Monday, February 8, 2010

The Story Part 18

Ruroya Rai


Hari-hari ku jalani seperti biasa. Tanpa kehadiran Nanase di tempat kos. Aku sangat merindukannya. Kenapa disaat aku membutuhkannya, ia malah pergi meninggalkan aku. Lebih bodohnya lagi, terakhir kali aku berbincang-bincang dengan Nanase, aku lupa menanyakan nomor ponselnya. Karena kebodohankulah, selama ini aku tidak bisa berbicara dengan nanase sama sekali.

Aku mengerjakan keramikku pada jam istirahat sendirian di dalam kelas. Aku menginjak-injak pedal dengan santai lalu membentuk tanah liatku agar menjadi sebuah bentuk yang indah. Aku tersenyum saat bentuk dari karya yang aku buat mulai terlihat. Aku mengukur-ukur dengan tanganku dan tiba-tiba saja Riku sudah berdiri di sampingku. Ia tersenyum manis seperti biasa.

"Hei, bagaiamana hari ini? Apa kau sudah merasa baikan?" Tanya Riku perhatian dan aku tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Iya, hanya saja Riku. Aku sedikit bodoh, terakhir kali aku berbicara dengannya di telepon waktu itu, aku lupa menanyakan nomor ponselnya maupun alamat rumahnya. Huh!" Kataku jengkel pada diriku sendiri.
"Haha... kau ini, memang ceroboh." Ejek Riku dan aku dengan cepat memukul Riku sehingga membuat pakaian Riku kotor karena tanganku masih penuh dengan bekas-bekas tanah liat.
"He-hei, Rai! Bajuku! Oh tidak! Awas kau ya, Rai!" Lalu Riku mulai mencubit pipiku dengan gemas. Aku pun tertawa lepas secara tiba-tiba.

Tiba-tiba ruangan kelas langsung hening secara tiba-tiba. Aku dan Riku tidak berbicara lagi. Aku tetap melanjutkan pekerjaanku sementara Riku berjalan ke arah jendela.

"Hei, Rai... kau manis sekali jika tertawa seperti tadi." Kata Riku sambil membalikkan tubuhnya ke arahku dan bersenderan ke tembok. Di wajah Riku, terlukis pula senyuman manisnya. Wajahku tiba-tiba terasa begitu panas. Cepat-cepat aku membuang muka. Kenapa Riku harus berbicara seperti itu? Aku benci jika dibuat tersipu seperti ini!

Aku melihat Riku berjalan mendekat ke arahku. Lalu ia mengambil kursi yang ada di sebelah mejaku dan ia duduk di sebelahku. Ia duduk menghadap ke arahku. Tangannya yang besar menyentuh daguku dengan lembut dan tiba-tiba saja bibirku dengan bibir Riku bersentuhan. Aku terkejut dan segera bangkit berdiri dari tempat kerjaku.

"Riku, apa yang kau lakukan?" Aku menutup mulutku dengan lenganku karena tanganku masih kotor. Saat aku bertanya seperti itu, Riku tidak bisa menjawab apa-apa.
"Kenapa, Riku? Seharusnya hal tersebut dilakukan dengan orang yang dicintai!" Entah mengapa tiba-tiba aku mengatakan hal seperti itu dan kata-kataku pun dengan cepat membuat Riku terkejut.
"Rai, apa yang kau katakan? Apa maksudmu hal tersebut dilakukan dengan orang yang dicintai?" Tanya Riku sambil menatap geram kepadaku. Tanganku mulai bergetar, keringat dingin mulai mengucur deras. Kenapa aku berkata seperti itu? Riku pun mulai berjalan mendekat ke arahku sampai akhirnya aku tidak bisa lari ke mana-mana lagi karena saat ini aku sudah menempel pada tembok.

BUK!! Riku memukul tembok dengan keras, napasnya pun memburu di depan wajahku. Tampaknya ia begitu kesal karena sudah mendengar aku berbicara seperti tadi.
"Ada apa denganmu, Rai? Kau benar-benar aneh akhir-akhir ini. Aku menciummu karena aku mencintaimu, Rai! Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi? Kesannya seperti, kau tidak mencintaiku sama sekali. Kau tau, Rai... hati ini begitu sakit!" Kata Riku sambil menyentuh dadanya. Aku tetap diam saja, tidak tau harus berbicara ap. Riku menghela napas panjang.
"Sudahlah, berbicara denganmu... tetap tidak ada guna. Sampai nanti."

Lalu Riku meninggalkan aku sendirian di dalam kelas. Hatiku terasa sangat sakit, Riku... maafkan aku! Maafkan aku, Riku! Aku memang bodoh, aku tidak pernah mengerti perasaan Riku, yang selalu aku pikirkan hanyalah diriku sendiri. Ada apa denganmu, Rai?

Nanase Sakigawa


Setibanya aku di Sapporo, tempat aku akan mengantar ibuku berobat. Aku melihat ke sekeliling dan melihat ada seorang perempuan yang sebaya denganku yang bernama Tatsuya Shiori. Shiori adalah saudaraku yang tinggal di Sapporo. Ibu Shiori atau kakak ibuku adalah seorang dokter yang terkenal. Aku sengaja membawa ibu ke Sapporo supaya kakak ibuku yang akan menyembuhkan ibu. Saat Shiori melihat ke arahku, ia tersenyum manis seperti biasa.

"Nanase! Lama tidak bertemu! Hehe..." Shiori menyambut kedatanganku di stasiun shinkansen Sapporo.
"Hai, Shiori. Apa kabarmu?" Tanyaku sambil tersenyum. Senangnya hari ini aku bisa bertemu dengan Shiori lagi.
"Baik, hehe. Umm... mana ibumu? Ayo, aku antar kalian semua ke rumahku, ibuku sudah menunggu." Kata Shiori sambil tersenyum dan aku mengangguk lalu mengajak ibuku dan Chou serta Nonoru untuk masuk ke dalam mobil Shiori.

Selama perjalanan aku memasuki sebuah pedesaan indah. Tempat tinggal Shiori tidak seperti tempat tinggalku. Ia hanya tinggal di dalam sebuah rumah yang sederhana berbentuk tatami. Mungkin ibu tidak akan suka ini, karena ibu tidak suka tinggal di daerah yang begitu biasa. Sesampainya aku di rumah Shiori, aku keluar dari mobil membantu ibuku. Apa yang aku katakan tadi benar, ibu mengernyitkan dahiny saat melihat rumah kakaknya sendiri. Dengan sedikit memaksa aku menarik ibuku masuk ke dalam rumah kakak ibuku, Tatsuya Michi.

Michi menyambutku, ibuku, Chou, dan Nonoru dengan senyuman hangatnya. Tapi anehnya, ibuku tetap memasang wajah tidak suka terhadap rumah kakaknya sendiri. Sampai-sampai ibuku mengomentarinya.

"Michi, kenapa kau tidak ganti bentuk rumah? Rumah ini sudah kumuh!" Aku memukul ibuku pelan. Michi melihat tindakanku dan ia langsung tersenyum.
"Nanase, tidak apa. Aku sudah biasa mendapatkan komentar dari ibumu. Ibumu memang suka seperti itu waktu kecil juga." Kata Michi sambil tersenyum. Dilihat-lihat, Michi adalah wanita yang berumur 30-an yang begitu sabar dalam menghadapi semua orang.

Tanpa banyak bicara aku menceritakan pada Michi bahwa ibuku sakit dan dengan cepat Michi segera membawa ibuku ke ruang perawatannya. Aku harap ibu akan segera sembuh dan sehat seperti biasa.



bersambung....

No comments: