Ruroya Rai
Ke mana perginya Nanase itu? Sudah hampir lewat dari janji yang tadi dibicarakan. Apa jangan-jangan Nanase lupa? Aku menuggu kedatangannya di taman ini sendirian dan sampai saat ini, Nanase belum datang juga. Apa yang sedang dilakukan laki-laki itu?
"Dasar bodoh..." Gumamku pelan sambil menengadah ke langit. Tanpa berpikir panjang lagi, aku beranjak dari bangku taman hendak meninggalkan taman tersebut. Untuk apa aku berlama-lama di tempat ini jika nantinya Nanase tidak datang juga? Lebih baik aku pulang. Aku menghela napas dan melangkah untuk meninggalkan taman tersebut.
"Raiiii!! Tunggu!!" Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Saat aku menoleh, aku melihat Nanase berlari-lari ke arahku. Ketika Nanase sudah berdiri di hadapanku, ia membungkukkan tubuhnya dan mengatur napas dengan perlahan. Aku membungku juga untu berbicara dengannya.
"Kau telat, Nanase." Nanase mendongakkan kepalanya sambil memasang wajah bersalah.
"Rai, maafkan aku..." Meskipun Nanase meminta maaf, tetap saja aku masih kesal.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nanase? Aku di sini, menunggumu begitu lama, tapi kau tidak muncul-muncul juga. Seharusnya seorang gadis tidak boleh ditinggal sendirian di tempat terbuka pada malam hari!" Aku mulai menceramahi Nanase. Tapi anehnya, Nanase tersenyum ke arahku. Aku pun semakin jengkel.
"Apa ada yang lucu, Nanase?" Aku mulai membentak Nanase tapi tetap saja, Nanase terus tersenyum.
"Aku senang kau mengkhawatirkanku." Aku membelalakan mataku karena terkejut. Apa aku salah dengar? Memangnya aku mengkhawatirkan Nanase? Dasar aneh.
"Si-siapa yang mengkhawatirkanmu?" Entah mengapa tiba-tiba wajahku terasa panas. Nanase merubah senyumannya menjadi suara tawa yang semakin membuatku jengkel.
Tanpa basa-basi, aku memukul Nanase dengan keras. Akhirnya Nanase merintih kesakitan.
"Hei, pelan-pelan saja. Kenapa kau seperti itu?" Tanya Nanase, aku membuang muka sambil menyilangkan tanganku di depan dada.
"Maafkan aku, Rai. Sudahlah, lupakan saja. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Aku setuju dengan kata-kata Nanase dan aku mengajak Nanase untuk duduk di bangku taman.
Aku duduk dengan diam sambil menunggu Nanase untuk berbicara. Lalu aku mendengar Nanase berdeham.
"Rai, besok aku harus kembali ke Tokyo." Aku terkejut dan menoleh ke arah Nanase saat ia mengatakan hal tersebut. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala.
"Tidak-tidak, kau pasti berbohong kan'?" Aku menunggu jawaban dari Nanase dengan perasaan yang bergejolak.
"Aku tidak berbohong, Rai. Ayahku menyuruhku untuk segera kembali ke Tokyo. Aku sendiri juga sedang ada urusan yang perlu aku selesaikan. Maafkan aku, Rai. Aku tidak jadi tinggal di Sapporo sampai musm panas berakhir."
"Tidak! Jangan pergi, Nanase. Sudah cukup aku ditinggalkan seperti ini terus. Awalnya Riku, sekarang kau. Aku tidak mau, Nanase!" Aku menarik baju Nanase sambil terus menggelengkan kepala. Aku tidak mau Nanase meninggalkanku.
Nanase menatapku. Matanya yang hitam pekat pun seperti bersinar karena pantulan cahaya dari bulan. Begitu indah. Tiba-tiba Nanase memelukku.
"Rai, apa kau sudah ingat semuanya?" Tanya Nanase yang mulai membuatku penasaran.
"Ingat apa, Nanase?"
"Dulu, waktu kita masih kecil, kau sempat merengek-rengek seperti ini dihari aku pindah rumah ke Tokyo. Apa kau sudah mengingatnya?" Aku menggeleng pelan dan entah mengapa Nanase tidak memasang wajah kecewa seperti biasanya. Tapi ia hanya tersenyum.
"Aku mengerti..."
Nanase Sakigawa
Di bawah rembulan yang masih memancarkan cahayanya, aku memeluk Rai dengan pelan dan lembut. Terasa kehangatan tersendiri dari dalam tubuhku. Aku merasa, hatiku seakan-akan menjadi tenang dan damai. Mungkin kebersamaanku dengan Rai akan berakhir di sini, karena besok aku harus segera kembali ke Tokyo.
"Nanase..." Rai memanggilku.
"Ya?"
"Apa besok kau akan tetap kembali ke Tokyo?" Tanya Rai sambil menatapku. Aku membelai rambutnya dengan perlahan.
"Maafkan aku, Rai. Aku harus segera kembali ke Tokyo besok."
Memang rasanya begitu menyakitkan harus meninggalkan Rai. Tapi apa boleh buat, ayah yang menyuruhku dan aku harus menurutinya jika aku tidak mau didamprat lagi.
Aku melepaskan pelukanku dan menatap ke arah Rai.
"Aku pulang dulu ya. Maafkan aku, Rai. Konbanwa!" Dengan perasaan terpaksa, aku meninggalkan Rai sendirian di taman. Selama perjalanan, aku tidak henti-hentinya menjambak rambutku. Kenapa aku begitu bodoh?
Awalnya aku ingin menyatakan perasaanku kepada Rai, tapi yang terlintas di pikiranku hanyalah Rai sudah menjadi milik Riku dan kini Riku adalah sahabatku. Bagaimana mungkin aku bisa merebut Rai dari Riku begitu saja? Itu tidak mungkin.
Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, ternyata Shiori sudah tidur. Dengan cepat aku pergi ke kamarku dan membereskan semua barang-barangku yang akan aku bawa ke Tokyo. Keesokan harinya, aku diantar oleh keluarga Tatsuya ke stasiun shinkansen Sapporo. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Tatsuya, karena mereka mau menerimaku di rumah mereka serta menjagaku dengan baik.
"Hati-hati ya, Nanase!" Aku mengangguk dan segera berlalu. Sebelum memasuki gerbong kereta, aku menatap keluar.
"Aku pergi dulu, Rai." Gumamku pelan lalu masuk ke dalam gerbong.
Tokyo, akhirnya aku sampai di tempat ini lagi. Aku melihat ke sekeliling untuk mencari sosok Nonoru, kakak laki-lakiku. Ketika aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang.
"Ayo tebak, ini siapa?" Suara itu, aku pernah mendengar suara itu, suara seorang gadis. Tidak salah lagi, suara itu adalah suara Rukia. Sedang apa gadis itu di sini?
"Rukia?" Aku menoleh dan benar... Rukia berdiri di hadapanku dengan senyumannya yang ceria seperti biasa.
Anehnya, aku tau Rukia yang menyebabkan kematian Riku. Tapi, kenapa raut wajah Rukia seperti mengatakan tidak terjadi apa-apa? Aku pun terus-menerus memutar otak.
"Nanase, habis liburan di mana?" Tanya Rukia dengan wajah polosnya.
"Aku habis dari Sapporo. Tapi entah mengapa, rasanya lidahku tidak mau bergerak untuk mengeluarkan kata-kata mengenai permasalahan tersebut.
Untungnya Nonoru datang disaat yang aku inginkan. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan Rukia saat ini. Saat Nonoru hendak membantuku, ia terkejut ketika melihat Rukia.
"Hei, itu kan' pelakunya!" Bisik Nonoru.
"Nonoru, diam saja kau. Aku tidak mau mencari keributan di tempat ini! Ayo pulang!" Aku berbisik ke Nonoru. Setelah itu aku menoleh ke arah Rukia.
"Rukia, aku pulang dulu ya!" Dan Rukia mengangguk sambil tersenyum seperti biasa.
Di dalam mobil-Chou yang menjadi supirnya-aku dan Nonoru kembali membicarakan tentang masalah itu. Aku tidak percaya, setelah bertahun-tahun lamanya, aku dan Nonoru bisa menjadi seakrab ini.
"Nonoru, memangnya kau menemukan berita itu dari siapa?" Aku memulai pembicaraan.
"Aku dapat berita itu dari temanku yang kebetulan melihat mobil itu dan pemiliknya." Kata Nonoru.
"Awalnya, temanku ini seperti mengenal gadis itu. Jadi, temanku ini terus mengikuti gadis itu sampai kecelakaan itu terjadi." Jelas Nonoru. Aku hanya terus mengangguk-anggukan kepala. Sebenarnya aku tak habis pikir, kenapa Rukia bisa seperti itu? Aku harus mencari tau semua ini.
bersambung...
No comments:
Post a Comment