Sunday, February 14, 2010

The Story Part 26

Ruroya Rai


Lima hari sudah terlewati sejak kematian Riku. Sebelumnya, aku, Nanase, Shoko, Takato, Saki, serta Rukia sempat datang ke acara pemakaman Riku. Aku tidak dapat menahan tangisku waktu ada di sana. Setiap aku sedang sendirian, pasti tangisanku akan meledak begitu saja. Aku menginginkan Riku berada di sini, sangat menginginkannya. Aku tidak bisa kehilangan Riku. Aku belum bisa melepas Riku pergi. Tapi apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain.

Saat ini aku mengurung diri di dalam kamar. Selama 5 hari ini aku tidak keluar kamar, makan saja aku selalu di kamar. Jika aku mau mandi, aku menunggu ruangan di luar sudah kosong baru aku pergi ke kamar mandi. Aku tidak ingin Shoko, Takato, dan Saki melihatku seperti ini. Selama 5 hari ini juga aku tidak berhenti menangis dan hal tersebut membuat mataku membengkak begitu parah. Untungnya aku sudah dibelikan ponsel. Aku bisa berkomunikasi dengan orang lain melalui ponsel ini. Biasanya aku akan mendapatkan kabar dari Nanase. Aku menatap hadiah yang diberikan Riku melalui perantara Nanase tanpa menyentuhnya lagi.

Kali ini aku memberanikan diri untuk menyentuh hadiah tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat sepucuk surat dan aku mengambil surat tersebut. Membacanya dengan seksama. Lama-kelamaan air mataku kembali mengalir dengan deras. Aku terisak-isak saat membaca surat tersebut.

TRRTT! Tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku melihat ke arah layar, ternyata ada pesan yang masuk ke dalam ponselku. Aku buka pesan tersebut. Dari Nanase.

From: Sakigawa, Nanase
Rai... untuk beberapa hari aku akan pergi dari Tokyo. Maaf meninggalkanmu lagi. Jaga diri baik-baik.


Aku menangis lagi. Nanase pun juga pergi. Aku merasa kehilangan seperti biasa. Aku tidak punya tenaga untuk menjalankan hidup lagi. Kenapa kau harus cepat pergi, Riku? Belum sempat aku menghabiskan waktu denganmu, kau sudah meninggalkanku begitu saja.

"Riku... kau tau, aku sangat sedih saat ini karena kepergianmu. Tapi, menangisi kepergian seseorang adalah tindakan yang tidak benar. Artinya aku tidak merelakan kau pergi. Awalnya aku memang tidak rela, tapi bagaimana cara mengatasinya, Riku? Aku masih ingin menghabiskan waktu denganmu. Bagaimana aku bisa bertemu denganmu, Riku? Kau sudah tidak ada di sampingku lagi. Padahal, aku sangat mencintaimu.. Riku..." Aku bergumam sendirian di kamar. Memeluk gulingku dan akhirnya aku jatuh tertidur sambil menggenggam surat Riku.

Nanase Sakigawa


Setelah menuliskan pesan untuk Rai. Aku membereskan semua pakaianku. Aku berniat untuk meninggalkan Tokyo untuk beberapa hari. Aku akan pergi ke Sapporo dan tinggal bersama dengan keluarga Tatsuya. Ya, aku masih membutuhkan waktu untuk melupakan semua yang sudah terjadi di Tokyo.

Aku izin pada ayah dan ibuku, untungnya mereka berdua mengizinkanku. Sebelum-sebelumnya, aku sempat bertengkar dengan ayahku lagi ketika di hari Riku telah tiada. Ia tidak mengizinkan aku untuk datang ke acara pemakamannya. Tapi aku terus memaksa ayahku dengan kata-kataku dan akhirnya ayah mengizinkanku.

Aku bersiap-siap untuk pergi ke Sapporo. Dalam perjalanan, aku melamun terus memandang keluar jendela. Semua obyek bergerak begitu cepat bagaikan sebuah kehidupan yang berjalan begitu cepat. Aku menghela napas panjang dan melamun lagi seperti biasa. Aku memain-mainkan flap ponselku dan lama-kelamaan aku jatuh tertidur di dalam shinkansen yang bergerak begitu cepat.

Setibanya aku di stasiun Sapporo, aku segera menghubungi Shiori untuk menjemputku. Dengan cepat Shiori datang tepat waktu dan membawaku ke rumahnya. Ketika memasuki rumah keluarga Tatsuya, aku disambut hangat oleh Michi, kakak ibuku. Aku hanya tersenyum tipis, karena sudah lama sekali aku tidak tersenyum. Shiori yang mengerti tentang perubahan sikapku, langsung mengajakku ke atas atap rumahnya. Di atap rumah inilah aku biasanya melihat ke arah langit untuk mencari-cari bintang dan bulan.

Ketika duduk di atas atap pun aku tetap diam saja. Tidak berbicara satu kata pun. Shiori semakin bingung dengan sikapku. Dengan lembut, ia merangkulku.
"Nanase, ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Shiori pelan dan hati-hati.
"Begitulah... temanku... teman terbaikku sudah tiada... meninggalkanku sendirian." Kataku sambil menatap langit-langit. Shiori langsung menunduk, merasa tidak enak karena sudah bertanya hal yang tidak-tidak.
"Shiori, tidak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Aku menatap Shiori dengan senyum tipis.
"Aku minta maaf atas kejadian yang menimpa temanmu itu."

Dan suasana pun mulai hening lagi. Aku menghela napas panjang.
"Aku sengaja meninggalkan Tokyo. Aku ingin menghilangkan semua pikiranku tentang kejadian itu." Aku mulai menahan air mataku yang akan jatuh lagi.
"Tidak apa. Itu semua keputusanmu, Nanase. Kau yang ingin pergi untuk menenangkan diri."
"Kenapa? Ugh... menyedihkan! Aku tidak bisa tersenyum sama sekali semenjak ia pergi meniggalkanku. Aku begitu bodoh waktu itu. Kenapa aku tidak ikut pergi dengannya?! Kenapa aku harus duduk diam menunggunya?! Arrgh!!" Tanpa disadari air mataku mulai mengalir dengan deras lagi. Shiori yang duduk di sebelahku langsung memelukku begitu tau aku menangis. Seharian pun aku menangis di dekapan Shiori, saudaraku.



bersambung...

No comments: