Ruroya Rai
"Raii!! Bagaimana kau bisa bertemu dengan Nanase?! Ayo ceritakan padaku!" Teriak Riku di kelas pagi itu. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah laku Riku. Seharusnya Riku lah yang harus datang menolongku, tapi ia tidak pernah keluar rumah jika ia tidak ingin.
"Seharusnya kau yang datang untukku, Riku. Hehe... tetapi malah Nanase yang datang." Kataku sambil tersenyum-senyum jahil. Riku pun mulai mencubit pipiku yang tidak tembem sama sekali.
"Ayo ceritakan, gadis bodoh!" Aku tertawa lepas dan menepis tangan Riku.
"Aku bertemu dengannya saat ia menolongku waktu aku sedang diserang oleh laki-laki tua menjijikan."
"Laki-laki tua? Hah?! Rai, apa kau tidak apa-apa?! Apa yang laki-laki tua itu lakukan?! Sial... akan aku hajar laki-laki tua itu! Mau apa ia dengan gadisku tercinta ini?!"
Aku memasang wajah aneh karena Riku tiba-tiba saja bertingkah laku aneh. Ia berteriak-teriak sendiri karena aku menceritakan kejadianku kemarin.
"Riku, laki-laki tua itu tidak melakukan apa-apa padaku. Tenang saja. Ayo duduk lagi." Kataku dengan begitu santai dan Riku dengan begitu patuhnya langsung duduk manis di depanku.
Selesai pelajaran hari ini, aku langsung pulang menuju kosku. Sesampainya di kos aku meletakkan semua barang-barangku di kamarku. Aku tersenyum lagi di dalam kamar, entah mengapa semenjak aku bertemu dengan Nanase rasanya semangatku kembali lagi. Dan bodohnya lagi, aku lupa menanyakan nomor ponsel Nanase.
Aku berjalan ke lantai bawah dan mendapatkan Shoko sedang duduk-duduk di sofa ruang tamu sambil menyeruput ocha hangatnya. Dengan senyuman di wajahku aku mendekati Shoko.
"Hei, Rai!" Shoko menyapaku dan tersenyum.
"Sedang apa, Shoko? Tumben sekali kau tidak ada kegiatan."
"Haha... iya, hari ini tempat kerjaku diliburkan. Entah mengapa." Shoko menyesap ocha hangatnya pelan-pelan.
"Hei, Shoko... apa kau punya nomor ponselnya Nanase?"
"Hmm? Oh... nomor ponselnya? Seharusnya ada, tapi kata Nanase, jangan beritahu pada orang lain. Jadi maaf, Rai... aku tidak bisa memberitahumu nomor Nanase." Kata Shoko.
"Kenapa begitu?"
"Aku sendiri juga tidak mengerti. Lebih baik kau tanya padanya saja sendiri jika lain kali kau bertemu dengannya."
"Aku harap aku bertemu dengannya lagi, Shoko." Shoko langsung merangkulku.
"Tentu saja, kau pasti akan bertemu lagi dengannya, aku yakin, Rai."
Aku mengangguk pelan dan tersenyum ketika mendengar Shoko berkata seperti itu. Ya, mungkin memang aku yang harus berpikiran positif. Aku yakin aku akan bertemu dengan Nanase lagi suatu saat.
Nanase Sakigawa
Hari ini aku janji bertemu dengan Riku di suatu tempat di Harajuku. Aku berjalan menuju Harajuku dari rumahku. Melihat suasana Harajuku yang begitu... umm, bagaimana mengatakannya ya? Begitu... 'indah' karena banyak orang-orang yang menggunakan pakaian macam-macam. Ya, itulah Harajuku tempat yang begitu 'indah'.
"Nanase! Hei!!" Teriak Riku ketika kami berdua sudah bertemu.
"Riku, hehe... lama tak bertemu!" Aku menyapa Riku sambil tersenyum.
"Iya dan aku tak menyangka hari ini aku akan bertemu denganmu, haha!"
"Sebenarnya, hari ini aku tidak boleh keluar dari rumah, tapi aku melarikan diri lagi seperti biasa." Riku memukulku pelan sambil tertawa-tawa.
"Haha, dasar anak nakal! Ayo, kau harus bercerita, kau bilang kau mau mengatakan sesuatu kan? Kalau begitu kita pergi ke kafe sana saja ya." Kata Riku sambil menunjuk sebuah kafe yang bernuansa barat. Aku hanya mengangguk dan mengikuti Riku.
Di dalam kafe aku mengambil tempat berhadapan dengan Riku. Aku senang hari ini aku dapat bertemu dengannya. Aku tak menyangka, orang yang dulu aku anggap sebagai sainganku sekarang sudah menjadi sahabat baikku sendiri. Aku tidak mau kehilangan sahabat seperti Riku.
"Silakan, Nanase! Ayo bercerita! Haha... aku tidak sabar!"
"Tenanglah terlebih dahulu. Bisa saja ceritaku ini membawa kabar buruk." Kataku sambil menyesap kopi hangat yang sudah disediakan. Riku mengernyitkan matanya, bingung.
"Kabar buruk? Memangnya ada apa, Nanase?" Aku menghela napas.
"Hmm... aku harus keluar dari Gakurai. Ayahku yang menyuruhku." Kataku sambil menunduk.
"Keluar?! Nanase, apa kau gila? Kenapa tidak kau katakan pada ayahmu bahwa Gakurai adalaha tempat yang kau pilih untuk melanjutkan pendidikanmu?" Riku tentu saja terkejut mendengar kabar seperti ini.
"Aku sudah mengatakannya, Riku. Tapi, ayahku tetap tidak mengizinkan."
"Argh! Kenapa Nanase? Aku tidak ingin kau keluar dari Gakurai, kau kan sahabatku, meskipun ada Rai tapi rasanya duniaku belum lengkap jika tidak ada sahabatku yang menemaniku di sana!" Kata Riku dan kata-kata Riku benar-benar menyentuh perasaanku. Sahabat katanya, aku tersenyum.
"Riku, terima kasih. Engkau sudah menganggapku sebagai sahabatmu." Riku pun tersipu dan menutupi wajahnya.
"Hei, Riku... wajahmu memerah? Hahaha... dasar bodoh!"
"Diam kau, Nanase! Siapa suruh kau mengtakan hal yang tidak-tidak!"
Sampai sore pun kami berdua berbincang-bincang di dalam kafe. Bercerita mengenai keluarga kami masing-masing, lalu kegiatan selama aku tidak ada di Gakurai dan masih banyak lagi. Riku juga bercerita bahwa ia pernah bertengkar dengan Rai dan mereka berdua pada waktu itu juga sangat membutuhkanku tapi aku selalu tidak ada. Dasar, aku ini bodoh sekali. Aku tidak bisa membantu teman-temanku karena aku punya masalah dengan keluargaku.
Harajuku pun mulai diguyur hujan rintik-rintik. Aku menutupi kepalaku dengan topi yang kubawa. Untung saja aku bawa topi.
"Nanase, tunggu di sini ya, aku mau beli sesuatu terlebih dahulu. Jangan ke mana-mana!"
"Haha... baiklah, jangan lama-lama ya, Riku! Nanti aku yang keburu sakit." Riku pun menunjukkan jari jempolnya dan segera pergi ke toko seberang.
Aku menunggu Riku sambil duduk-duduk di sebuah bangku yang tersedia di tempat tersebut. Aku memikirkan sesuatu hal, bagaimana cara agar aku bisa tetap berada di Gakurai? Bagaimana cara membuat ayahku kembali normal tidak marah-marah dan sabegainya? Bagaimana cara membuat Rai ingat akan aku? Haha... sampai saat ini juga, aku masih menginginkan Rai. Tapi mau bagaimana lagi, Rai sudah dimiliki oleh Riku yang kini adalah sahabat baikku.
Hujan semakin deras dan aku belum melihat Riku kembali dari toko di seberang. Baiklah, mungkin saja di dalam toko itu banyak yang mengantri. Akan aku tunggu si Riku.
Tapi, semakin hujan turun semakin deras, aku tetap tidak mendapatkan sosok Riku di manapun, sampai akhirnya aku melihat orang banyak berkerumunan di satu tempat. Karena aku penasaran, aku pergi ke tempat yang dikerumuni orang itu. Terlihat darah dari tempat tersebut, saat aku lihat ada apa... aku menutup mulutku. Astaga!! Riku, kecelakaan. Dengan segera, aku mendekati Riku yang terkapar tidak berdaya di tengah jalan. Ternyata ia adalah korban tabrak lari, aku harus segera mencari orang itu, orang yang sudah membuat Riku celaka.
"Heei!!! Cepat panggilkan ambulans!!!" Aku menyuruh beberapa orang yang sedang menyaksikan kejadian ini dan aku memanggil beberapa orang untuk menanyakan nomor plat mobil yang menabrak Riku tadi. Setelah bertanya-tanya aku menghampiri Riku. Denyut jantungnya masih ada, aku tersenyum lega.
"Riku!! Riku!! Berbicaralah! Heeeei!!" Aku berteriak-teriak di depan wajah Riku.
"Na-Na... Nase..." Riku mencari-cari tanganku. Dengan cepat aku menggenggam tangan Riku.
"Sudah, jangan bicara lebih dari ini Riku. Kondisimu masih parah."
"Na-Na...Nase... a-ku mohon... ja-jangan per-gi da-dari Ga-gakurai... Teruskan... studimu... sam-bil, membawa... na-namaku..." Riku terus berbicara dan mataku mulai meneteskan air mata.
"Riku! DIAM!! Jangan berbicara!!" Tangisku pun mulai menjadi-jadi. Riku pun tersenyum dengan wajah yang dipenuhi darah dan memar.
"I-ini... beri-kan pa-pada Rai... katakan... pa-padanya aku mencin-tainya dan kau... Na-nase, ja-jangan be-bersedih... ka-kau me-me-memang... sahabat... ter-ter-baikku... selamat... tinggal..." Setelah mengatakan itu, denyut jantung Riku berhenti. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Riku... Riku telah... ia telah tiada.
Aku melamun menatap tubuh Riku yang dipenuhi darah dan memar dengan tatapan tidak percaya. Riku telah tiada. Itulah kenyataannya. Ambulans pun baru datang dan kemarahanku pun memuncak. Tanpa disadari aku sudah berteriak-teriak di tengah jalan itu menyebutkan nama sahabatku... Rikugan Sakurai. Selamat jalan, Riku...
bersambung...
No comments:
Post a Comment