Ruroya Rai
Mata bengkak. Ya, itulah perubahan fisikku hari ini. Kemarin aku menangis terus-terusan sampai aku menghabiskan setumpuk tisu. Hari ini juga, aku malas masuk ke Gakurai. Rasanya kuliah menjadi terasa begitu sepi tanpa kehadiran Nanase. Tunggu, kenapa aku jadi berpikiran tentang Nanase? Arrgh! Lupakan itu!
"Rai, ayo kau harus segera ke Gakurai!" Teriak Shoko dari luar. Sejak pagi tadi, Shoko memaksaku untuk segera pergi ke Gakurai Academy. Tapi, aku sama sekali tidak mau pergi ke sana. Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik hari ini. Aku juga masih belum siap berhadapan dengan Riku.
"Tidak mau, Shoko!!"
"Ayoolah, Rai! Sampai kapan kau mau bersedih-sedih seperti itu? Kau harus bangkit, Rai! Jangan buat semua masalahmu menjadi sesuatu yang menghambat masa depanmu!" Kata Shoko dari balik pintu. Aku berpikir, kenapa Shoko tidak lelah-lelahnya memaksaku untuk keluar dari kamar dan pergi ke Gakurai? Dasar wanita yang masih memiliki jiwa muda.
Pintu kamarku mulai didobrak oleh Shoko. Aku terkejut saat Shoko menendang pintu kamarku. Tampang Shoko terlihat begitu geram. Aku hanya diam saja, duduk di atas kasurku menatap Shoko dari atas sampai bawah sambil memasang wajah tak berdosa. Shoko menghampiriku dan ia mencoba menarikku, tapi aku menghindar dan akhirnya kami berdua bermain kejar-kejaran di dalam kos, sampai akhirnya aku keluar dari tempat kos. Aku berlari dari kejaran Shoko dan tibalah aku di salah satu taman yang dekat dengan tempat kosku. Di taman ini aku mencari tempat persembunyian agar aku tidak diketahui oleh Shoko.
"Rai!!! Ruroya Raishiru!!! Di mana kau?!! Aargh... sial! Dasar kutu kecil!" Lalu Shoko meninggalkan taman tersebut dan meninggalkanku juga. Aku terkekeh-kekeh melihat kepergian Shoko.
Aku berjalan di dalam taman ini sendirian. Hari ini taman sedang sepi, ya karena banyak orang yang masih dalam waktu bekerja. Seharusnya aku saat ini sedang berada di dalam kelas mengerjakan keramik-keramik yang belum selesai, tapi aku malah ada di taman ini dan sendirian saja.
Aku berjalan ke arah ayunan yang ada di taman tersebut dan duduk di ayunan tersebut sambil menggoyang-goyangkan sendiri. Aku merasakan angin sepoi-sepoi berhembus menyibakkan rambutku yang masih berantakan. Saat aku menyadari pakaianku, ternyata aku masih memakai pakaian rumah. Tentu saja, aku mulai kedinginan karena tiba-tiba saja angin terasa begitu menusuk-nusuk tubuhku.
Aku terus memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghangatkan diriku sendiri. Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan yang begitu dalam. Aku merasakan dekapan seseorang yang saat ini ingin aku rasakan. Aku merasa tubuhku perlahan-lahan menjadi hangat.
"Hei, gadis bodoh." Suara yang berat membuatku penasaran. Aku menoleh mencari sumber suara orang tersebut.
"Ri-Riku?!" Aku terkejut ketika tau bahwa Riku yang memelukku. Tapi aku tidak peduli, biarkan aku merasa hangat seperti ini. Aku tidak mau kehilangan Riku lagi.
Tiba-tiba aku teringat akan kata-kataku yang waktu itu pernah aku katakan pada Riku dan membuatnya sakit hati. Aku masih merasa bersalah.
"Riku, maafkan aku. Aku sudah menyakitimu, aku selalu saja mengecewakanmu. Maafkan aku, Riku." Kataku sambil memegang tangan Riku yang masih memelukku. Riku mencium kepalaku dari belakang.
"Aku juga minta maaf, aku terlalu terbawa emosi saat itu. Seharusnya aku tidak perlu marah-marah padamu." Aku mengangguk dan suasana di antara kami berdua menjadi hening seketika.
Riku melepaskan pelukannya dan bergerak ke depan wajahku. Ia menatapku dalam-dalam (mungkin saja sedalam selokan 5 meter). Riku juga menggenggam tanganku dengan lembut.
"Rai, aku mohon jujurlah padaku. Apa kau mencintaiku?" Tanya Riku. Tatapannya begitu serius dan jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Aku... apa kau tidak percaya padaku, Riku?" Aku balik bertanya pada Riku. Riku menggeleng pelan.
"Tentu saja aku percaya padamu, Rai. Aku hanya ingin mendengarkan kata-kata itu dari mulutmu sendiri." Kata Riku tersenyum. Aku tidak bisa menghindar dari senyumannya, karena itulah aku membalas senyuman Riku.
"Aku, tentu saja aku mencintaimu, Riku." Kataku pada akhirnya dan Riku segera memelukku.
Sepanjang haripun, kami berdua hanya bersama-sama di taman itu sampai hari menjelang sore.
Nanase Sakigawa
Sudah diputuskan. Aku akan tinggal di Sapporo untuk beberapa minggu. Saat ini aku sedang berjalan-jalan di pedesaan bersama dengan Shiori, saudaraku. Udara di tempat ini begitu sejuk, aku menatap ke langit dan melihat warna langit yang berwarna kelabu. Hari memang mulai menjelang sore. Aku menendang-nendang kerikil yang ada di atas tanah sambil memasukkan tanganku ke dalam kantung celanaku.
"Nanase, bagaimana kabar temanmu itu? Siapa namanya? Ra... umm, aku lupa." Tanya Shiori tiba-tiba.
"Rai, hehe. Kabarnya? Baik-baik saja. Tapi, ia sempat mengalami kecelakaan dan mengakibatkan sebagian ingatannya hilang." Kataku sambil menundukkan kepala.
"Sebagian ingatannya... hilang? Apa jangan-jangan ia juga..." Shiori tidak melanjutkan kata-katanya dan aku sudah tau apa yang akan dikatakan Shiori. Aku mengangguk pelan.
"Iya, ia lupa padaku. Saat aku berhasil menemukannya, ia sama sekali tidak mengingatku. Saat itu juga aku benar-benar terpuruk."
Aku mengeluarkan ponselku dan mengetik beberapa nomor di ponselku. Lalu aku menunjukkan pada Shiori nomor tersebut.
"Shiori, nomor inilah yang ingin aku hubungi saat ini. Tapi, aku masih ragu-ragu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membicarakan apapun tentang kepergianku ini." Kataku sambil menutup flap ponselku. Shiori tersenyum.
"Kenapa ragu-ragu? Jika kau memang ingin mengabarkannya, kenapa tidak kau lakukan? Lagi pula hal tersebut juga tidak salah."
Aku mengangguk pelan. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah. Selama perjalanan, tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku lihat ke layar ponselku, ternyata Riku yang menghubungiku. Tumben sekali Riku meneleponku.
"Ya?" Tanyaku saat menjawab panggilan tersebut.
"Nanase, kau ada di mana? Apa kau yakin masih ada di Tokyo? Firasatku mengatakan bahwa kau keluar dari daerah Tokyo, apa benar itu, Nanase?" Bagaimana Riku bisa tau bahwa aku pergi keluar dari daerah Tokyo?
"Umm... ada apa memangnya, Riku? Apa ada masalah di sana?" Aku mengabaikan semua pertanyaan Riku, tapi ternyata Riku tidak sebodoh yang aku kira.
"Nanase, jangan mencoba-coba mengganti topik pembicaraan, ayo jawab pertanyaanku."
Aku menghela napas dan Shiori yang ada di sebelahku hanya berusaha menenangkanku. Ia memberikanku tanda seakan-akan aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Riku. Aku mengangguk pasrah ketika Shiori menyuruhku untuk mengatakan semuanya.
"Maaf, Riku. Tapi, aku mohon jangan katakan hal ini pada Rai atau siapapun yang menanyakan keberadaanku."
"Baiklah, aku janji aku akan diam."
"Saat ini aku ada di Sapporo dan aku sudah berencana akan tinggal di tempat ini untuk beberapa minggu." Kataku pelan. Terasa jeda sesaat.
"Apa?! Sapporo? Heii, Nanase! Ayo cepat kembali ke Tokyo! Kenapa jauh sekali, Nanase? Aku kira kau pergi ke Yokohama atau Kyoto, atau Osaka... arrgh! Yang pasti tidak jauh seperti Sapporo!" Riku tiba-tiba kalang kabut mendengar berita bahwa aku ada di Sapporo saat ini.
"Riku, ibuku sakit parah. Sapporo hanya tempat satu-satunya di mana ibuku bisa berobat."
"Oh, maaf. Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu lagi nanti."
Setelah itu sambungan terputus. Aku menutup flap ponselku dan memasukkannya ke dalam saku celanaku. Aku menghela napas panjang. Shiori yang ada di sebelahku langsung menggandeng lenganku.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Temanmu itu khawatir padamu tau. Apa kau akan membuat temanmu itu khawatir tentang dirimu terus-menerus? Lebih baik kau mengatakan yang sebenarnya dari pada kau tidak mengatakannya sama sekali." Kata Shiori sambil tersenyum. Aku menoleh ke arah Shiori dan mengangguk pelan. Lalu kami menyusuri pedesaan bersama sampai malam pun tiba.
bersambung....
No comments:
Post a Comment