapa sikapnya tidak seperti laki-laki dewasa yang aku bayangkan ya? Aneh...
Nanase Sakigawa
Saat ini aku sedang berada di balkon sendirian. Memikirkan segala hal yang sudah terjadi saat ini. Sial, hari ini memang banyak kejadian-kejadian aneh yang tak terduga. Aku melihat ayahku... asal kalian tau... AYAHKU! Ia bukan pergi bekerja, malah dengan seenaknya pergi bersama dengan wanita lain. Ternyata apa yang dikatakan Chou semuanya benar.
Ngomong-ngomong tentang Chou, aku harus segera menghubunginya. Aku segera mengambil ponselku yang ada di atas tempat tidurku dan pergi ke balkon lagi. Setelah menemukan nomor Chou, aku langsung meneleponnya.
"Moshimoshi, Nanase-kun! Ada apa menelepon?" Sapa Chou ramah.
"Chou! Ada sesuatu yang mau aku bahas denganmu."
"Apa yang mau kau bahas, Nanase-kun?"
"Chou, hilangkan -kun-nya. Aku tidak nyaman mendengarnya." Entah mengapa, aku lebih suka namaku dipanggil biasa dan tidak ditambah embel-embel lain.
"Baiklah. Maafkan aku, Nanase." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar Chou bicara seperti itu.
Aku menghela napas bersiap-siap untuk menceritakan semuanya.
"Chou, apa yang waktu itu kau ceritakan padaku, semuanya benar dan aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Terasa jeda sesaat.
"Cerita yang mana ya? Maaf, Nanase... aku lupa." Serasa ingin terjun saat ini, kenapa Chou melupakan ceritanya sendiri? Menyedihkan...
"Aduh, Chou! Padahal kau yang menceritakannya semua kepadaku!"
"Aku tau, Nanase. Tapi aku bingung yang mana, aku kan banyak bercerita padamu." Aku menghela napas panjang.
"Baiklah, cerita tentang ayah."
"Hmmm... apa?! Kau sudah melihatnya?! Ceritakan semuanya kepadaku!" Setelah itu aku menceritakan semuanya kepada Chou tentang apa yang aku lihat di Shibuya.
Memang cerita tentang ayahku selalu mengejutkan orang-orang. Termasuk anaknya sendiri. Aku menghela napas. Setelah berdiskusi cukup lama dengan Chou, aku masih melanjutkan dengan bertanya-tanya.
"Chou, apa ibu dan Nonoru tau?"
"Hmm... Nonoru-kun ya? Lebih baik kau beritahu Nonoru-kun. Kalau nyonya sepertinya tidak tau. Aku kasihan pada nyonya." Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, yang paling menderita nanti adalah ibu. Aku memang harus mencari ayah lagi. Sesudah itu aku mengakhiri pembicaraanku dengan Chou.
Aku meletakkan ponselku di atas tempat tidurku lalu pergi keluar kamar. Setibanya di luar, aku mendengar suara ribut-ribut. Karena aku penasaran, aku langsung turun ke lantai bawah. Aku melihat di sana ada Rai, Shoko, dan seorang laki-laki. Hmm... siapa laki-laki itu?
"Sudah cukup, Akit!" Akita? Maksud teriakan Shoko itu... apa mungkin laki-laki itu adalah Hiruho Akita?
Dengan segera aku mendekati mereka semua.
"Shoko, aku mohon. Maafkan aku! Aku sungguh menyesal!" Aku melihat Akita meraih tangan Shoko dan dengan cepat aku langsung berdiri di hadapan Akita dan membelakangi Shoko.
"Apa maumu? Jika Shoko memang tidak mau kenapa kau harus memaksanya?" Kataku sambil menatap laki-laki dengan tatapan dingin.
"Siapa kau? Apa urusanmu dengan Shoko?"
"Nanase Sakigawa. Perkenalkan." Kataku sambil tersenyum sinis.
Shoko tiba-tiba memanggilku dan dengan cepat aku menoleh ke arahnya.
"Nanase, sudah tidak apa-apa. Aku bisa mengurus semuanya sendiri." Kata Shoko.
"Kenapa? Laki-laki ini sedang menyiksamu, Shoko!"
"Nanase, cukup. Jangan membuatku juga marah padamu. Rai, tolong bawa Nanase ke suatu tempat. Aku akan menyelsaikan masalahku dengan laki-laki ini." Kata Shoko sambil menatap Akita yang saat ini sudah tersenyum-senyum sendiri. Aku pun semakin jengkel melihat tingkah laku laki-laki itu.
Namun, Rai dengan cepat menarikku ke lantai atas. Sesampainya di atas, Rai langsung membantingku ke tembok.
"Ada apa denganmu, Nanase?"
"Apa maksudmu, Rai?" Tanyaku bingung sambil tetap diam pada tempatnya.
"Sejak kau kembali ke kos dengan membanting pintu, kau sudah mulai bersikap tidak jelas! Ada apa, Nanase? Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?"
Aku menunduk dan mulai berpikir. Ya, memang benar aku belum bercerita pada Rai. Aku tidak ingin ia khawatir lagi. Dengan cepat aku mendoro Rai pelan.
"Aku mau istirahat dulu. Maaf, Rai..."
Kali ini benar-benar maaf, Rai...
bersambung...
No comments:
Post a Comment