Ruroya Rai
Acara perkemahan kami hari ini adalah pergi memancing. Takato terlihat begitu bersemangat sambil membawa pancingannya. Aku yang hanya duduk-duduk di dekat tenda menyaksikan semua orang sibuk membereskan peralatannya masing-masing. Aku menghela napas panjang. Seperti biasa, aku selalu diam di tempat, aku merasa seperti beban bagi yang lain. Riku yang melihatku dari kejauhan tiba-tiba mendekatiku perlahan.
“Kau kenapa lagi, Rai?” Tanya Riku sambil menyentuh pundakku dan membungkuk sedikit. Aku menggeleng pelan.
“Katakan semuanya padaku jika kau memang punya masalah.” Kata Riku sambil tersenyum. Setelah itu Riku pergi meninggalkanku.
Sendiri. Saat ini aku memang suka menyendiri. Entah mengapa. Sebenarnya aku ingin sekali berbicara dengan seseorang. Seperti berbicara pada Shoko, Takato, ataupun Nanase. Aku menghela napas. Aku menengadah ke langit dan melihat matahari sudah berada di tengah-tengah. Hari memang sudah siang dan di daerah ini meskipun matahari begitu terik, udara dingin masih terasa di tempat ini juga.
Aku melihat mereka semua-Shoko, Riku, Takato, dan Riku- yang sangat bersemangat hari ini. Ya, selalu saja aku yang tidak bersemangat. Saat aku sedang asyik-asyiknya memperhatikan mereka, Nanase tiba-tiba melirik ke arahku. Aku terkejut dan dengan segera memalingkan wajahku dari pandangan Nanase. Aku langsung mencuri-curi pandang dan aku melihat Nanase sedang berjalan ke arahku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Nanase? Arrgh! Sial!
"Hei, Rai! Diam saja kau dari tadi." Kata Nanase tiba-tiba. Aku menoleh dan tersenyum dengan canggung.
"Kelihatannya aku kurang tidur jadi, hari ini aku merasa lelah sekali." Kataku berbohong. Padahal aku sedang malas melakukan kegiatan apapun selain melamun.
"Hmm... baiklah, aku buat kau tidak merasa lelah lagi! Ayo, aku ajarkan cara memancing. Bagaimana?" Tanya Nanase sambil memberikan tangannya.
Selama beberapa saat aku merasa ragu menerima tawaran Nanase. Tapi, tanpa berpikir panjang aku langsung meraih tangan Nanase dan beranjak dari tempat duduk. Di siang yang cerah itu, aku belajar memancing bersama Nanase. Entah kenapa, aku seperti merasakan sesuatu yang dulu pernah aku rasakan. Aku seperti mengenal laki-laki ini. Tiba-tiba saja, aku bisa tertawa lepas saat berada di dekat Nanase, aku tidak mengerti cara apa yang ia gunakan untuk membuatku menjadi seceria ini. Tapi, aku bersyukur dapat bersama-sama dengan Nanase hari ini.
Sore harinya, udara di tempat perkemahan ini masih saja dingin. Aku duduk di depan perapian di depan tenda. Meniup-niup tanganku yang dingin agar menjadi hangat. Takato yang duduk di sebelahku tiba-tiba memukul panci keras-keras. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Kau tau, bunyinya tidak bagus, sangat tidak bagus.
"Takato, kau kenapa? Kenapa memukul panci seperti itu?" Shoko langsung angkat bicara.
"Ehm... aku punya beberapa berita. Mau dengar?" Cara berbicara Takato seperti sedang mengajar anak-anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.
"Sudahlah, Takato! Langsung ke intinya saja!" Nanase pun angkat bicara juga.
Takato berdeham dan tersenyum ke arah kami semua. Ia mengangkat tangannya lalu melambai-lambai seperti orang aneh.
"Hari ini adalah hari terakhir kita semua berkemah. Besok, kita akan segera pulang untuk melanjutkan aktifitas seperti biasa." Aku menghela napas, jadi yang dari tadi Takato mau katakan adalah hal seperti ini? Dasar aneh. Tentang hal seperti itu aku juga sudah tau.
Malam harinya, aku langsung pergi tidur di dalam tenda. Aku tidak mau seperti orang yang tidak bersemangat lagi. Konbanwa, semua!
Nanase Sakigawa
Bahagianya hari ini. Aku merasa lebih dekat dengan Rai. Hari ini aku mengajarinya cara memancing dan kami juga berbicara banyak tentang berbagai hal. Aku ingin ingatan Rai kembali seperti dulu. Malam ini, seperti biasa aku duduk di pinggir danau sambil memain-mainkan flap ponselku. Aku menengadah ke langit dan melihat bulan yang sama seperti kemarin. Karena keasyikan melihat bulan tersebut, aku jadi teringat dengan kata-kataku sendiri. Kata-kata yang aku berikan untuk Rukia. Aku menutup wajahku dan berpikir bahwa aku ini bodoh. Tapi, mengatakan hal tersebut bukanlah hal yang salah. Aku cukup senang dapat mengatakan kata-kata yang sudah aku pendam bertahun-tahun.
Saat sedang asyik melempar-lempar batu ke arah danau, seseorang langsung mengambil posisi duduk di sampingku. Aku menoleh dan mendapati Shoko sedang memeluk kedua kakinya sambil menggigil kedinginan. Ya, Shoko memang ceroboh, selalu saja lupa membawa mantel. Dengan cepat aku melepaskan mantelku dan memakaikannya pada Shoko. Dari raut wajah Shoko, ia terlihat begitu terkejut. Tapi aku hanya membalas tatapannya dengan senyumanku.
"Nanase, tidak perlu repot-repot!" Shoko mulai protes padaku.
"Sudahlah, lagi pula aku tidak merasa kedinginan sama sekali." Kataku sambil tersenyum dan Shoko pun menurut. Suasana di antara kami berdua pun menjadi hening seketika.
"Shoko, kenapa kau tidak istirahat di dalam tenda?" Tanyaku memecah keheningan.
"Aku tidak bisa tidur sama sekali. Sepertinya aku harus menceritakan sesuatu padamu." Kata Shoko sambil menatap pantulan dirinya yang terpantul di permukaan danau tersebut.
"Sesuatu? Memangnya ada apa, Shoko?"
"Mengenai kekasihku waktu itu..." Aku tidak berkata apa-apa dan membiarkan Shoko untuk melanjutkan ceritanya.
"Kekasihku bernama Hiruho Akita. Aku dan Akita sudah menjalani hubungan selama 2 tahun. Namun, beberapa lama kemudian, Akita meminta untuk berpisah dariku. Tentu saja aku begitu terkejut dengan keputusan Akita. Aku tidak menyangka, bahwa laki-laki yang begitu aku cintai akan meninggalkanku dengan alasan yang tidak begitu jelas. Saat aku mencari tau tentang Akita, aku baru tau ternyata Akita masih memiliki seorang wanita yang ia cintai. Tapi wanita itu tidak mencintai Akita. Karena ia tau wanita itu tidak mencintainya dan Akita tau bahwa aku mencintainya, Akita pun menerima perasaanku. Saat itu aku begitu bahagia bisa bersama dengan Akita. Namun, setelah aku ketahui, aku hanyalah tempat pelarian bagi Akita..." Shoko bercerita panjang lebar dan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya diam seribu bahasa.
"Lalu, apa hubungannya dengan kata-kataku yang kemarin itu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Shoko.
"Haha... hubungannya ya? Hmm... aku hanya iri. Kenapa Akita tidak bisa bersikap seperti dirimu? Dasar bodoh kau, Akita." Shoko menahan tawa, lalu menengadah ke langit.
"Sikap setiap orang berbeda, Shoko. Kau harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan Hiruho-san." Kataku sambil memainkan flap ponselku dan Shoko mengangguk-angguk tanda mengerti.
Lama-kelamaan, aku merasa kedinginan juga dan akhirnya aku beranjak dari tempat itu sehingga Shoko langsung menoleh ke arahku.
"Ada apa, Nanase?" Tanya Shoko.
"Hei, Shoko. Bagaimana kalau sekarang kita kembali ke tenda, aku mulai kedinginan di sini, hehe..." Kataku sambil tersenyum jahil.
Shoko menatapku dengan tatapan aneh, lalu ia berdiri dan memukulku pelan. Aku meringis kesakitan.
"Aduh! Ada apa, Shoko? Apa salahku?" Tanyaku sambil meringis kesakitan.
"Sudah aku bilang, jangan berikan mantelmu padaku. Lihat, kau sendiri juga kedinginan!"
"Aku hanya berbaik hati meminjamkan, hehe. Ayo, kita kembali saja."
"Baiklah!"
Aku berjalan berdampingan bersama Shoko menuju tenda diikuti bulan yang indah itu. Aku harap besok tetap menjadi hari yang indah.
bersambung...
No comments:
Post a Comment