Thursday, February 11, 2010

The Story Part 22

Ruroya Rai


"Di mana kita akan bertemu, Rai?"

Saat ini, aku sedang menelepon Riku. Hari ini juga Riku berniat mengajakku pergi keluar. Sepertinya ia akan mengajakku ke sebuah restoran terkenal.

"Bertemu? Lebih baik kau menjemputku di tempat kosku saja." Kataku sambil tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menjemputmu beberapa menit lagi. Tunggu aku ya!"

Sambungan terputus dan aku mulai tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar. Semua imajinasiku tiba-tiba dibuyarkan dengan teriakan Shoko dari luar. Dengan gusar, aku melompat dari tempat tidurku. Dengan cepat aku membuka pintu.

"Shoko!!! Bisakah kau diam?! Aku sedang enak-enaknya 'day dreaming', kau malah berteriak-teriak seperti orang tidak punya otak!" Aku berteriak dari lantai atas.
"Rai, cepat ke sini. Riku sudah menjemput bodoh!" Teriak Shoko dari lantai bawah.

Riku sudah menjemput? Gawat! Aku belum berganti pakaian! Argh! Jadi, dari tadi Shoko memanggilku karena Riku sudah datang? Aargh! Kenapa tidak ia datang ke kamarku. Ayo cepat, aku harus segera berangkat.

Selesai berganti pakaian, aku langsung melesat ke lantai bawah. Ternyata memang benar, Riku sudah menungguku di bawah. Aku tersenyum ke arah Riku dan mengucapkan salam ketika akan keluar kos. Aku berjalan bersama dengan Riku menuju Shibuya. Di Shibuya, banyak orang yang hilir mudik di tempat ini. Hampir saja aku tersesat di tempat yang penuh sesak dengan orang-orang, tapi Riku dengan sigap menarikku dari kerumunan.

Kami berdua tiba di restoran yang Riku rekomendasikan. Riku memesan tempat duduk dan kami berdua langsung duduk bersama. Selama menunggu makanan datang-ketika kami berdua sudah memesannya-Riku terus tersenyum sambil menatapku. Aku hanya membuang muka dan tiba-tiba makanan sudah datang.

"Riku, hari ini kau kenapa? Kenapa menatapku seperti itu?" Tanyaku tidak tahan lagi karena sedari tadi aku terus ditatap oleh Riku. Riku hanya tersenyum dan menopang dagu.

"Hehe... tidak apa. Aku hanya mengagumimu saja. Hari ini kau terlihat cantik." Dengan cepat wajahku langsung merah padam. Riku hanya tertawa kecil melihat tingkah lakuku.

Selesai makan, aku diajak Riku jalan-jalan di Shibuya. Selama perjalanan, Riku terus menggenggamku seakan aku ini tidak bisa dilepaskan olehnya. Semakin lama, aku semakin mencintainya. Riku tau sekali bagaimana harus memperlakukanku.

Sepulang dari Shibuya, aku pergi ke taman di dekat kosku terlebih dahulu. Hari sudah mulai gelap. Aku duduk-duduk di taman bersama dengan Riku. Ia masih saja menggenggam tanganku. Senangnya hari ini aku bisa bersama dengan Riku.

"Riku, terima kasih untuk hari ini. Aku senang sekali." Kataku sambil tersenyum.
"Hehe... sebuah kehormatan, Nyonya Ruroya." Riku tersenyum manis. Tiba-tiba saja tanpa aku sadari, aku mendekatkan wajahku ke wajah Riku dan mengecup pipi Riku dengan lembut. Tentu saja Riku terkejut dan langsung menoleh ke arahku.
"Rai?"
"Ada apa, Riku?" Kataku menahan tawa.
"Tidak apa... u-umm... a-a-arigato."

Setelah Riku mengatakan itu, aku langsung tertawa lepas dan disambut dengan pukulan Riku.

Nanase Sakigawa


Hari-hari penuh siksaan. Seperti biasa, ayah selalu mendampratku habis-habisan. Ibuku hanya menenangkanku setiap kali aku sudah emosi. Aku sudah tidak tau apa yang akan aku lakukan lagi dengan keluargaku sendiri. Waktu itu aku sudah lancang berbicara seenaknya tentang keluargaku sendiri. Sudah pasti ayah sudah naik darah.

Saat ini aku sedang berada di kamar Nonoru. Entah mengapa tiba-tiba aku bisa ada di kamar Nonoru. Nonoru pun tidak peduli dengan kedatanganku di kamarnya. Jadi, dengan tidak dipedulikan aku menggunakan playstationnya untuk bermain.

"Hei, Nanase. Apa yang sedang kau lakukan?" Tiba-tiba Nonoru bersuara. Aku hanya diam saja tidak peduli. Nonoru berjalan mendekat ke arahku dan mematikan televisi. Aku dengan tidak peduli hanya mematikan playstation dan meletakkan kembali stick playstationnya. Ketika aku hendak beranjak dari tempat dudukku, Nonoru langsung menghentikanku. Aku menoleh dan memasang tampang biasa saja.
"Nanase, ada apa?" Entah aku merasa akhir-akhir ini Nonoru juga jadi aneh.
"Ada apa? Apa maksud mu, Nonoru?" Nonoru menghela napas.
"Sepertinya kau sedang ada masalah."
"Menurutmu saja, Nonoru."

Sejenak ruangan terasa begitu sunyi. Aku hanya diam saja membelakangi Nonoru. Sedangkan Nonoru menunggu aku untuk berbicara lagi. Tanpa berpikir panjang, aku menghela napas hendak mengatakan sesuatu yang ingin aku katakan.

"Nonoru, kenapa kau tidak bisa merawat ibu saat ibu sakit? Kenapa kau begitu santai menghadapi keluarga yang begitu kejam ini?"
"Kau tidak mengerti, Nanase betapa beratnya hidupku ini. Saat kau pergi dari rumah, akulah yang terkena getahnya. Aku lah yang disalahkan karena kepergianmu. Karena itu aku membencimu dan sengaja tidak mau merawat ibu supaya kau kembali ke sini." Saat aku mendengar Nonoru berkata seperti itu. Aku langsung berjalan mendekat ke arah Nonoru dan... BUK!! Nonoru langsung jatuh terkapar.

Dengan sigap aku menarik kerah baju Nonoru.
"KENAPA?! Kenapa kau lakukan itu, Nonoru?! Kenapa kau biarkan ibu seperti itu?! Harusnya... harusnya kau sebagai kakak di keluarga ini, seharusnya kau bisa menjaga... keutuhan keluarga ini." Air mata tiba-tiba mengalir dari mataku. Cepat-cepat aku menyeka air mataku ini.
"Nanase, kau tidak mengerti. Kau tidak tau bagaimana rasanya aku di sini. Aku disiksa, Nanase! Setiap hari aku hanya berpikir, kenapa kau pergi dari rumah? Untuk apa?!"
"Tentu saja untuk mencari pendidikan dan mendapatkan hidup baru!" Kataku dengan santai.

Aku menghela napas panjang dan menatap Nonoru.
"Sejujurnya, aku muak dengan keluarga ini. Jika aku tau keluargaku seburuk ini, lebih baik aku tinggal di Sapporo bersama dengan Shiori." Kataku lalu pergi keluar dari kamar Nonoru.

Di luar, aku hanya melihat keadaan rumahku. Kenapa rumah ini begitu indah tapi di dalamnya terdapat keluarga yang hancur? Aku sendiri juga tidak mengerti. Aku berjalan ke arah kamarku ketika aku mendengar suara teriakan dari kamar ayah dan ibuku. Karena penasaran aku berjalan menuju kamar ayah dan ibuku.

"Apa yang kau lakukan, Hiruko?! Ini semua untuk masa depannya! Apa kau akan membuang masa depannya begitu saja?" Teriak ibuku. Nama ayahku Hiruko Sakigawa dan nama ibuku adalah Mitsuko Sakigawa tetapi biasanya dipanggil Tsuko.
"Aku tidak peduli! Aku tidak akan pernah mengizinkannya pergi lagi! Itu sudah keputusanku! Aku akan mengurungnya di tempat ini." Teriak ayahku pada ibuku.

Jantungku terasa berhenti begitu saja dan napasku mulai sesak. Dengan cepat aku pergi menjauh dari kamar ayah dan ibuku. Kenapa? Kenapa keluargaku begitu kejam? Meraih masa depan masing-masing saja dianggap salah. Ada apa ini? Kenapa semuanya menjadi seperti ini?


bersambung...

No comments: