Saturday, February 20, 2010

The Story Part 33

Ruroya Rai

Sepulang dari festival tersebut, aku mengucapkan terima kasih kepada Nanase karena hari ini Nanase mau menemaniku. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar memperhatikan boneka yang baru saja Nanase berikan untukku. Aku tersenyum sambil menyentuh boneka tersebut. Apa kau melihatnya, Riku? Nanase memberiku boneka ini. Kembang api di luar belum selesai juga. Aku menatap ke arah jendela.

"Kembang apinya indah ya?" Tiba-tiba Riku sudah berada di sampingku. Entah sejak kapan jika aku memikirkan Riku, pasti ia akan cepat datang. Aku mengangguk untuk menjawab Riku.
"Rai..." Riku memanggilku dan aku menoleh.
"Ada apa, Riku?"
"Tutup matamu." Meskipun aku bingung, aku tetap menutup mataku.

Aku merasakan Riku menyentuh wajahku dan dengan merasakan sentuhannya aku dapat melihat ada beberapa sinar yang menembus mataku, aku tau itu adalah sinar kembang api. Setelah itu aku merasakan bibirku dengan bibir Riku bersentuhan. Aku terkejut dan segera membuka mata, lalu menghindar seperti biasa. Tapi tidak seperti yang dulu cara menghindarnya. Riku pun tersenyum.

"Aku hanya melakukan hal tersebut dengan orang yang sangat aku cintai." Setelah itu Riku menghilang dari hadapanku. Aku menyentuh bibirku dan menatap ke arah luar jendela. Kembang apinya sudah berakhir dan aku langsung berganti pakaian. Aku beranjak dari dalam kamar menuju teras rumah.

Di musim panas ini, pada malam harinya udara terasa begitu sejuk. Aku merasakan desiran angin yang mulai menembus dan menusuk tulang-tulangku. Walaupun rasanya tidak dingin, entah mengapa tubuhku menggigil. Bintang-bintang pun juga sudah bertaburan di langit malam yang indah.

"Nee-chan!!!" Lagi-lagi keheninganku dipecahkan oleh suara Michiru. Dengan perasaan jengkel aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Michiru sedang menggenggam ponselku yang bergetar.
"Ada telepon untukmu." Aku menerima ponselku dan menjawab panggilan tersebut, setelah itu Michiru pergi.

"Moshimoshi." Sapaku.
"Rai, aku tidak mengganggumu kan'?" Ternyata dari Nanase.
"Tidak. Aku sedang bersantai saat ini."
"Umm... kalau begitu, aku mau bertemu denganmu. Kutunggu kau di taman pada tengah malam nanti."
"Memangnya ada apa, Nanase?" Tanyaku yang mulai penasaran.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu nanti ya!"
"Baiklah."

Sesudah itu aku beranjak dari teras rumah dan kembali ke dalam.  Kira-kira apa yang akan dibicarakan Nanase nanti ya? Kenapa Nanase begitu misterius? Aku begitu penasaran, aku ingin tau segalanya tentang Nanase. Sebenarnya apa yang membuatnya terlihat begitu misterius?

Nanase Sakigawa

Setelah mengantar Rai pulang, aku berjalan ke rumah keluarga Tatsuya dengan pikiran yang penuh. Bagaimana mungkin Rukia ada pelakunya? Aku tidak percaya. Aku kenal Rukia, ia adalah gadis yang selalu bertanggung jawab. Tapi jika kali ini Rukia tidak bertanggung jawab, hal tersebut benar-benar tidak dipercaya. Aku menghela napas panjang. Memikirkam semua ini, perasaanku pun bercampur aduk.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah keluarga Tatsuya ketika aku melihat ayahku sedang duduk di ruang tamu. Ayah melihatku dan... aku sudah tau apa yang akan terjadi. Ayah menghampiriku dan dengan senyumannya yang licik... PLAK! Ia menamparku dengan keras, sampai-sampai aku mau terjatuh. Michi, kakak ibuku terkejut melihat aku diperlakukan seperti itu.

"Hiruko! Hentikan! Apa-apaan ini?!" Michi menarik lengan ayahku.
"Diam kau, Michi! Apa urusanmu? Anak ini sudah bersikap kurang ajar dan tidak sopan pada orang tuanya sendiri. Apa kau tidak tau itu, Michi?!" Bentak ayahku dan membuat Michi menjaga jarak dengan ayah. Aku hanya diam dan masih memegangi pipiku yang terasa sakit.

"Sebagai ayah pun, ternyata kau juga harus menjaga omonganmu, Hiruko!" Bentak Michi. Sepertinya Michi membelaku.
"Michi-san, maaf. Biar aku saja yang mengurusnya."
"Nanase..."
"Sudahlah, tidak apa. Lagi pula ia adalah ayah kandungku sendiri." Kataku sambil tersenyum. Michi menghela napas lalu ia mengangguk pelan.

Aku kembali menghadap ke arah ayah. Seperti biasa, ia memasang senyumannya yang licik. Aku benar-benar tidak suka dengan ayahku sendiri. Selalu saja bertindak semaunya sendiri. Aku tau ayah adalah kepala keluarga. Tapi menjadi kepala keluarga, menurutku ayah kurang cocok dengan posisi itu. Aku menghela napas panjang dan menatap ke arah ayahku, aku menunggu ayahku untuk berbicara.

"Mau tidak mau, besok kau harus segera kembali ke Tokyo! Diberi kebebasan sedikit saja, kau masih bisa melawanku juga." Aku tetap diam dan ayah pergi keluar dari rumah keluarga Tatsuya. Sepertinya ia juga akan kembali ke Tokyo.

Michi mendekatiku dan menyentuh pundakku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Michi seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Shiori juga ada di situ dan ia mengulurkan tangannya lalu membawaku ke atap rumah, tempat di mana kami biasanya berbincang-bincang.

Malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang yang aku nanti-nantikan akhirnya keluar juga. Aku tersenyum ketika melihat ke arah langit. Tiba-tiba tangan Shiori yang kecil menggenggam tanganku. Aku menoleh dan mendapati gadis itu dengan raut wajah sedih. Ketika aku hendak bertanya, Shiori mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya di mulutku. Sepertinya Shiori mau bicara.

"Nanase, kenapa kau cepat sekali akan kembali ke Tokyo?" Tanya Shiori, ia tidak menatapku sama sekali.
"Maafkan aku. Semua itu keputusan ayahku. Aku tidak bisa melawan kehendaknya, ayahku memang seperti itu."
"Lalu, kenapa tidak kau berusaha menjelaskan apa yang kau inginkan?" Aku menggeleng pelan.
"Itu tidak mudah, Shiori. Aku akan didamprat habis-habisan jika aku berusaha menasehatinya." Suasana pun kembali hening. Namun, Shiori tetap tidak melepaskan genggamannya dari tanganku. Setelah melamun cukup lama, aku baru ingat kalau aku ada janji dengan Rai.

"Shiori, apa kau tau sekarang pukul berapa?" Tanyaku perlahan.
"Umm... sekarang sudah tengah malam, ada apa?" Aku membelalakan mata.
"Tengah malam?!"



bersambung....

No comments: