Tuesday, February 23, 2010

The Story Part 35

Ruroya Rai


Aku beranjak dari tempat tidurku. Mengambil beberapa helai pakaian dan pergi ke kamar mandi. Astaga, bodohnya aku! Hari ini Nanase akan kembali ke Tokyo. Aku harus mengucapkan selamat tinggal. Cepat-cepat aku pergi ke rumah keluarga Tatsuya ketika aku selesai mandi.

Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, ternyata Shiori yang keluar rumah. Aku langsung melambai ke arah Shiori dan Shiori pun mendekat.
"Shiori-chan, apa Nanase masih ada di dalam?" Tanyaku sambil tersenyum. Shiori memiringkan kepalanya, bingung.
"Nanase? Nanase sudah kembali ke Tokyo tadi pagi." Aku terkejut ketika mendengar Shiori berkata seperti itu. Nanase... Nanase sudah pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku.
"Sudah kembali? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?" Aku merasa begitu kecewa, sangat kecewa. Shiori menatapku dengan kasihan.
"Awalnya, aku juga mau memberitahumu, Rai-chan. Tapi Nanase berkata padaku agar aku tidak perlu meneleponmu. Maafkan aku, Rai-chan." Shiori membungkukkan tubuhnya perlahan di depanku. Aku menyentuh pundak Shiori .
"Tidak apa. Kenapa Nanase seperti itu?" Aku menghela napas panjang.
"Umm... tapi sebelum ia masuk ke dalam gerbong kereta, aku sempat mendengar Nanase mengatakan selamat tinggal padamu."

Aku mengernyitkan mataku. Bagaimana bisa Nanase mengucapkan selamat tinggal kepadaku sementara aku masih berada di atas kasur, berjalan di alam mimpi? Aneh.
"Mungkin saja, Nanase tidak mau menyakitimu dengan kepergiannya." Shiori seperti baru saja membaca pikiranku. Aku tersenyum pada Shiori dan mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas informasinya. Aku permisi dulu ya!" Shiori mengangguk pelan sambil tersenyum dan aku pun segera berlalu dari rumah keluarga Tatsuya.

Aku berjalan di pedesaan Sapporo sendirian. Memikirkan banyak hal seperti biasa. Kenapa Nanase pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku? Aku sendiri juga masih memikirkan siapa pelaku yang menyebabkan kematian Riku? Kenapa semuanya begitu rumit? Menyebalkan. Andai saja ada seseorang yang saat ini menemaniku. Aku menghela napas panjang lalu menengadah ke langit.

Matahari tampak menyinarkan sinar-sinar kuning dan kemerahan di wajahku. Aku menutup mataku agar terhindar dari sinar matahari tersebut. Aku berjalana di pedesaan, sendirian sambil ditemani desiran angin musim panas. Tubuhku pun mulai dipenuhi dengan keringat. Tiba-tiba dipikiranku terbersitlah ide untuk pergi ke pantai di daerah pedesaan ini.

Sesampainya di pantai, aku berdiri di antara pasir dan ombak. Aku merasakan air ombak-ombak itu menggelitik kakiku. Namun, entah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit. Aku merintih pelan, sialnya Riku sudah tidak ada. Aku tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Aku pun terjatuh di atas pasir.

Aku mengingat di waktu kelahiranku, seorang lelaki datang untuk menjaga dan merawat keluargaku. Laki-laki itu kecil tapi memiliki tenaga dan kemampuan yang tinggi. Ia terus membantu keluargaku. Aku mencoba memperjelas gambar laki-laki itu dipikiranku. Tapi tetap saja, aku masih belum ingat siapa laki-laki itu. Saat aku beranjak menjadi seorang anak perempuan yang masih kecil, di pikiranku terlihat aku dengan anak laki-laki itu sangat akrab. Setiap bermain bersama, aku selalu menggandeng tangan laki-laki itu.

"Rai!!!" Pikiran itu tiba-tiba hilang karena aku sudah disadarkan oleh suara Shiori. Bagaimana Shiori bisa ada di sini?
"Shi-Shiori? Bagaimana bisa kau ada di sini?" Aku bertanya pada Shiori ketiak ia membantuku untuk duduk.
"Aku sering ke tempat ini, Rai." Kata Shiori sambil tersenyum. Shiori memang manis, pantas saja Nanase selalu berada di dekatnya.
"Ada apa denganmu, Rai? Tiba-tiba saja kau terjatuh." Shiori bertanya lagi padaku. Aku memegang kepalaku.
"Aku sendiri juga tidak tau. Rasanya aku telah mengingat sesuatu tentang ingatan masa kecilku."

Saat aku menoleh ke arah Shiori, ia terlihat begitu terkejut. Aku mengernyitkan mataku dan tiba-tiba saja Shiori memelukku.
"Rai!! Selamat, kau sudah mengingat semuanya!"
"Hei-hei, Shiori-chan. Aku belum tau semuanya. Di ingatanku tiba-tiba ada seorang laki-laki, tapi aku tidak tau siapa laki-laki itu." Aku menjelaskan semuanya pada Shiori.
"Laki-laki? Apa mungkin yang kau maksud adalah Nanase?"
"Nanase?"

Aku dan Shiori langsung terdiam. Di antara kita yang hanya terdengar adalah suara desiran ombak yang menghantam bebatuan di area pantai tersebut. Aku menengadah ke langit. Lalu tersenyum saat menatap langit.

"Shiori-chan, siapa pun laki-laki yang ada di ingatanku, aku tidak peduli siapa orangnya, aku hanya ingin mencari tau tentang laki-laki itu..." Kataku sambil tersenyum dan menatap Shiori.

Nanase Sakigawa

Aku tiba di rumahku beberapa saat setelah melewati perjalanan yang menggunakan mobil. Nonoru dan Chou membantuku membawa barang bawaanku. Ibu keluar dari rumah lalu memelukku dengan pelan. Tampaknya ibu merindukanku.

"Nanase, selamat datang kembali." Kata ibuku sambil mengecup keningku. Aku tersenyum sambil menatap ibuku.
"Nanase, maafkan ayahmu. Aku tau kau masih merasa kehilangan karena kejadian temanmu itu, tapi ayah memaksamu untuk pulang, ibu mohon, maafkanlah ayahmu." Aku tersenyum dan mengangguk walaupun sebenarnya aku masih sedikit kesal dengan ayahku sendiri.
"Ayo, kita masuk ke dalam. Apa kalian tidak kepanasan?"

Aku melangkah masuk ke dalam rumah setelah itu langsung perge ke dalam kamarku. Saat aku sedang merapikian pakaianku, pintu kamarku diketuk seseorang. Aku membuka pintu kamarku dan mendapati Nonoru sedang berdiri di depannya.

"Ada apa, Nonoru?" Tanyaku bingung.
"Tidak apa, umm... bolehkah aku masuk ke dalam?" Dan aku mengangguk. Nonoru pun duduk di atas tempat tidurku sambil sesekali menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar di kamarku.
"Nanase, apa rencanamu saat ini di Tokyo? Kau kan' tidak boleh pergi ke Gakurai lagi." Tiba-tiba Nonoru bertanya seperti itu padaku. Aku menoleh sambil menatap Nonoru.
"Haha... aku memang ingin kembali ke Gakurai dan pergi dari rumah ini. Tapi mungkin aku akan melarikan diri beberapa hari lagi." Nonoru memukulku pelan.

"Dasar adikku yang aneh. Oh ya, aku dengar ayah akan pergi keluar kota untuk beberapa bulan. Aku yakin kau bisa kembali tinggal di kos itu dan bersekolah di Gakurai." Aku senang Nonoru dapat menyemangatiku.
"Ya, aku akan pergi saat ayah juga pergi kalau begitu. Aku tidak akan membiarkan ayah menghalangi masa depanku lagi!" Aku berdiri sambil mengangkat tanganku. Nonoru pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
 
Malam harinya, aku mendapat surat lagi. Aku menganggap bahwa surat tersebut berasal dari Riku. Apa mungkin benar-benar dari Riku? Coba aku lihat. Aah! Iya, benar. Surat ini dari Riku. Aku menghela napas. Riku, kenapa kau tidak muncul di hadapanku saja? Lebih mudah kan' bicaranya? Dengan seksama aku membaca surat yang diberikan oleh Riku.

Untuk Nanase, sahabatku...
Hei, apa kabar? Maaf akhir-akhir ini aku jarang menemuimu. Aku masih sibuk mengurusi Rai. Entah mengapa Rai sering mengalami depresi. Dan baru saja aku melihat kejadian di mana Rai mulai membuka ingatannya. Entah bagaimana caranya. Mungkin kau bisa membantunya Nanase. Bagaimana? Hmm... apa yang mau aku bicarakan lagi ya? Oh ya, ngomong-ngomong, kau sudah tau pelakunya kan' yang menabrak ku? Bagaimana ya? Hmm... coba kau tulis kata-katamu di bawah suratku ini. Aku tunggu balasanmu ya, Nanase. Sampai jumpa.

Rikugan Sakurai
Aku membaca surat Riku sambil tersenyum. Tiba-tiba saja aku membelalakan mataku ketika aku membaca tulisan yang mengenai Rai sudah dapat membuka ingatannya. Apa mungkin Rai sudah ingat semuanya? Aku melamun sebentar, lalu aku meraih pensil yang ada di atas meja belajarku. Setelah itu aku mulai menulis balasan untuk Riku di bawah surat Riku.

Untuk Riku, sahabatku...
Hei, Riku. Apa kau yakin surat balasanku ini akan segera sampai padamu? Aku baik-baik saja di sini. Tapi aku sangat amat merindukan kehadiranmu, teman! Kenapa kau pergi begitu cepat. Meskipun sekarang sudah berminggu-minggu terlewati sejak kejadian itu, aku masih sering sedih ketika mengingat semuanya. Umm... Riku, kalau memang menurutmu Rai sudah membuka ingatannya, apa aku harus bertanya padanya? Pelakunya ya? Hmm... sepertinya kau mengenal gadis ini Riku. Namanya Hanase Rukia. Aku sendiri sangat terkejut ketika mendengar nama itu yang disebut oleh kakak laki-laki ku. Riku, sekian dulu suratnya. Aku harap balasanku sampai padamu. Sampai jumpa.
Nanase sakigawa
Setelah menulis surat. Aku membaca surat tersebut sekali lagi. Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Aku meletakkan surat tersebut di atas meja dan berjalan ke arah pintu. Aku membukanya dan mendapati ibuku berdiri di sana. Aku mempersilahkan ibuku masuk. Ibu langsung duduk di atas tempat tidurku, sementara aku berjalan ke arah meja belajarku. Aku bingung ketika surat itu tiba-tiba saja menghilang. Aku mencoba mencarinya ke mana-mana, tetap saja tidak ditemukan. Aku mengusap-usap wajahku. Mungkin saja, Riku sudah mengambil surat balasanku. Aku tersenyum.

"Ada apa, Nanase? Kenapa kau tersenyum-senyum sendiri seperti itu?" Tanya ibuku. Aku menggeleng pelan lalu menghampiri ibuku.
"Tidak apa-apa. Aku tadi sempat mendapat surat dari sahabatku yang sudah berada di alam sana." Kataku sambil tersenyum. Ibu langsung terkejut lalu mengelus-elus dadanya karena terkejut.
"Surat? Bagaimana bisa?" Aku pun hanya tersenyum simpul lalu mengibas-ngibaskan tanganku.
"Sudahlah, bu. Lupakan saja. Ayo, ada apa ibu datang ke sini malam-malam? Ayah tidak mencari ibu?" Tanyaku sambil menatap ibuku. Ibuku menghela napas, lalu menggenggam tanganku.
"Ibu sudah tau semua cerita dari Nonoru. Katanya, kau mau kembali ke Gakurai dan tinggal di kos itu lagi ya saat ayahmu pergi?" Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan ibu. Ibuku tersenyum lalu memelukku.
"Baiklah, aku harap kau bisa mencapai cita-citamu di Gakurai. Ibu akan selalu mendukung. Tapi, kau harus selalu memberi kabar kepadaku ya." Aku terkejut saat mendengar kata-kata ibu, lalu aku menoleh dan melukiskan senyuman terlebarku yang pernah ada.
"Benarkah?"



bersambung...

No comments: