Nanase mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Aku senang bisa kembali ke rumah orang tuaku. Setibanya di dalam rumah, aku disambut oleh ayah dan ibuku serta... Michiru? Kenapa ia ada di sini? Bukannya Michiru ada di Tokyo? Aku terkejut dengan kedatangan Michiru, adik perempuanku.
"Michi? Kau... bagaimana bisa?" Tanyaku sambil menunjuk-nunjuk Michiru.
"Taadaa! Kejutan! Hehe... aku sengaja kembali ke Sapporo untuk mengejutkan nee-chan!" Kata Michiru sambil tersenyum.
"Nyonya Ruroya dan Tuan Ruroya, saya permisi terlebih dahulu." Kata Nanase sambil mengucapkan salam pamit.
"Sakigawa-kun, tunggu sebentar!" Tiba-tiba ibuku berjalan ke arah Nanase dan mereka langsung melakukan perbincangan yang serius. Setelah itu Nanase pulang meninggalkan rumahku.
Aku menghela napas sambil melihat mobil Nanase yang semakin menjauh dari penglihatanku.
"Rai, apa kau benar-benar tidak mengingat siaa itu Sakigawa-kun?" Tanya ibuku yang tiba-tiba datang menghampiriku. Aku menggeleng pelan. Lalu aku menoleh dan melihat raut wajah ibu yang terlihat begitu kecewa. Aku berpikir pada diriku sendiri, sebegitu pentingnyakah Nanase untuk ibuku?
"Maafkan aku, bu. Karena kecelakaan waktu itu, kepalaku terbentur sesuatu sehingga ingatan masa kecilku dulu hilang seketika. Tapi, bukankah kata dokter, ingatanku akan kembali secara perlahan-lahan? Ibu tidak perlu khawatir."
"Bukannya seperti itu. Ibu merasa, Sakigawa-kun terlihat begitu terpukul karena kau tidak bisa mengingatnya sama sekali."
"Memangnya, hubungan apa yang aku jalin dengan Nanase, bu?"
Ibuku pun mengajakku masuk ke dalam dan duduk di salah satu matras di ruang tamu. Michiru datang dan menyiapkan 3 gelas ocha dingin. Aku menunggu ibu untuk melanjutkan pembicaraannya dengan meneguk ocha dingin yang dibawa oleh Michiru tadi.
"Kau dengan Sakigawa-kun... kalian berdua waktu masih kecil... seperti tidak terpisahkan..." Ibuku memain-mainkan sisi gelas, lalu menghela napas.
"Tapi, waktu itu Sakigawa-kun harus pindah ke Tokyo dan ibu ingat, kau begitu sedih ketika tau Sakigawa-kun akan pindah..."
"Sebut saja Nanase, ibu." Aku memotong kata-kata ibuku sambil tersenyum. Entah mengapa jika ibu tidak menyebut nama Nanase, rasanya ada yang aneh.
"Umm... baiklah. Ketika kau beranjak dewasa pun, kau masih begitu depresi ingin bertemu dengan Nanase. Karena itu kau memutuskan untuk pergi ke Tokyo dan mencari pendidikan di sana. Tapi, tiba-tiba saat kau sudah tinggal di Tokyo, temanmu Riku... memberitahukan kepada ibu bahwa kau mengalami kecelakaan... itulah yang menyakitkan." Aku pun terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata selama ini hubunganku dengan Nanase seperti ini. Tapi aku masih belum bisa mengingat apa-apa, jadi semua yang ibuku ceritakan juga aku tidak begitu mengerti.
Aku menghela napas sambil menatap gelasku yang sudah kosong. Pikiranku pun kosong. Mungkin yang ibuku bilang, aku jatuh cinta pada Nanase pada awalnya. Tapi saat ini, aku hanya mencintai satu orang dan aku belum bisa melepaskannya. Ya, tentu saja Riku. Ia lah cinta pertamaku di kehidupanku yang sekarang. Mungkin ibuku bisa bilang, Nanase lah cinta pertamaku, tapi hatiku mengatakan hanya Riku yang menjadi cinta pertamaku.
"Rai, ibu minta maaf atas kejadian yang telah menimpa Riku." Aku menatap ke arah ibuku.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang sudah diatur semua ini." Kataku sambil tersenyum.
"Rai..." Panggil ibuku lagi.
"Ya, ibu?"
"Kau... kau mulai dewasa." Ibuku mengulaskan senyuman di wajahnya.
Nanase Sakigawa
Dalam perjalanan menuju rumah Shiori, di tengah jalan aku menghentikan mobilku-sebenarnya aku pinjam dari keluarga Tatsuya-di sebuah tempat. Tempat ini memiliki banyak pepohonan yang rindang. Aku tidak keluar dari mobil, hanya menatap keluar. Melamun dengan pikiran kosong. Aku bersender pada setir mobil dan menghela napas.
Saat ini, aku benar-benar merindukannya. Sial! Kenapa selama Riku masih ada di sini, aku dapat melupakannya dengan begitu mudah? Tapi, sekarang Riku telah tiada, tidak ada di sampingku maupun di sampingnya dan sekarang aku berpikiran untuk merebutnya. Apa mungkin kau mengizinkannya, Riku? Aku mendongak dan melihat ke arah pohon yang indah itu. Di sana, aku melihat seseorang mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya pun seperti wajah... Riku? Aku terkejut ketika melihat hal seperti itu.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku turun dari mobil dan berjalan ke arah pohon tersebut dengan perlahan. Tapi, ketika aku sampai di depan pohon itu, sosok Riku tidak kelihatan lagi. Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal. Ke mana Riku pergi?
"Nanase!" Aku mendengar suara Riku. Tapi aku tidak menemukan sosoknya sama sekali.
"Riku? Riku!!! Di mana kau? Ayo perlihatkan dirimu!" Aku berteriak di bawah pohon tersebut.
"Hei, Nanase!" Riku pun akhirnya muncul di depanku. Aku tersenyum senang saat melihat kehadiran Riku di depanku.
"Riku, aargh!! Sial! Aku merindukanmu, teman!" Aku mendekati Riku.
"Haha... ada apa, Nanase? Setiap hari kerjaanmu hanya memanggilku."
"Jika kau tau kau dipanggil olehku, kenapa tidak muncul juga di hadapanku?" Tanyaku sambil tersenyum ke arah Riku.
"Sebetulnya, aku selalu ada di dekatmu, Nanase. Hanya saja kau seperti tidak merasakannya dan kau tidak percaya jika aku memang sebenarnya masih ada di dunia ini."
"Tidak percaya?"
"Ya... waktu itu, apa kau ingat, Rai pernah bercerita bahwa ia bertemu denganku kan'? Saat Rai mengatakan itu, kau tidak percaya dengan kata-kata Rai, karena itulah aku tidak bisa dilihat olehmu." Kata Riku menjelaskan semuanya. Aku hanya mengangguk-angguk.
Aku langsung duduk di bawah pohon, menengadah ke langit dan menatap awan-awan yang bergerak karena ditiup angin.
"Riku..." Aku menoleh dan tiba-tiba Riku sudah tidak ada. Sial, lagi-lagi Riku menghilang. Kenapa, disaat aku akan mengatakan sesuatu, ia pergi begitu saja? Aku menghela napas.
"Nanase, temanku yang terbaik... jangan lupa jaga Rai baik-baik ya! Hehe... sampai nanti!" Aku terkejut ketika mendengar suara Riku, tapi seperti biasa sosoknya pun tidak muncul. Mungkin Riku memang sudah pergi. Aku pun beranjak dan kembali berjalan ke arah mobilku. Sebelum aku masuk ke dalam mobil, aku menoleh dan menatap pohon tersebut sekali lagi. Aku akan mengingat tempat ini, tempat di mana aku bertemu dengan Riku.
Sesampainya di rumah keluarga Tatsuya, Shiori langsung menghampiriku. Dengan senyuman di wajahnya seperti biasa, ia memberikanku sesuatu.
"Nanase, aku tidak tau ini dari siapa, tapi di sini tertulis untuk mu." Kata Shiori sambil memberikan sebuah surat. Aku mengernyitkan mataku dan mengambil surat tersebut dari tangan Shiori.
"Siapa yang mengirimi aku surat? Kenapa tidak mengirim pesan lewat ponsel saja?" Aku bergumam sendiri sambil membuka surat tersebut.
Untuk Nanase, sahabatku...
Hei, Nanase! Kau tau, walaupun aku sudah tidak benar-benar nyata di dunia ini, aku masih bisa mengirim surat. Sunggu menyenangkan! Haha... maaf tadi aku meninggalkanmu tiba-tiba, entah mengapa aku juga harus pergi ke suatu tempat. Tapi, ingat pesanku tadi ya, jagalah Rai baik-baik. Aku tidak ingin ia kenapa-napa lagi, apalagi sejak aku tidak ada, tingkah lakunya semakin aneh... Oh ya, Nanase. Jika ada waktu, mungkin aku akan mengirimu surat lagi dan suratnya akan berisi tentang semua yang ingin aku bicarakan denganmu. Ngomong-ngomong, jangan marah-marah karena orang tidak mengirimu pesan ke ponselmu ya. Hehe... sampai nanti, Nanase! :)
Rikugan Sakurai
Aku tersenyum saat membaca surat tersebut. Shiori yang melihat ke arah surat tersebut bingung.
"Nanase... kau sedang membaca apa?" Tanya Shiori.
"Tentu saja surat, Shiori. Memangnya kau tidak lihat apa?" Shiori menatapku sambil mengernitkan dahinya.
"Yang aku lihat hanyalah kertas putih, Nanase."
"Kertas putih?"
"Iya! Arrgh! Hari ini semuanya aneh! Ibu aneh, ayah aneh, dan kau Nanase, saudaraku juga aneh. Huuu... ada apa dengan semua orang hari ini?" Shiori pun merasa jengkel dan berjalan meninggalkanku menuju kamarnya sendiri.
Aku tidak bisa menahan tawa saat melihat Shiori bertingkah laku seperti itu. Tapi, kenapa Shiori tidak bisa melihat ada tulisan di kertas ini? Ya, itu memang aneh tapi... terima kasih, Riku atas... surat yang kau berikan.
bersambung...
No comments:
Post a Comment