Tuesday, March 9, 2010

The Story Part 43


Ruroya Rai

Aku mengerjap-ngerjapkan mata ketika aku bangun pagi itu. Aku bingung, kenapa aku tidur sambil duduk seperti ini? Aku membuka mata dan melihat ke depan. Tiba-tiba saja aku melihat tubuh seseorang. Aku berdiri dan melihat wajah orang itu dengan tidak sadarkan diri. Saat aku mendekatkan wajahku ke orang itu, tiba-tiba aku terkejut.

“Nanase?!” Nanase pun langsung terbangun karena terkejut dengan teriakanku.
“Hei, apa yang sedang kau lakukan di kamarku?” Nanase menoleh dan mengernyitkan dahi.
“Rai, ini kamarku…” Aku menggeleng pelan.
“Ini kamarku, Nanase!” Nanase dengan cepat beranjak dari tempat tidur dan memutar kepalaku.
“Rai, lihat ke sekelilingmu. Apa di sini ada barang milikmu?” Aku pun diam seribu bahasa dan wajahku pun mulai memerah.

“Tadi malam kau ketiduran di kamarku. Karena aku tidak tega membangunkanmu, yaa… aku tidak membangunkanmu.” Kata Nanase sambil tersenyum. Astaga! Aku baru ingat, kemarin malam ketika aku menunggu Nanase selesai menelepon aku sempat ketiduran di kamar Nanase. Aduh!! Bagaimana ini? Wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus.
“Ma-maaf, Nanase! Argh!!” Dengan cepat aku lari keluar dari kamar Nanase tapi tiba-tiba saja aku menabrak seseorang. Ternyata Takato yang aku tabrak.

“Aduh…” Takato merintih pelan.
“Takato, maafkan aku!!” Aku langsung meminta maaf pada Takato.
“Rai? Bukankah kamarmu di sana? Kenapa kau keluar dari kamar Nanase?” Tanya Takato sambil menunjuk kamarku lalu berganti menunjuk kamar Nanase. Setelah itu Takato mengernyitkan dahinya. Wajahku pun mulai memerah.
“Astaga, Rai! Apa yang kau lakukan dengan Nanase?” Tanya Takato sambil membantuku berdiri. Aku menahan rasa kesalku, kenapa semua orang berpikir seperti itu? Aargh!

“Aku… argh!! Aku tidak melakukan apa-apa!” Dengan kesal aku langsung masuk ke dalam kamarku. Kenapa aku begitu bodoh sampai ketiduran di tempatnya? Dasar bodoh!

Aku bersender pada pintu sambil mengatur napasku. Aku menyentuh dadaku, ya… memang berdetak dengan cepat. Aku menyeka keringat yang keluar dari dahiku. Kenapa aku sampai berkeringat juga? Dasar aneh. Aku berjalan ke arah lemari dan mengambil beberapa helai pakaian setelah itu pergi keluar untuk mandi.

Di luar aku bertemu dengan Nanase lagi. Kali ini aku memalingkan wajahku agar wajah yang merah ini tidak terlihat oleh Nanase. Aku terus berjalan ke arah kamar mandi, tapi Nanase terus menghadangku.

“Nanase, aku mau pergi mandi! Jangan halangi aku terus!” Kataku sambil memalingkan muka dari Nanase. Aku tau Nanase pasti bingung melihat tingkah lakuku yang aneh ini.
“Kenapa kau, Rai? Memalingkan wajahmu seperti itu?” Tanya Nanase. Aku menghentakkan kaki pelan, sial! Nanase seperti membaca pikiranku saja.
“Tidak apa, ayolah Nanase! Aku mau mandi!”
“Haha… tidak akan aku beri jalan jika kau belum menjawab ini…” Nanase menggantungkan kalimatnya. Aku bingung dan akhirnya aku memberanikan diri untuk mellihat ke arah  Nanase.
“Wuoo… wajahmu merah sekali? Haha…” Nanase tertawa ketika melihat wajahku, dengan cepat aku memukul Nanase pelan.
“Diam saja kau, ayo cepat apa yang mau kau katakan?”
“Haha… baiklah. Bagaimana sehabis kau mandi dan aku selesai sarapan, kita jalan-jalan di Shibuya?”

Ternyata Nanase mengajakku jalan. Aku pun mengangguk setuju dan setelah itu Nanase tidak menghalangiku lagi. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan bersiap-siap untuk bertemu dengan air dingin yang menyegarkan. Ya, karena masih musim panas, udara di Tokyo ini begitu panas. Huaa… segarnya.

Nanase Sakigawa

Saat ini aku sedang terkekeh-kekeh sendirian di meja makan. Kenapa aku terkekeh-kekeh? Ya, karena aku tadi sempat melihat wajah Rai yang merah padam seperti kepiting rebus. Aku sendiri tidak mengerti kenapa wajahnya bisa sampai segitu merahnya. Aku terus tertawa-tawa sendiri sampai Saki dan Shoko bingung melihatku.

“Hei, Nanase, apa kau sedang gila?” Tanya Shoko sambil melempar Koran ke wajahku. Tapi tetap saja aku terus terkekeh-kekeh.
“Wah, jangan-jangan Nanase sedang jatuh cinta?” Tiba-tiba Saki berkata seperti itu dan menghentikan tawaku.
“Maksudmu apa, Saki-san?” Aku bertanya pada Saki dan disambut dengan tawa Shoko yang sudah terbahak-bahak. Aku menoleh ke arah Shoko dan menatapnya dengan jengkel.

“Apa yang kau tertawakan, Shoko?” Shoko dengan tidak berdosanya tetap saja tertawa.
“Hahaha… aku sendiri tidak tau. Haha! Mungkin saja… hahah… wajahmu itu, Nanase! Haha… aku tidak tahan lagi… hahaha…!!” Shoko terus tertawa sampai-sampai Saki menyediakan Shoko segelas air putih.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melihat Shoko meneguk air putih itu sampai habis. Aku melihat ke atas, kenapa Rai lama sekali? Aku terus melihat ke jam tanganku. Memang sih masih pagi, tapi aku takut Shibuya akan cepat ramai.

“Ada apa, Nanase? Kenapa kau dari tadi melihat ke arah jam? Memangnya kau ada janji dengan seseorang?” Tanya Shoko. Aku menoleh ke arah Shoko dan segera mengangguk sambil tersenyum. Aku juga tidak menjawab pertanyaan Shoko sehingga Shoko terus memanggilku sementara aku berjalan ke arah tangga dan mendapati Rai sedang turun dari tangga.

“Mau jalan sekarang?” Tanyaku sambil tersenyum. Shoko dari arah meja makan langsung berteriak.
“Ternyata dengan Rai ya, Nanase? Waaah!! Haha!” Hari ini Shoko memang sedang agak aneh. Aku menoleh ke arah Shoko dan tersenyum tipis. Setelah itu aku mengajak Rai untuk pergi.

Sesampainya di Shibuya. Untungnya belum begitu banyak orang yang melewati tempat ini. Aku mengajak Rai untuk pergi ke toko buku yang ada di daerah tersebut. Di toko buku aku membeli beberapa manga favoritku. Rai mengernyitkan dahinya ketika melihatku masih membeli barang seperti itu.

“Kau senang dengan manga ya?” Tanya Rai ketika aku hendak membayar manga tersebut. Aku mengangguk ke arah Rai sambil tersenyum.
“Haha… kau sama seperti Riku ya. Riku dia adalah otaku.” Kata Rai sambil tersenyum.
“Ya, hahaha… karena kami sahabat, tentu saja memiliki banyak kesamaan. Hehe…”

Rai dan aku terus berjalan-jalan di Shibuya. Kami juga pergi menonton di bioskop lalu pergi berbelanja bahan-bahan masakan untuk di kos nanti serta membeli beberapa buku mengenai keramik. Ya, walaupun sudah lama tidak masuk ke Gakurai Academy, sekarang aku merindukan keramikku yang belum selesai yang ada di Gakurai. Tapi, aku rasa Gakurai akan terasa sangat sepi tanpa kehadiran Riku.

Akhirnya kami berdua pun lelah karena kami sudah berjalan-jalan selama kurang lebih 5 jam. Saat ini aku sedang duduk di taman yang ada di dekat kos. Ya, sebelum kembali ke kos, aku dan Rai menyempatkan diri untuk bersantai di taman ini. Banyak anak-anak yang sedang bermain di taman ini.

“Nanase…” Panggil Rai. Aku menoleh dan menjawab Rai.
“Kau tau, Nanase. Di tempat ini aku sempat berbaikan dengan Riku karena waktu itu kami bertengkar.” Kata Rai sambil memegang botol yang berisikan ocha dingin. Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar Rai berbicara seperti itu.
“Memangnya kau ada masalah apa dengan Riku waktu itu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Rai. Terasa jeda sesaat. Lalu Rai menghela napas.
“Waktu aku di kelas. Riku tiba-tiba menciumku. Tentu saja aku terkejut. Dengan cepat aku mengatakan hal yang seharusnya tidak perlu aku katakan. Dan kata-kata itu lah yang membuat Riku marah. Akhirnya aku hanya menyesali perbuatanku, lalu aku pergi ke taman ini, aku juga tidak pergi ke Gakurai pada waktu itu…” Rai menggantungkan kalimatnya.
“Lalu, kau bertemu dengannya di sini?” Tanyaku dan disambut dengan anggukan Rai.

Ketika Rai hendak melanjutkan ceritanya, ponselku tiba-tiba berdering. Aku terkejut dan langsung mengambil ponselku. Aku melihat ke arah layar dan nama Rukia tertera di layar tersebut. Aduh, ada apa lagi kali ini?


bersambung...

No comments: