Ruroya Rai
Di malam yang indah ini, aku duduk di sebelah Nanase di taman kuil sambil melihat ke atas langit. Melihat lentera-lentera yang melayang-layang indah di sana.
"Indahnya..." Gumamku pelan. Nanase menoleh.
"Kau mengatakan sesuatu, Rai?" Tanya Nanase dan dengan cepat aku menggeleng.
"Aku hanya berbicara pada diriku sendiri." Kataku sambil tersenyum.
"Seharusnya Riku masih bisa melihat semua ini." Kataku sambil mengangkat tangan ke atas.
"Iya." Aku menoleh ke arah Nanase dan menyenggolnya pelan.
"He-hei, ada apa Rai? Apa salahku?" Aku terkekeh pelan.
"Tidak ada. Aku hanya iseng saja." Nanase menatapku lalu tertawa kecil. Senang rasanya dapat kembali tertawa seperti ini.
"Rai, apa kau mau pergi bersamaku suatu saat nanti?" Nanase tiba-tiba bertnya seperti itu kepadaku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Nanase.
"Tentu saja aku mau, arigato Nanase."
Semalaman kami berdua terus berbincang-bincang tanpa henti. Nanase menceritakan tentang keluarganya. Tapi, Nanase lebih banyak bercerita mengenai pelayannya, Chou dibanding keluarganya sendiri. Ada apa ya? Kata Nanase, seharusnya aku tau tentang masalah keluarga Nanase jika aku tidak kehilangan ingatan seperti ini. Sungguh, aku terlihat seperti orang yang menyedihkan. Tidak tau apa-apa tentang masa lalu temanku. Ya, karena aku hilang ingatan sebagian.
Hari pun semakin larut. Tapi kuil ini masih dipenuhi dengan manusia-manusia yang masih menyaksikan lentera-lentera tersebut. Aku menoleh ke arah Nanase yang duduk di sampingku. Wajahnya tampak terkejut karena melihat sesuatu. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan Nanase?
"Nanase? Ada apa?" Nanase menundukkan kepalanya lalu ia beranjak dari tempat yang ia duduki.
"Rai, aku harus pergi sebentar. Kau tunggu saja di sini. Aku tidak akan lama." Ketika aku hendak memanggil Nanase lagi, Nanase sudah menghilang dalam kerumunan. Aku mencari-cari sosok Nanase tapi tetap saja, tidak ditemukan. Nanase, ke mana ya?
Aku menghela napas panjang dan duduk di taman kuil itu sendirian. Aku menengadah ke langit, lentera-lentera tersebut masih melayang indah di atas langit. Kesepian, itulah yang aku rasakan saat ini. Tapi, aku tidak boleh berpikir seperti itu lagi. Nanase sudah kembali, aku tidak kesepian. Ingat, aku tidak kesepian!! Tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera menjawabnya tanpa melihat ke layarnya terlebih dahulu.
"Rai? Kau di mana?" Sepertinya suara Shoko.
"Shoko?"
"Iya, ini aku Shoko. Kenapa kau tidak lihat dulu namanya di layar baru kau menjawabnya?" Kata Shoko dari seberang sana.
"Maaf. Aku buru-buru saat menjawabnya tadi."
"Baiklah. Kau ada di mana, Rai?" Tanya Shoko khawatir. Beberapa hari ini semua orang lebih sering khawatir dengan keadaanku. Ya, aku ini memang mengkhawatirkan.
"Aku ada di taman kuil ini. Tadinya aku sedang bersama Nanase. Tapi tiba-tiba Nanase bilang mau pergi sebentar. Ada apa memangnya, Shoko?" Shoko menghela napas.
"Sebentar lagi kita semua akan kembali ke kos. Nanase pergi ke mana?" Aku menggeleng pelan dan aku menyadari bahwa Shoko tidak melihat wajahku saat ini.
"Aku tidak tau. Ia hanya bilang mau pergi sebentar. Tidak akan lama. Katanya sih seperti itu."
"Baiklah. Jika kau sudah bertemu dengan Nanase lagi, telepon aku ya."
Setelah itu sambungan terputus. Aku menghela napas panjang. Nanase, cepatlah kembali, aku tidak mau sendirian dan aku juga mau pulang. Aku sudah lelah...
Nanase Sakigawa
Apa aku salah lihat? Apa benar gadis yang tadi lewat di depanku adalah Rukia? Aku harus mengikuti gadis itu. Kalaupun itu Rukia, aku harus bertanya kepadanya dan aku tidak akan peduli dengan pandangan yang meminta dikasihani itu. Aku sudah tidak akan tertipu lagi olehnya. Dengan cepat aku pergi meninggalkan Rai dan langsung menembus kerumunan. Setelah keluar dari kerumunan aku melihat gadis itu berdiri di salah satu tempat yang tersembunyi sambil mengeluarkan sesuatu. Aku berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas.
Aku melihat sebuah cahaya. Tiba-tiba saja aku ingat warna cahaya itu. Warna itu adalah warna... CINCIN RIKU! Astaga kenapa ada di Rukia? Aku harus segera memintanya kembali. Benda itu tidak diperuntukkan untuk orang lain. Benda itu adalah milik Riku.
"Rukia?" Aku memanggil nama Rukia dengan hati-hati. Gadis itu menoleh dan benar, gadis itu memang Rukia. Rukia terkejut dengan kedatanganku.
"Na-Nanase?" Rukia pun mundur selangkah. Aku mendekati Rukia.
"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" Aku menatap Rukia. Tiba-tiba saja Rukia tersenyum. Ya, senyuman itu lagi, senyuman yang bisa membuat hati orang-orang merasa kasihan.
"Tentu saja karena ada Festival Obon. Kau ini bagaimana. Hehe... Nanase sendiri, kenapa kau ada di sini?" Aku semakin jengkel dengan tingkah laku Rukia.
"Rukia, aku bertanya jika kau memang mengikuti Festival Obon ini, kenapa kau bisa ada di tempat tersembunyi ini?" Rukia pun diam seribu bahasa. Ketiak Rukia bergerak, tangannya memancarkan cahaya. Cepat-cepat Rukia menyembunyikan tangannya.
Aku mengernyitkan dahi sambil berkacak pinggang.
"Apa yang kau sembunyikan itu, Rukia?" Aku langsung bertanya pada Rukia tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Rukia menggeleng pelan. Dengan cepat aku berjalan ke arah Rukia dan menarik tangannya.
"Nanase! Apa yang kau lakukan?! Hei!!" Rukia mulai berteriak-teriak. Karena aku takut teriakan Rukia mengundang rasa curiga orang lain, aku mendorong Rukia sampai ke bagian dalam tempat tersembunyi itu.
"Jika kau tidak mau mengaku, aku tidak akan melepaskan cengkeraman ini."
"Baiklah! Aku akan menjelaskannya!" Rukia pun menepis tanganku lalu melepas cincin tersebut. Ia memperlihatkannya kepadaku.
"Sekarang berikan cincin itu kepadaku dan jelaskan kepadaku bagaimana kau bisa mendapatkan cincin ini?" Rukia memberikan cincin tersebut.
"Aku mengikutimu waktu kau pergi ke makam Riku. Lalu aku melihatmu meletakkan cincin itu, aku tertarik untuk melihat cincin itu dan berakhirlah aku mengambil cincin tersebut." Aku memiringkan kepala.
"Kenapa kau mengambilnya?"
Rukia berjalan ke arah pohon dan melihat ke atas. Aku hanya terus menatap Rukia sementara Rukia membelakangiku.
"Ada satu rahasia yang belum kau ketahui dariku." Rukia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kali ini bukan senyuman yang seperti biasa. Senyuman kali ini terlihat begitu licik.
"Apa itu... Rukia?" Aku bertanya tanpa melihat ke arah Rukia sedikitpun.
"Sebenarnya aku adalah tunangan Riku. Aku dan Riku sudah bertunangan selama 2 tahun. Tapi waktu itu Riku membatalkan pertunangan tersebut dan aku membenci Riku. Selama ini aku hanya pura-pura tidak kenal Riku dan Riku pun juga seperti itu. Tiba-tiba saja aku dengar berita bahwa Riku mempunyai kekasih baru. Hal itu tentu mengejutkan diriku. Aku begitu cemburu. Bukan... yang benar adalah sangat cemburu." Aku mengepalkan tanganku. Aku menatap Rukia.
"Lalu, karena rasa cemburu mu itu, kau tega membuat Riku celaka? Manusia macam apa kau, Rukia?" Dengan cepat Rukia menghadap ke arahku. Lalu... PLAK! Rukia menamparku. Matanya pun sudah basah dengan air matanya.
"Aku tidak pernah mempunyai niat untuk membuat Riku celaka hanya karena aku dihantui rasa cemburu! Kecelakaan itu pun bukan karena disengaja, Nanase! Aku tidak tau! Aku tiba-tiba menabraknya, aku sendiri terkejut ketika tau bahwa aku menabraknya!" Aku hanya diam seribu bahasa.
"Aku tau kau pasti berpikir kenapa aku tidak bertanggung jawab, waktu itu aku mau turun dari mobil. Tapi aku melihat kau berjalan ke arah Riku, aku takut bertemu denganmu Nanase! Aku takut kau marah padaku..." Tangisan Rukia mulai pecah dan akhirnya Rukia jatuh berlutut di hadapanku. Ia menangis sekencang-kencangnya, seakan-akan ia baru merasa kehilangan Riku saat ini. Aku berlutut dengan perlahan lalu tanpa berpikir panjang, aku memeluk Rukia. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi. Semua ini terasa begitu menyakitkan...
bersambung...
No comments:
Post a Comment