Ruroya Rai
" Rai, jaga dirimu baik-baik di Tokyo ya!"
Seperti biasa, saat ibu akan melepas kepergianku, pasti ibu akan menangis-nangis. Awalnya, ibu melakukan hal tersebut untuk mencegah kepergianku.
"Tenang saja, bu. Ibu tidak perlu khawatir. Nanti aku akan mengirim surat ketika aku sampai di Tokyo." Setelah mengatakan hal tersebut, aku segera masuk ke dalam shinkansen dan melambai pada keluargaku.
Hari ini adalah Festival Obon. Aku memutuskan untuk mengunjungi makam Riku juga makam nenekku yang ada di Tokyo. Aku ingin sekali bertemu dengan Riku. Aku harap aku dapat bertemu dengannya nanti. Dalam perjalanan, aku hanya terus memandang ke arah luar jendela. Melihat laut-laut yang indah dan hamparan sawah yang luas. Andai saja Riku masih ada di sini, mungkin aku bisa pergi berkunjung ke laut atau tempat indah lainnya bersama Riku.
Setelah perjalanan yang memakan waktu cukup lama, akhirnya shinkansen tiba di stasiun Tokyo. Aku keluar dari shinkansen dan bergegas untuk mencari taksi. Saat sedang mencari taksi tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggilku. Aku terkejut dan segera menoleh, siapa tau ada orang tidak tau diri. Ternyata, yang memanggilku adalah Takato.
"Rai!!" Takato berlari kecil ke arahku. Aku tersenyum ke arah Takato.
"Hai, Takato!"
"Rai! Senang rasanya kau bisa kembali. Ayo aku antar kau ke kos." Aku mengangguk dan Takato membantuku membawa barang-barangku.
Ternyata Takato sudah memiliki mobil pribadi. Selama aku di Sapporo, perubahan pada teman-temanku juga berubah dengan pesat. Contohnya ya, seperti Takato ini.
"Takato, kau punya mobil juga akhirnya." Kataku sambil tersenyum. Takato hanya tertawa kecil.
"Haha, aku bekerja begitu keras untuk mendapatkan mobil ini. Kau tau, aku sampai berdebat dengan yang lainnya ketika akan membeli mobil ini." Aku hanya tertawa kecil dan selama perjalanan, aku dan Takato terus berbincang-bincang.
"Hei, Takato. Kau tidak kembali ke kampung halamanmu untuk merayakan Festival Obon?" Terasa jeda sesaat. Untungnya sedang lampu merah, aku menoleh dan mendapati Takato sedang melamun. Aku memanggil lagi dan Takato langsung menoleh sambil melukiskan senyumannya.
"Maaf. Keluargaku sudah tiada semua akibat bencana alam waktu itu."
"Oh maaf, Takato."
"Tapi, tidak apa Rai. Hari ini aku juga akan mengunjungi makam keluargaku. Tempatnya ada di sini." Aku hanya mengangguk pelan. Aku tidak pernah menyangka cerita kehidupan Takato seperti ini. Takato yang selalu ceria, ternyata memiliki kisah pahit juga.
Sesampainya di tempat kos, Takato membantuku membawa barang-barangku. Rasanya begitu senang, setelah beberapa lama di Sapporo, akhirnya aku dapat kembali ke tempat kosku tercinta. Takato mengajakku masuk dan aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Ketika aku membuka pintu utama kos ini...
"KEJUTAN!!" Shoko, Saki, dan Takato ternyata sudah mempersiapkan kedatanganku. Aku menutup mulutku karena terkejut. Lalu tertawa kecil.
"Astaga, kalian melakukan semua ini untukku?" Aku pun bertanya pada mereka semua.
"Tentu saja, karena hari ini kepulanganmu kami membuat semua ini. Tapi..." Shoko tiba-tiba menggantungkan kalimatnya dan ia menoleh-noleh ke belakang.
"...aku yang membuat semua ini, Rai." Terdengar suara yang berat yang begitu aku kenal. Orang itu keluar dari persembunyiannya.
"Nanase?!" Aku terkejut ketika melihat laki-laki itu di sini.
"Selamat datang kembali, Rai." Aku tidak percaya, laki-laki yang saat ini berdiri di hadapanku adalah Nanase. Aku menutup mulutku dan berlari ke Nanase lalu memeluknya.
"NANASE!!" Aku terus memeluk Nanase. Tapi, kenapa ia bisa ada di sini? Bukankah ia harus ada di rumahnya sekarang?
"Rai, aku akan kembali tinggal di sini." Seperti baru saja membaca pikiranku, Nanase berkata seperti itu. Aku menatap Nanase.
"Benarkah? Memangnya kau tidak dilarang ayahmu?" Nanase menggeleng pelan lalu tersenyum.
"Bukan begitu. Aku pergi lagi dari rumah saat ayahku juga pergi ke luar kota. Tapi kali ini aku sudah izin pada orang-orang rumahku. Jadi, tenang saja." Kata Nanase dan aku pun tersenyum lalu mempererat pelukanku dengan Nanase.
Aku merasa begitu bahagia. Nanase sudah kembali ke tempat kos dan aku tidak akan merasa kesepian lagi. Aku bersyukur dapat bertemu dengan Nanase lagi.
Nanase Sakigawa
Setelah acara penyambutan tersebut, kami semua-aku, Rai, Shoko, Takato, dan Saki-bersiap-siap untuk pergi ke tujuan masing-masing. Aku dan Rai akan pergi mengunjungi makam Riku dan makam nenek Rai, aku memang mengenal nenek Rai. Lalu Shoko akan mengunjungi makam kakak perempuannya., Takato akan mengunjungi makam seluruh keluarganya, dan terakhir Saki akan mengunjungi makam anak laki-laki dan makam suaminya.
Kami semua berpencar ketika sampai di pemakaman. Pemakaman hari ini juga terlihat ramai karena banyak keluarga yang datang untuk mendoakan almarhum-almarhum keluarga mereka. Aku berjalan bersama dengan Rai menuju makam nenek Rai. Kami berdua mengucapkan beberapa doa serta meletakkan beberapa bunga di atas batu nisan makam nenek Rai.
Selanjutnya, aku berjalan bersama Rai menuju makam Riku. Sesampainya di depan makam Riku, aku terkejut ke mana cincin itu pergi? Astaga, apa ada yang mengambilnya?
"Nanase? Ada apa?" Tiba-tiba Rai bertanya padaku. Dengan cepat aku menggeleng. Rai mengangguk lalu kembali menatap makam Riku.
"Riku, hari ini aku datang untuk mengunjungimu. Baru saja aku kembali dari Sapporo. Bagaimana suasana di sana Riku? Kapan kau akan mengunjungiku dan Nanase lagi?" Kata Rai sambil meletakkan sebuket bunga matahari kesukaan Riku. Aku menyentuh bahu Rai.
"Kau tau, Riku... a-aku masih merindukanmu... aku ingin... aku ingin bertemu denganmu..." Rai mulai mengeluarkan air matanya, namun cepat-cepat Rai menyeka air matanya. Aku merangkul Rai.
"Tapi tidak apa, Riku. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini, Nanase akan selalu ada untuk menemaniku..."
Aku hanya diam seribu bahasa. Tidak tau harus berkata apa. Rai tiba-tiba menyikuku agar aku segera bicara pada Riku. Aku menghela napas dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana. Aku berjalan mendekat ke arah makam Riku.
"Hei, Riku. Aku tidak tau harus berbicara apa. Karena kemarin aku baru mengunjungimu juga. Kau tau, cincin itu hilang..." Aku berbisik agar kata-kataku tidak terdengar oleh Rai.
"Aku tidak tau bagaimana cara benda itu hilang. Tapi aku yakin aku akan segera menemukannya dan mengembalikannya kepadamu..."
Tiba-tiba aku merasa tanganku ditarik oleh Rai. Aku menoleh.
"Nanase, kau bicara apa saja dengan Riku? Aku mau tau!" Aku tersenyum lalu mengangguk.
"Riku, berbahagialah di sana. Aku berjanji akan menjaga Rai untukmu. Kau memang sahabat baikku, Riku!" Aku berteriak di depan makam Riku dan membuat mata semua orang tertuju padaku. Rai memukulku pelan dan aku hanya terkekeh-kekeh saja. Setelah itu Rai mengajakku untuk meninggalkan pemakaman. Tak lupa juga kami berdua mengucapkan selamat tinggal pada Riku. Aku dan Rai bertemu dengan yang lainnya-Shoko, Takato, dan Saki-di depan gerbang utama area pemakaman tersebut.
Kembali ke tempat kos, Shoko mengadakan sebuah rapat. Shoko memang senang menggelar rapat bersama karena di tempatnya bekerja, ia memang sering mengikuti rapat. Shoko langsung memukul meja membuat seluruh mata menatap ke arahnya.
"Semuanya, mohon dengarkan kata-kataku!" Aku menoleh dan melihat Shoko yang berbicara dengan begitu serius. Shoko merencanakan untuk melepas lentera di kuil bersama-sama nanti malam. Aku dan yang lainnya pun hanya mengangguk tanda mengerti. Setelah itu rapat pun selesai.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar dan melihat ke arah meja yang ada di sebelah tempat tidurku. Surat itu masih ada di sana. Surat yang aku tulis di kertas kusam yang diperuntukkan untuk Rai pada saat aku pindah rumah. Aku mengambil surat tersebut dan membacanya ulang.
"Nanase, kau..." Cepat-cepat aku menyembunyikan surat tersebut di saku celanaku. Sial, Rai yang datang.
"Nanase? Apa yang sedang kau sembunyikan?" Tanya Rai dan aku hanya tersenyum-senyum sendiri.
"Bukan sesuatu yang penting." Jawabku.
"Bukan sesuatu yang penting? Coba aku lihat." Rai mendekatiku dan aku mundur selangkah.
"Tidak boleh. Ini rahasia pribadi!" Rai menghiraukan kata-kataku dan terus mendekatiku.
"Rai, kalau aku bilang tidak bisa ya tidak bisa!"
"Aku mau tau, Nanase! Hei, ayo perlihatkan... arrrgh!"
Setelah sadar ternyata Rai menindih tubuhku karena pada saat aku mundur, aku tidak sadar jika di belakangku ada tempat tidurku. Rai bangun dan pandangan kami bertemu. Kami bertatapan begitu lama sampai akhirnya Rai sadar dan langsung beranjak. Sebelumnya aku merasakan detak jantung Rai yang berdetak begitu cepat.
"Nanase, maaf-maaf! Maafkan aku!" Rai membungkuk-bungkuk lalu pergi meninggalkan kamarku dan pergi ke kamarnya.
Aku menyentuh dadaku. Apa arti dari semuanya? Detak jantung Rai ketika menatapku terasa berbeda dari biasanya. Jantungku pun berdetak lebih cepat dari biasanya juga. Apa artinya? Apa mungkin aku bisa mendapatkan dirinya? Ya, mungkin saja...
bersambung...
No comments:
Post a Comment