Ruroya Rai
Lelah. Hal tersebut yang aku rasakan pertama kali. Kencan hari ini memang melelahkan. Melelahkan tubuhku, melelahkan hatiku, dan lain-lain. Riku sangat bersemangat tadi, sedangkan aku seperti terpaksa masuk ke kandang singa dan memasrahkan diriku untuk diterkam. Kenapa hari ini begitu melelahkan? Aku tiba di kos pun, semua orang bertanya padaku tentang keberadaan Nanase. Katanya mereka sudah menelepon ke ponsel Nanase berkali-kali, tapi tetap tidak tersambung. Dasar laki-laki yang berasal dari keluarga kaya raya, ponselnya saja tidak bisa dihubungi.
Saat ini aku sedang duduk-duduk di dalam kamarku yang kecil ini sambil menikmati alunan musik yang dinyanyikan oleh Kawada Mami. Aku melihat ke arah jendela, tampak bintang-bintang bertaburan di langit malam. Indah. Kata itulah yang pertama kali melewati pikiranku.
Ketika aku sedang melamun menatap langit malam, tiba-tiba pikiranku diingatkan akan kejadian itu. Kejadian mengerikan yang pernah aku alami. Kejadian saat sebuah mobil yang melaju begitu kencang menubrukku begitu saja dan mengakibatkan aku terkena amnesia sebagian. Aku ingat saat itu memang Riku yang menolongku, karena orang tuaku berada di Sapporo dan hanya adikku seorang yang tinggal di Tokyo, Riku yang selalu menjagaku di rumah sakit. Akibat dari kecelakaan ini aku kehilangan sebagian ingatanku, untungnya aku tidak amnesia total.
"Raii!!" Ya, ceritaku pun terganggu oleh teriakan itu. Shoko berlari ke arah kamarku dengan langkah yang tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Shoko?"
"Kau tau di mana Nanase berada?" Semua orang memang mencari Nanase, mengkhawatirkan dia, tapi aku tidak tau di mana ia berada. Terakhir aku melihatnya saat aku sedang kencan bersama Riku tadi siang.
"Aku tidak tau, Shoko. Terakhir aku melihat Nanase ya, saat aku sedang kencan dengan Riku."
"Kau tau Nanase pergi ke mana saat itu?"
"Ke taman, tempat kencanku dengan Riku tadi."
"Sial! Dasar Nanase, lihat saja sampai nanti dia kembali ke kos ini, akan aku hajar habis-habisan!" Lalu Shoko pergi menuju lantai bawah. Aku tersenyum mendengar semua itu.
Hei, Nanase... ke mana saja kau? Sudah malam begini, kau masih belum muncul di kos. Aku harap kau baik-baik saja, Nanase.
Nanase Sakigawa
Angin malam menerpa diriku yang berjalan di tengah remang-remang lampu jalanan sendirian. Pikiranku kacau saat ini, sangat kacau. Aku mengingat-ingat tentang kejadian tadi. Saat Rukia bertanya padaku tentang mendapatkan seseorang yang aku cintai.
"Hmm... aku tidak begitu memikirkan tentang mendapatkan seseorang yang aku cintai. Aku hanya berharap orang yang aku cintai itu mau menerimaku apa adanya." Itulah yang aku katakan tadi kepada Rukia.
"Nanase... bolehkah aku mengatakan sesuatu?" Tanya Rukia dengan wajah yang tertunduk saat itu. Aku mengangguk pelan.
"Apa yang mau kau katakan, Rukia?" Terasa jeda sesaat pada waktu itu dan terdengar pula, Rukia menghela napas panjang.
"Nanase, aku... entah sejak kapan, aku sudah mendapatkan seseorang yang aku cintai. Aku merasa sangat nyaman jika ada di samping orang itu."
"Siapa orang itu, Rukia?" Aku menoleh ke arah Rukia yang saat itu sedang menatapku.
"Orang itu bernama... Nanase Sakigawa."
Saat aku mendengar namaku disebut, jantungku seperti berhenti sesaat. Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa Rukia memilihku? Bukankah aku bukan laki-laki yang pantas untuknya? Aku diam seribu bahasa, tidak tau harus menjawab apa saat itu. Sejujurnya, aku juga merasa nyaman jika berada di dekat Rukia. Tapi perasaanku padanya saat ini bukanlah lebih dari suatu persahabatan. Aku bahkan tidak jatuh cinta pada Rukia. Karena aku kebingungan mau menjawab apa, Rukia memberiku beberapa waktu untuk menjawab perasaannya.
Benar-benar kacau hari ini, pikirku. Aku sampai di kos sekitar pukul 2 pagi. Mungkin saja penghuni-penghuni kos ku banyak yang kalang kabut karena aku tidak kembali juga ke kos. Ponselku pun mati karena kehilangan banyak energi sama sepertiku yang sudah sangat lelah.
Saat aku mengetuk pintu kos, terdengar suara kaki yang berderap-derap bersamaan. Aku hanya mengangkat alisku dan memikirkan apa yang sedang terjadi. Pintu pun dibuka dan... semua barang melayang keluar. Ada bantal, sendok, kain serbet, sampai panci. Aku merasa ada yang tidak beres, ya benar, memang ada yang tidak beres. Semuanya jadi geram melihatku karena aku pulang telat. Aku pun merasa bersalah dan segera meminta maaf. Untungnya Saki dan Takato cepat memaafkanku, tapi Shoko, wanita ini tidak bisa dilawan dengan mudah. Ia menarik telingaku dan menyeretku masuk ke dalam.
"Nanase!! Ke mana saja kau?!" Shoko berbicara tepat di depan wajahku saat kami berdua tiba di ruang tamu.
"He-hei, Shoko. Tenang terlebih dahulu! A-aku tidak akan bisa cerita jika kau marah-marah seperti ini." Kataku sambil menutup wajahku karena aku takut melihat wajah Shoko yang begitu seram.
"Baiklah, kau harus ceritakan semuanya besok pagi. Sekarang kau lebih baik pergi istirahat, dasar Nanase bodoh!" Aku pun beranjak dari tempat duduk dan tertawa lepas melihat tingkah laku Shoko. Wanita muda ini memang unik, sudah seperti kakak perempuanku saja.
bersambung...
No comments:
Post a Comment