Ruroya Rai
Sudah sekitar 2 minggu Nanase tidak datang ke Gakurai Academy. Padahal kata Riku, seharusnya Nanase sudah kembali dari Sapporo beberapa minggu yang lalu. Lama-kelamaan, aku sendiri jadi penasaran tentang keberadaan Nanase. Apa jangan-jangan ia keluar dari Gakurai? Cepat-cepat aku menggelengkan kepala dan menghilangkan pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin Nanase akan keluar dari Gakurai. Ia sudah berjanji sendiri tidak akan keluar dari Gakurai.
Hari ini aku hendak pergi ke sebuah toko di dekat kosku karena aku disuruh Saki membeli bahan masakan untuk makan malam hari ini. Aku berjalan dari kos menuju toko tersebut. Dalam perjalanan, aku melewati taman yang waktu itu pernah aku datangi bersama Riku. Waktu itu aku meminta maaf pada Riku di tempat ini, ia memelukku sepanjang hari dan di tempat ini pula, pertama kalinya aku mencium pipi Riku. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri saat mengingat-ingat semua itu.
Sesampainya di toko tersebut, aku membeli beberapa bahan makanan yang diminta Saki. Aku memilihnya dengan seksama dan membayarnya di kasir. Selesai belanja, aku keluar dari toko tersebut lalu menghela napas. Hari masih sore, hampir saja gelap dan aku harus cepat-cepat pulang.
Karena aku berjalan terlalu lama, akhirnya langit pun mulai gelap. Aku berjalan di tengah kegelapan dan tiba-tiba saja aku mendengar suara dari kejauhan. Ada seseorang yang melangkah ke arahku dalam kegelapan. Saat orang itu melewati lampu jalanan, aku baru sadar bahwa ternyata laki-laki tua itu sedang dalam keadaan mabuk. Jantungku berdetak begitu kencang dan berharap agar laki-laki tua itu tidak akan mengganggunya. Tapi semua yang ingin aku inginkan malah sebaliknya, laki-laki tua itu mendekatiku dan terciumlah aroma alkohol dari mulutnya.
"Hei, gadis... main denganku yuk!" Laki-laki tua itu mulai menarikku. Aku pun terkejut dan berusaha melepaskan diri. Tapi semakin aku menghindar, laki-laki tua itu semakin mendekatiku.
"Ada apa, gadis cantik? Kenapa tidak mau denganku? Ayolah, sekali saja..." Laki-laki itu mendekatkan kepalanya ke arahku dan aku berusaha menghindar tetapi tidak bisa. Akhirnya aku berteriak sekeras mungkin, mengharapkan bantuan dari orang lain. Tetapi mau aku berteriak sekeras apapun, tidak ada satupun orang yang datang menolongku.
"Untuk apa kau berteriak, gadis cantik? Lihat, tidak ada orang di sini, lebih baik kau ikut denganku saja. Kita akan melewati malam dengan bahagia." Laki-laki tua itu sudah mabuk tingkat tinggi. Aku mulai ketakutan dan laki-laki tua itu mulai.... arrrgh!!! Sial! Kenapa tidak ada orang yang lewat sama sekali? Sekali lagi aku berteriak. Tetapi laki-laki tua itu sudah mulai... BUK!! Aku mendengar suara pukulan yang begitu keras. Aku menoleh ke arah orang yang sudah menolongku dan... NANASE?!
Nanase Sakigawa saat ini berdiri di depanku, menatapku di dalam kegelapan. Tiba-tiba saja aku menitikkan air mata, lalu berlari ke arah Nanase dan memeluknya dengan erat. Aku tidak percaya, orang ini memang Nanase, seseorang yang aku rindukan saat ini. Akhirnya aku bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama berpisah.
"Nanase!!!" Teriakku dalam pelukannya. Nanase dengan perlahan membelai rambutku.
"Hai, Rai. Apa kabar?" Tanya Nanase sambil tersenyum. Aku menatap wajahnya dengan mata yang penuh dengan air mata lalu aku memukul-mukul Nanase karena kesal.
"Nanase, kenapa kau pergi ke Sapporo tidak mengatakan apa-apa padaku? Aku mengkhawatirkanmu, Nanase! Tapi kau pergi begitu saja!" Kataku di sela-sela tangisku. Nanase masih membelai rambutku dengan pelan.
"Maafkan aku, Rai. Silakan, kau boleh marah padaku saat ini."
Aku menangis terus di dekapan Nanase. Entah mengapa, rasanya aku seperti mengingat sesuatu. Tapi, di pikiranku, ingatan itu tidak jelas bentuknya. Entahlah, aku tidak tau apa itu...
Nanase Sakigawa
Dua minggu terlewati sudah. Aku berencana untuk pergi keluar rumah sebentar, mencari udara segar. Tapi, saat aku meminta izin pada ayahku, ayahku mengatakan bahwa aku harus segera keluar dari Gakurai Academy. Tentu saja aku terkejut saat mendengar ayahku berkata seperti itu, aku tidak pernah menyangka ayah akan menghentikan masa depanku begitu saja.
Sebelum pergi aku diancam, jika aku tidak keluar dari Gakurai Academy, aku tidak akan diperbolehkan kembali ke rumah. Sejujurnya, aku tidak apa jika tidak diizinkan kembali ke rumah, tapi karena aku kasihan dengan ibu, aku akan terus ada di rumah ini untuk sementara waktu.
Aku keluar rumah dengan langkah gontai. Chou yang membukakan gerbang rumah, tapi aku malah menyuruh Chou untuk masuk ke dalam rumah. Sudah cukup aku dilayani seperti ini waktu kecil, aku ingin lebih mandiri saat ini. Aku berjalan di tengah kegelapan dan sendirian.
Aku menengadah ke langit, bintang-bintang indah itu tidak ada yang bertaburan di langit malam tersebut. Sepertinya langit pun juga sedang mengalami masa sedih. Tiba-tiba aku mendengar suara gadis yang minta tolong, sebenarnya aku juga tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa hari ini. Tapi saat aku lihat siapa gadis itu... ternyata... Rai? Astaga, Rai sedang diganggu oleh laki-laki tua yang mabuk, aku harus segera menolongnya. Dengan berlari secepat mungkin aku melayangkan kakiku ke wajah laki-laki tua itu dan ia jatuh terkapar setelah itu melarikan diri. Aku menoleh ke arah Rai dan melihat gadis itu sudah menangis seperti biasa. Aku tersenyum ke arah Rai dan dengan cepat Rai memelukku dengan erat.
Pertamanya aku sempat tidak bisa bernapas. Tapi aku tidak peduli, saat ini yang aku inginkan adalah bersama dengan Rai. Setelah menjelaskan semuanya pada Rai-karena awalnya ia marah-marah padaku-aku diajak Rai untuk mengunjungi kos, sekaligus aku harus ke Gakurai untuk meminta surat keluar dari tempat tersebut.
Sesampainya di tempat kos Shoko dan Takato yang melihat kedatanganku langsung melompat untuk memelukku. Aku hanya berusaha lepas dari pelukan kedua orang tersebut.
"Nanase! Hei, ke mana saja kau?" Tanya Takato sambil mengacak-acak rambutku. Aku tersenyum dan memukul Takato pelan.
"Tidak ke mana-mana, hehe..." Jawabku dengan wajah tak berdosa.
"Tidak mungkin, aku tau kau pasti pergi ke suatu tempat. Kau tidak bisa membohongiku, Nanase ingat itu!" Ya, memang benar. Aku memang tidak pernah bisa membohongi Takato. Entah bagaimana Takato bisa tau jika aku berbohong.
Setelah perbincanganku dengan Takato, aku menceritakan semua ceritaku kepada Shoko, Takato, Saki, dan Rai. Aku merindukan kos ini dan aku ingin sekali tinggal di tempat ini. Karena aku yakin akan kembali lagi ke tempat ini, aku meminta Saki agar kamarku tidak ditempati oleh orang lain dan Saki pun setuju. Saat sedang asyik-asyiknya berbincang-bincang, tiba-tiba ponselku berdering. Sepertinya dari ayah.
"Nanase, cepat pulang! Sudah jam berapa ini?!" Teriak ayahku dari seberang sana. Belum sempat aku mengucapkan salam, ayah sudah berteriak terlebih dahulu.
"Baik, ayah."
Dengan berat hati, aku meninggalkan tempat kos ini dan berjalan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku melamun di balkon kamarku seperti biasa. Memain-mainkan flap ponselku sambil menatap langit-langit. Sampi detik ini juga, belum ada bintang yang bersinar di langit tersebut. Aku merindukan kehadiran bintang tersebut.
TRRT! Ponselku berdering lagi. Saat aku lihat ke arah layar, nama Rukia yang tertera di layar ponselku. Aku tersenyum dan menjawab panggilan tersebut.
"Moshimoshi!" Sapaku sambil tersenyum. Untungnya ada Rukia yang selalu membuat hatiku lebih tenang.
"Nanase! Hehe..."
Sepanjang malam pun aku berbincang-bincang dengan Rukia sampai pukul 3 pagi...
bersambung...
No comments:
Post a Comment