Ruroya Rai
Sial!! Kenapa tadi aku begitu bodoh? Saat ini aku sedang berada di kamarku sendiri, menyembunyikan wajahku yang sudah memerah di bawah bantal sambil sesekali menggerutu karena kesal. Aku tidak percaya aku dapat melakukan hal sebodoh itu. Kenapa saat aku menindih tubuhnya, aku tidak langsung beranjak? Dan lebih bodohnya lagi, aku menatapnya lebih lama dari yang kubayangkan. Arrgh!! Bodoh!!
Aku berguling-guling di atas tempat tidurku, menyesali perbuatan yang bodoh tadi. Anehnya, jantungku berdetak begitu cepat. Aku tidur terlentang sambil menatap langit-langit. Lalu aku menyentuh dadaku. Sampai sekarang pun jantungku masih berdetak dengan begitu cepat. Kenapa ya? Aku menghela napas lalu aku menoleh ke arah jendela dan melihat matahari hampir tenggelam. Sebentar lagi aku harus bersiap-siap untuk pergi ke kuil dan melepas lentera bersama dengan yang lainnya.
Walaupun dalam keadaan terganggu saat ini, aku senang akhirnya tempat kos ini dapat kembali seperti pada awalnya. Nanase sudah kembali ke kos dan aku dapat merasa lebih tenang walaupun Riku tidak ada. Aku melihat cincin yang tergantung indah di jari manisku lalu dengan lembut aku mengecup cincin tersebut. Cincin ini akan aku kenang selamanya. Cincin pemberian cinta pertamaku.
"RUROYA RAISHIRU!!" Aku tersentak dari lamunanku karena mendengar teriakan dari luar. Sepertinya Shoko, ya, suara teriakan itu memang milik Shoko. Aku berjalan dengan langkah gontai. Membuka pintu perlahan.
"Rai!! Ayo bangun!!" Shoko berteriak tepat di depan wajahku.
"Shoko, aku tidak sedang tidur! Aku hanya tidur-tiduran saja!"
"Ya sudah, cepat siap-siap! Beberapa menit lagi kita semua akan berjalan ke kuil." Aku terkejut saat Shoko mengatakan kata 'berjalan'.
"Berjalan? Apa aku tidak salah dengar?" Aku bertanya apda Shoko. Shoko menoleh ke arahku dengan tatapan jengkel.
"Naik mobil Takato, Rai! Ada apa denganmu hari ini?" Tiba-tiba Nanase keluar dari kamarnya.
"Rai baru saja menimpa tubuhku." Nanase berkata seperti itu dengan begitu santainya. Aku membelalakan mata karena terkejut.
"Rai? Apa benar itu? Astaga!"
Sial kau Nanase!! Arrgh!!! Dengan geram aku menghiraukan pertanyaan Shoko dan kembali masuk ke dalam kamar. Aku bersender pada pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada. Nanase bodoh! Untuk apa ia mengatakan hal tersebut di depan Shoko? Apa ia tidak mengerti betapa malunya aku saat ini? Sial!!
"Rai, jangan lama-lama ya. Sebentar lagi mau jalan." Teriak Shoko dari luar dan aku hanya bisa menghela napas. Ya, apa boleh buat.
Setelah selesai bersiap-siap, aku keluar dari kamar dan langsung menuju lantai bawah. Ternyata semua orang sudah menungguku. Aku tidak peduli juga dengan ocehan mereka. Aku hanya masih kesal dengan tindakan Nanase tadi yang tidak tau diri. Nanase menatapku dan aku langsung membuang muka. Kami semua berjalan masuk ke dalam mobil Takato. Menyebalkannya, aku harus duduk bersama Nanase di belakang sedangkan Shoko duduk di depan di sebelah kursi pengemudi.
Selama perjalanan aku tidak berbicara dengan Nanase sama sekali. Aku hanya terus menatap ke jendela mobil. Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku melihat ke layar ponselku, ada 1 pesan masuk. Kira-kira dari siapa ya?
From: Sakigawa, Nanase
Rai, masih marah ya? Maafkan aku, Rai. Tadi aku terlalu lancang. Maaf ya? Mau kan' kau memaafkan aku?
Aku menghela napas dan menoleh ke arah Nanase. Ia hanya mengukir senyuman di wajahnya. Aku kesal dan segera memberikan balasan.
To: Sakigawa, Nanase
Tadi sungguh memalukan, Nanase! Kenapa kau tega padaku? :( Aku masih kesal padamu. Jika kau mau dimaafkan, buatlah aku tersenyum nanti, baru aku maafkan setelah itu. Itu adalah hukuman karena kau sudah mempermalukan diriku.
Aku tersenyum ketika mengirim pesan itu untuk Nanase. Aku menoleh dan melihat Nanase yang sedang membaca pesan tersebut. Setelah beberapa detik, Nanase mengacungkan jempolnya tanda setuju. Aku menutup mulutku, hampir saja aku akan tertawa saat melihat tingkah laku Nanase.
Memang sebenarnya aku tidak bisa kesal pada Nanase. Aku sendiri tidak mengerti kenapa. Tapi, semakin aku mendekati laki-laki itu aku semakin mengenalnya, meskipun aku tidak mengingatnya saat ini.
Nanase Sakigawa
Akhirnya tiba di kuil juga. Kuil yang kami semua kunjungi ternyata juga sudah ramai dengan orang-orang yang mau melepas lentera bersama pada Festival Obon ini. Aku dan yang lainnya membeli sebuah lentera yang cantik bersama-sama. Untungnya saat kami akan membeli lentera, lenteranya belum banyak yang habis. Awalnya aku kira, kita semua tidak akan mendapat lentera karena kuil ini sudah dipadati dengan lautan manusia.
Acara pun dimulai. Setelah kami semua mengucapkan doa untuk memohon sesuatu, kami diperbolehkan untuk melepas lentera tersebut. Di langit malam, lentera tersebut melayang-layang sambil memancarkan sinar kekuning-kuningan yang berasal dari dalamnya. Aku tiba-tiba ingat dengan hukuman yang diberi Rai tadi. Cepat-cepat aku mendekati Rai yang sedang asyik-asyiknya menatap lentera-lentera tersebut.
"Lenteranya indah ya!" Kataku ketika aku mendekati Rai. Rai menoleh lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Rai, apa aku sudah dimaafkan?" Tanyaku sedikit berharap.
"Belum..." Jawab Rai pendek. Aku menghel napas.
"Ayolah, Rai lagipula kau sudah tersenyum tadi. Aku mohon, Rai! Oh ya, apa aku harus berlutut di hadapanmu agar kau mau memaafkanku?" Dengan cepat Rai menoleh, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengernyitkan dahi mencoba untuk menangkap arti dari semua itu.
"Nanase, jangan bertindak bodoh. Haha... baiklah, kau kumaafkan. Haha... wajahmu, Nanase. Aku tidak tahan, hahaha! Lagi pula, aku juga tidak begitu kesal padamu, hahah!" Dengan jengkel aku hanya mendecakkan lidah lalu memukul Rai pelan.
"Ternyata kau memang masih senang mengerjaiku." Rai menghentikan tawanya. Aku menoleh dan menatap wajah bingung Rai.
"Maksudmu apa, Nanase?" Tanya Rai.
Aku menggeleng pelan lalu tersenyum.
"Bukan sesuatu yang penting. Kau tidak perlu khawatir." Untungnya Rai dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Rai, apa kau mau jalan-jalan denganku sebentar?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"Ya, tentu saja." Rai meraih tanganku dan kami berjalan-jalan di sekitar kuil bersama.
bersambung...
No comments:
Post a Comment