Aku melihat ke arah jalanan dari balik jendela yang sudah dipenuhi oleh titik-titik air. Hujan di mana-mana. Sudah sejak sore tadi hujan terus-menerus turun. Karena kelamaan hujan, aku mulai merindukan sang matahari. Tapi sedari tadi aku tunggu-tunggu, sang matahari tidak datang juga. Aku menghela napas di dalam kamar. Setiap kali melihat hujan, aku selalu punya perasaan tidak enak. Karena dalam hujan ini pula aku mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang membuatku hilang ingatan. Sebagian ingatanku maksudnya.
Hari ini aku tidak mendapatkan telepon dari Riku juga. Biasanya setiap hari Riku selalu meneleponku untuk menanyakan kabarku dan akhirnya kami berdua berbincang-bincang seperti biasa. Tapi, hari ini rasanya berbeda, hari ini terasa begitu sepi.
"Rai..." Shoko mengetuk pintu kamarku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan membukakan pintu.
"Ada apa, Shoko?"
"Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan?"
"Tapi di luar hujan, Shoko. Kau tidak takut terkena penyakit?" Aku balik bertanya pada Shoko. Shoko hanya menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mencari udara segar dan sepertinya kau juga membutuhkannya." Kata Shoko sambil tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan berganti pakaian terlebih dahulu."
Setelah aku berganti pakaian, aku langsung berjalan keluar kos bersama dengan Shoko. Untungnya hujan sudah mulai mereda. Kami berjalan menuju Shibuya. Di Shibuya, Shoko mengajakku mencoba beberapa pakaian di butik-butik terkenal. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa lebih senang ketika sudah pergi berjalan-jalan dengan Shoko. Aku bisa mencoba beberapa pakaian yang bagus dan beberapa yukata yang akan aku gunakan saat musim panas nanti.
"Rai, sudah dapat?" Tanya Shoko ketika kami berdua berada di toko yang menjual bermacam-macam yukata.
"Aku bingung, Shoko. Aku tidak tau yukata mana yang cocok denganku." Kataku sambil memilih beberapa yukata yang lucu-lucu.
"Hmm... bagaimana dengan yang ini?" Tanya Shoko sambil mengambil yukata yang berwarna merah yang dicampur dengan bunga-bunga berwarna biru, kuning, dan oranye.
Aku menatap yukata tersebut dengan seksama, sepertinya bagus juga pikirku dalam hati. Akhirnya aku mengangguk dan memutuskan untuk membeli yukata yang sudah dipilihkan oleh Shoko. Aku dan Shoko pun akhirnya membawa beberapa kantung belanja di kedua tangan masing-masing. Hari ini kami berbelanja cukup banyak.
Ketika kami sedang melakukan perjalanan menuju kos, aku melihat sosok Nanase sedang duduk-duduk di taman di dekat tempat kos. Aku berhenti sebentar dan mengajak Shoko untuk bertemu dengan Nanase. Kelihatannya Nanase seperti sedang... bersedih.
Nanase Sakigawa
Setelah kejadian mengenaskan itu. Aku berjalan meninggalkan rumah sakit. Aku sudah menghubungi orang tua Riku. Mereka cepat-cepat datang ke rumah sakit dan ketika orang tua Riku dibalut kesedihan, aku hanya pergi meninggalkan mereka. Aku mau memberitakan kepada Rai dan yang lainnya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan semua ini pada Rai, aku takut pada akhirnya ia akan hancur bagaikan berlian yang dihancurkan berkeping-keping.
Dalam perjalanan menuju tempat kos, aku masih menatap hadiah yang tadi dibeli oleh Riku untuk diberikan pada Rai. Di dalam hadiah tersebut terdapat sepucuk surat. Untungnya aku tiba di taman dekat kos itu, aku ke taman tersebut terlebih dahulu sebelum pergi ke tempat kos. Aku duduk di salah satu ayunan dan membuka surat tersebut. Di dalam surat tersebut tertulis...
Untuk Ruroya Raishiru / Ruroya Rai ku yang tercinta,
Hei, Rai! Hehe... pasti kau sendiri tidak mengerti kenapa aku memberikanmu hadiah ini? Kenapa kau selalu melupakan suatu hal yang begitu penting, Rai? Haha... dasar kau ini gadisku yang bodoh tapi manis hehe. Kau tau hari ini hari apa? Aku yakin kau akan menerimanya besok, karena besok adalah hari ulang tahunmu, Rai. Haha... jangan bilang kau lupa hari ulang tahunmu sendiri ya? Oh ya, Tanjobi Omedeto, Rai! Mungkin hadiah yang kuberikan kepadamu ini dapat membuat hubungan kita semakin kuat, maaf aku hanya dapat membelikanmu yang palsu. Tapi, aku yakin suatu saat aku akan membelikanmu yang asli. Hmm... sepertinya cukup sampai di sini. Aku sudah dimarahi petugas toko karena menulis surat terlalu panjang. Hehe... Aku sangat mencintaimu juga menyayangimu, Rai. Kau gadis yang terbaik dalam hidupku. Sampai nanti :)
Rikugan Sakurai
Ketika membaca surat yang ditulis Riku untuk Rai, aku tidak bisa menahan air mataku dan air mataku pun jatuh begitu saja ke pipiku. Aku menyeka air mataku dan menatap ke langit-langit. Langit pun sudah mulai gelap. Aku tidak ingin pulang. Benar-benar tidak ingin pulang dan aku tidak mau keluar dari Gakurai. Aku harus terus melanjutkan pendidikanku di Gakurai demi Riku, sahabatku. Ya, aku akan pergi dari rumah lagi dan tinggal di tempat kos, menjaga Rai untuk Riku serta melanjutkan pendidikan di Gakurai untuk Riku. Aku menutup surat tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam hadiah yang akan diberikan kepada Rai.
Aku terus menghela napas sambil menggoyang-goyangkan ayunan dan melamun. Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku. Aku mendongakkan kepala dan melihat Rai serta Shoko berdiri di depanku. Inilah saat-saat menegangkan, di mana aku harus memberitahukan semuanya kepada Rai. Aku harap Rai akan kuat ketika mendengar semuanya dariku. Tapi aku tidak yakin Rai akan terlihat kuat.
"Nanase, sedang apa kau di sini?" Tanya Rai padaku. Aku hanya melamun menatap wajah Rai.
"Aku... membawa berita." Kataku pelan.
"Memangnya ada apa, Nanase? Katakan padaku." Rai pun mulai penasaran. Dengan tangan yang bergetar, aku memberikan hadiah yang seharusnya Riku berikan untuk Rai.
Rai menatapku sambil mengernyitkan matanya. Saat ia menerima hadiah tersebut, ia baru mengerti apa maksud Nanase. Tatapan Rai tidak percaya, wajahnya pun mulai pucat. Terlihat beberapa tetesan air mata yang keluar.
"Nanase, katakan... katakan semua ini... semua ini tidak benar!!" Rai pun langsung berteriak di depan wajahku sementara Shoko tidak mengerti apa-apa.
"Rai, aku sendiri juga tidak mau mempercayainya. Tapi seperti ini lah kenyataannya. Aku yang melihat sendiri dengan mata kepalaku!" Aku mencoba untuk menjelaskan semuanya kepada Rai.
"Lalu... lalu... kenapa tidak kau melindunginya?! Atau bagaimana menurut caramu! Kenapa, Nanase? Kenapa?!" Tangisan Rai pun menjadi-jadi. Aku mengepalkan tangan, menahan kekesalan.
"Rai, aku tadinya mau ikut dengannya membelikan hadiah itu, tapi Riku ingin pergi sendirian. Aku tidak bisa memaksanya. Aku hanya menunggu kedatangannya kembali setelah aku tau bahwa ternyata ia adalah korban tabrak lari!" Tanpa aku sadari, aku berteriak sekencang mungkin di depan Rai. Membuat hatiku dan hati Rai hancur seketika. Kami berdua sudah mengeluarkan air mata dan Shoko pun baru mengerti apa yang sedang terjadi.
"Sudahlah, kalian berdua. Rai, ayo kita kembali ke tempat kos dulu. Nanase, coba pikirkan dulu ucapanmu baru kau jelaskan semuanya pada Rai." Kata Shoko lalu meninggalkan taman bersama dengan Rai.
Seperti biasa, aku sendirian lagi. Merasa sangat sepi. Tidak ada satupun orang yang mau menemaniku. Biasanya hanya Riku seorang yang selalu menemaniku jika aku sendirian. Tapi, saat ini Riku sudah tiada. Sudah pergi ke alam sana, hidup dengan damai.
Riku... kenapa disaat semuanya sudah membaik, kau malah pergi meninggalkan kami semua? Aku membutuhkanmu, Riku...
bersambung...
No comments:
Post a Comment