Ruroya Rai
Sebentar lagi festival musim panas di Sapporo akan segera tiba. Aku tidak sabar ingin cepat-cepat datang ke acara festival musim panas. Di dalam kamar, aku terus mencoba-coba yukata yang waktu itu dipilihkan oleh Shoko. Oh ya, aku jadi merindukan teman-temanku yang ada di tempat kos di Tokyo. Sudah beberapa bulan kami tidak berbicara, karena waktu di tempat kos, aku selalu mengurung diri di kamar dan tidak mau keluar sama sekali. Lalu, saat aku hendak pergi ke Sapporo, aku juga tidak bilang apa-apa pada mereka. Ya, aku memang sudah membuat mereka khawatir.
Aku meraih ponselku yang aku letakkan di meja riasku. Aku mencari-cari nomor tempat kos dan langsung menekan tombol untuk menghubungi tempat kos itu. Terdengar beberapa nada sambung.
"Ya?" Sapa seseorang di sana.
"Saki? Shoko? Takato?" Aku langsung menyambar dengan seenaknya.
"Rai? Astaga!! Shokooo... Takato...!!!" Ternyata Saki yang menjawab panggilan tersebut dan ia langsung memanggil Shoko serta Takato.
"Astaga, Rai! Kau ke mana saja?" Tanya Saki lalu terdengarlah suara yang berisik dari seberang sana.
"RUROYA RAISHIRU!! Kau harus menjelaskan semuanya kepadaku!" Itu suara Shoko, ya aku mengenali suara Shoko yang begitu khas. Tapi aku tidak mendengar suara Takato sama sekali.
"Haha... oh ya, Takato di mana?" Tanyaku dan suasana pun hening seketika.
"RAII!! Aaargh!! Aku merindukanmu, aku merindukan Nanase juga! Kalian berdua ke mana saja? Aku tau Nanase pergi ke Sapporo, tapi kau pergi ke mana, Rai?" Akhirnya suara Takato terdengar juga. Aku tersenyum ketika mendengar semua orang mengkhawatirkanku. Tapi ada perasaan bersalah juga.
Aku menghela napas.
"Oke, akan aku jawab satu-persatu. Untuk Saki dan Takato karena memiliki pertanyaan yang sama, saat ini aku sedang berada di Sapporo. Untuk Shoko, aku akan menjelaskan semuanya Shoko, tenang saja. Baiklah, sekarang untuk kalian bertiga, aku akan berada di Sapporo sampai festival musim panas di Sapporo berakhir lalu aku akan kembali ke Tokyo. Jadi, tenang saja, aku tidak mungkin keluar dari kos itu tanpa mengatakan apa-apa pada kalian." Kataku sambil tersenyum.
"Jadi, kau tidak merayakan festival musim panas di Tokyo?" Tanya Saki, terdengar kecewa.
"Maafkan aku, Saki dan yang lainnya. Aku ingin merayakannya dengan keluargaku juga. Keluargaku ada di Sapporo. Hmm... sudah dulu ya, aku masih harus melakukan sesuatu. Hehe... sampai nanti teman-teman!"
Sebelum memutuskan sambungan, Saki, Shoko, dan Takato berlomba-lomba untuk mengatakan "Aku merindukanmu, Rai!" Tapi setelah itu perang di antara mereka pun berakhir. Aku tersenyum lega ketika meletakkan ponselku kembali di atas meja rias. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Lumayan. Aku cukup menyukai yukata yang dipilihkan oleh Shoko.
Saat aku hendak bergerak, tanpa sengaja aku menjatuhkan sesuatu dari meja. Aku menoleh dan melihat hadiah yang diberikan Riku sudah tergeletak di lantai. Sebelum-sebelumnya aku memang belum membuka isi hadiah tersebut. Aku mengambilnya dan melihatnya dengan seksama. Riku memberiku sebuah cincin yang indah. Aku tersenyum dan langsung mengenakan cincin tersebut.
Aku menatap cincin tersebut seharian sambil tersenyum. Riku, aku senang kau memberikan hadiah seperti ini. Tapi yang aku butuhkan saat ini hanyalah dirimu, Riku. Aku ingin kau tersenyum untukku, memelukku, dan menghiburku sepanjang hari. Bisakah aku merasakan seperti itu suatu saat? Aku menunggu jawabanmu, Riku...
Nanase Sakigawa
"Sudahlah, ayah! Kenapa kau harus memaksaku terus menerus?"
Seperti biasa, ayahku memaksaku untuk pulang. Ia meneleponku secara tiba-tiba, disaat aku sedang berbincang-bincang dengan keluarga Tatsuya.
"Ayah tidak peduli. Kau harus segera kembali ke Tokyo! Apa urusanmu di sana, Nanase? Kau hanya merepotkan keluarga tak berguna itu!" Rasanya kekesalanku pun sudah sampai di ujung tanduk.
"Keluarga ini juga keluargamu, ayah! Kau tidak pernah menghargai keluargamu sendiri yang berasal dari kalangan bawah. Kenapa kau begitu kejam, ayah?" Karena aku kesal, aku tidak bisa menghentikan kata-kataku.
"Nanase!! Apa katamu?! Baiklah, apa boleh buat, aku akan segera ke Sapporo dan lihat saja nanti Nanase!"
Sambungan pun terputus. Aku yakin ketika ayahku tiba di Sapporo, aku akan didamprat habis-habisan. Ya, aku memang tidak pernah bisa menghindar dari ayahku. Ayahku memang kejam, itu bisa diakui. Chou, pelayan di rumah yang sekarang menjadi sahabat dekatku pun sering diperlakukan dengan tidak baik oleh ayahku. Aku menghela napas panjang dan berjalan ke arah jendela. Bulan sudah bersinar di atas langit. Ketika melihat bulan, tiba-tiba aku mengingat seseorang. Entah mengapa aku ingin bertemu dengannya saat ini. Tapi, aku tidak punya keyakinan akan mendapatkannya suatu saat.
Aku keluar menuju atap rumah keluarga Tatsuya. Di atas atap, aku duduk sendirian. Melihat ke arah bulan sambil memain-mainkan flap ponselku. Tiba-tiba aku jadi teringat akan Shoko. Aku ingin tau bagaimana perkembangannya dengan sang mantan. Dengan cepat aku mencari nama Shoko di ponselku.
"Moshimoshi." Sapa Shoko dari seberang sana.
"Shoko! Haii!" Aku menyapa Shoko sambil menyunggingkan senyuman di wajahku.
"Nanase? Aaa!! Aku merindukanmu, Nanase!" Teriak Shoko dari seberang sana.
"Aku juga, Shoko. Hehe... oh ya, Shoko... ada yang ingin aku tanyakan."
"Apa yang ingin kau tanyakan, Nanase?"
"Tentang Akita..." Terasa jeda beberapa saat.
"Akita... ada apa memangnya?"
"Aku hanya ingin bertanya bagaimana hubungan kalian selanjutnya?" Tanyaku dengan begitu hati-hati.
"Sepertinya sudah tidak ada harapan. Aku juga tidak pernah mendapat kabarnya darinya lagi."
Aku mendengar Shoko menghela napas berkali-kali. Sepertinya Shoko sendiri pun sudah begitu lelah diperlakukan tidak baik oleh Akita. Lama-kelamaan aku jadi perasaan dengan Akita. Aku ingin melihatnya dan bertanya lebih banyak padanya.
Semalaman itu aku pun berbincang-bincang dengan Shoko mengenai Akita. Setidaknya aku tidak perlu melamun di dalam kamar terus-menerus, kan'?
bersambung....
No comments:
Post a Comment